Darurat Lingkungan! Batam Kian Terancam

Darurat Lingkungan! Batam Kian Terancam

Dua orang ibu-ibu melintasi banjir di kawasan Kavling Bida Kabil, Nongsa, Kota Batam. (Ilustrasi/Foto: Dok. Batamnews)

JULUKAN Bandar Dunia Madani merupakan implementasi dari perkembangan Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) sejak dulu. Patut diakui jika kota ini menjadi salah satu daerah industri termasyhur di Indonesia dengan 1001 cerita menarik di dalamnya. 

Berada di persimpangan perairan tersibuk di dunia, pemerintah pusat memprioritaskan Batam untuk dikembangkan sebagai kawasan yang nantinya akan memiliki kompetisi dengan Singapura.

Baca juga: Banjir Besar Akhir Tahun Bukti Batam Darurat Lingkungan

Ihwal bermula sejak era 70-an, dimana pemerintah memberikan kemudahan bisnis dan investasi. Alhasil Batam berjaya disulap jadi kota baru dengan kemajuan yang sangat pesat diberbagai bidang, diantaranya perekonomian.

Lajunya perkembangan ekonomi di Batam jadi peluang peningkatan kualitas keberlangsungan hidup masyarakat. Tak heran jika banyak orang luar daerah berbondong-bondong menangkap kans tersebut. Walhasil, angka kelahiran dan urbanisasi melonjak.

Populasi masyarakatnya tak dapat di rem--membludak. Bayangkan saja, jumlah penduduk dalam tiga dasawarsa telah menjantur Batam jadi salah satu kota dengan penghuni terbanyak, di atas 1,2 juta. Padahal, data tahun 2004 hanya berkisar 600 ribu jiwa saja.

Konsekuensi buruk dari kondisi tersebut telah menimbulkan penurunan daya dukung lingkungan dan daya tampung daerah yang terbatas. Imbasnya telah terjadi exploitasi alam atau lingkungan yang tinggi demi memenuhi kebutuhan investasi, ruang, perumahan dan pendukung lainnya. 

Baca juga: Banjir Rendam Kawasan Tiban 3 Jelang Tahun Baru

Dari itulah pegiat lingkungan NGO Akar Bhumi Indonesia menyatakan bahwa "Batam Darurat Lingkungan". Rujukannya jelas pada banyaknya kasus kerusakan lingkungan, waduk, hutan dan pesisir.

Darurat Air

Semenjak tahun 2014, Batam telah terjadi krisis air dimana ketersediaan air baku di waduk tidak mampu memenuhi kebutuhan warga Batam. Walau kini telah dibangun Waduk Tembesi sebagai penganti ditutupnya Waduk Baloi, namun daerah itu masih mengalami minus 600 liter air per detik. 

 

Waduk Baloi

Founder Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan mengatakan, guna mengatasi krisis air perlu diberlakukan rationing atau pengaliran air secara bergilir. 

 

"Sebagai kebutuhan dasar kehidupan manusia, air bahkan lebih dari vital namun kenyataannya daerah tangkapan air (DTA/Catchment Area) mengalami banyak gangguan," ujarnya, Selasa (8/2/2022).

Keberadaan waduk-waduk yang berada di kawasan hutan lindung telah terdegradasi. Alih fungsi hutan disekitar DTA, okupasi masyarakat dan pelaku usaha di daerah tangkapan air serta sendimentasi yang cukup tinggi di waduk menjadi penyebab utama penurunan fungsi dan usia produktif dam.

Hendrik mengaku, jika darurat air bukan saja akibat kekurangan supply air baku, melainkan juga ketidakmampuan Batam di dalam mengelola air hujan. 

"Sebagai waduk tadah hujan, maka pasokan air waduk adalah dari hujan. Tidak turun hujan adalah pertanda bencana karena waduk tidak terisi," kata dia.

Namun, tambahnya, ketika hujan turun lebat justru yang datang malah malapetaka banjir yang jadi momok bagi warga. Padahal, Batam diuntungkan dengan lumbung penyimpanan air yang mana mestinya air hujan bisa dapat dialirkan ke tanggul.

Walakin, pemanenan air hujan dengan pola ini pun mesti disiapkan infrastruktur, mengingat banyaknya limbah dan sampah rumah tangga yang justru akan memperburuk baku mutu air waduk.

Adapun alternatif lain mengisi waduk yakni rekayasa teknologi yang biasa dilakukan untuk pemanenan awan sebagai bahan hujan buatan. Tapi mahalnya biaya dianggap tak ekonomis.

"Banjir yang terjadi di Batam juga dipicu kurangnya Daerah Tangkapan Air (DTA) akibat alih fungsi hutan dan pembangunan (cut and fill) yang tanpa mengindahkan regulasi. Jika dipantau dari citra satelit, terlihat Pulau Batam banyak kehilangan lahan resapan air, terlihat dengan warna tanah coklat bak bopeng-bopeng tersebar dimana-mana," jelas Hendrik.

Jenis tanah yang mengandung kadar bauksit tinggi dan hanya ditutupi oleh sedikit lapisan tanah menyebabkan air tidak mampu menyerap ke bumi karena terhalang kerasnya bauksit. Di sinilah dibutuhkan pohon yang berfungsi mengikat air.

"Jika tidak segera dilakukan langkah-langkah untuk menyelamatkan ketahanan air di Batam, maka dapat diprediksikan krisis air akan semakin lama dan semakin merugikan masyarakat," ujarnya.

Darurat Pesisir

Batam sebagai pulau kecil dengan daratan seluas lebih kuang 715 km² dan terdiri lebih dari 300 pulau maka ancaman terbesar akibat climate change atau perubahan iklim dan abrasi adalah hilang daratan dari permukaan laut.

 

Reklamasi kawasan Teluk Tering

Keterbatasan lahan untuk memenuhi kebutuhan hunian banyak disiasati dengan reklamasi atau penimbunan pesisir. Namun reklamasi tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan peraturan dan perudang-undangan justru menghasilkan masalah baru; kerusakan di area pesisir.

 

"Geografis kepulauan melahirkan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dimana mengantungkan hidup dari pesisir dan laut yang sehat. Kerusakan pesisir akibat reklamasi ilegal telah mengakibatkan nelayan sering mengalami penurunan hasil tangkapan bahkan banyak nelayan kehilangan mata pencaharian karena laut dianggap tidak mampu lagi memberikan penghidupan," kata Hendrik.

Kawasan mangrove maupun terumbu karang yang menjadi tempat biota laut telah banyak rusak akibat penimbunan. Masyarakat yang selama ini turun temurun hidup berprofesi sebagai nelayan akhirnya beralih pekerjaan.

"Sebagai negara maritim kita secara tidak sengaja telah menggerus spirit ataupun etos kelautan dan mengesampingkan keberlangsungan hidup nelayan. Bagi masyarakat tempatan di Batam, bonus iklim investasi yang diberikan pemerintah pusat kepada investor, perusahaan atau pun masyarakat pendatang justru mengesampingkan masyarakat asli," ujarnya.

Ikan dan air ibarat nelayan dan pesisir. Memiliki hubungan alami dan ketergantungan yang tinggi. Selain disebabkan penimbunan pantai ataupun mangrove, kerusakan pesisir juga disebabkan oleh penebangan pohon bakau untuk bahan bangunan dan arang.

Hilangnya ekosistem mangrove yang menjadi pelindung pulau telah memicu abrasi terhadap daratan. Padahal, reklamasi alami adalah ketika mangrove mengikat lumpur dan membentuk daratan secara pelan-pelan.

Batam sangat membutuhkan pelindung daratan berupa ekosistem mangrove yang memiliki fungsi besar dalam menahan intrusi air laut ke darat, pemecah angin dan gelombang, penahan abrasi, penyerap karbon serta penghasil oksigen tinggi.
 
Mengingat Batam berbatasan dengan perairan internasional, maka pohon bakau juga berperan sebagai  ketahanan geopolitik. Hilangnya pulau terluar akibat abrasi atau land subsidence akan menyebabkan batas kedaulatan negara berkurang. 

Sebagai contoh abrasi di Pulau Putri telah mendekatkan jarak 12 mil atau mengurangi luas wilayah Negara Republik Indonesia. Apalagi pada perhelatan COP26 di Glasgow pada akhir November hingga awal Desember 2021 lalu, ekosistem mangrove sudah ditetapkan sebagai obat mujarab dalam menghadapi climate change atau perubahan iklim. 

Presiden Joko Widodo yang hadir dalam pertemuan dunia tingkat tinggi tersebut juga menyampaikan bagaimana upaya Indonesia untuk mengambil peran besar dalam mitigasi lingkungan. Di tengah upaya pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dalam menambah luasan hutan mangrove di sembilan provinsi termasuk Kepri, namun di Batam masih banyak kegiatan yang justru meniadakan keberadaan mangrove. 

"Di satu sisi pemerintah giat menanam mangrove melalui program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Mangrove ataupun PEN (Penguatan Ekonomi Nasional) mangrove. Tapi pengrusakan ekosistem pesisir justru marak terjadi," tuturnya.

Darurat Hutan

Pada awal penetapan Batam sebagai daerah industri maka siteplan nya 60 persen lahan diperuntukkan sebagai kawasan hutan. Namun seiring berjalannya waktu, komposisi itu telah berkurang hingga sekitar 40 persen saja.

"Kondisi penurunan luas kawasan hutan di Batam disebabkan adanya alih fungsi hutan dan okupasi hutan baik untuk lahan perumahan ataupun pertanian," kata Hendrik.

 

Zona hijau dari tahun ke tahun semakin berkurang. Menurutnya, itu harus segera diambil kajian dan tindakan hukum demi kelangsungan hutan sebagai warisan generasi masa depan dan penunjang kehidupan. 

Kondisi relokasi atau hengkangnya sejumlah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) dan menurunnya minat investasi di Batam pun telah menghilangkan banyak mata pencarian masyarakat yang selanjutnya memberikan efek domino disemua lini kehidupan, terutama faktor ekonomi.

Jumlah penduduk yang tinggi dengan bonus demografi kota yang tak tertampung lapangan pekerjaan akhirnya memicu sebagian warga untuk beraktivitas di lahan-lahan hutan. Hutan sebagai zona hijau yang menjadi pendukung kehidupan masyarakat banyak dan hak generasi jadi terdegradasi akibat kepentingan beberapa pihak.

Program Perhutanan Sosial yang dilaksanakan KLHK di Kota Batam atas pemanfaatan hutan juga dianggap tidak tepat pada tempatnya atau terkesan copypaste dari program nasional tanpa mempertimbangkan karakteristik daerah. Hal ini mengingat Batam merupakan pulau kecil yang membutuhkan kuatnya daya dukung lingkungan salah satunya hutan. 

Apalagi sebagian besar hutan berada untuk melindungi DTA waduk. Dimana fungsi waduk di Batam adalah single used atau hanya untuk kebutuhan air baku masyarakat dan bukannya untuk pertanian ataupun pengairan. 

"Keterbatasan air dan kondisi geologi juga sangat tidak mendukung untuk pertanian. Pemberian hak pemanfaatan hutan akan menyebabkan sendimentasi dan terbawanya material pupuk (non organik) yang akan menganggu baku mutu air waduk yang dikonsumsi masyarakat umum," sebut Hendrik.

Bagi NGO Akar Bhumi Indonesia, kawasan waduk yang seharusnya menjadi obyek vital justru akan terjerumus pada kerusakan yang fatal di DTA. Banyaknya kasus lahan hutan membutuhkan ketegasan yang lebih serius dari pemerintah pusat, sehingga kerusakan tidak semakin parah. 

Tingginya angka kerusakan lingkungan mungkin tidak langsung terasa dampaknya. Akan tetapi pada jangka waktu panjang, itu merupakan bencana alam yang terjadi akibat dari kesalahan manusia. 

Pada saat ini kejahatan lingkungan bahkan dapat disebut dengan ekoside, sebuah agresi pada lingkungan sebagaimana genosida pada kejahatan manusia. Kebijakan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berasaskan lingkungan mestinya menjadi dasar keputusan bahwa dalam upaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak boleh mengurangi kemampuan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhannya kelak.

Hak lingkungan yang sehat bagi masyarakat juga tercantum dalam UUD 1945 pasal 28H ayat 1, tertulis setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Sehubungan dengan semua hal tersebut, Akar Bhumi Indonesia meminta agar pemerintah pusat dalam hal ini presiden memberikan perhatian khusus dan menyiapkan langkah konkret demi membebaskan Batam dari status darurat lingkungan. Juga menyelamatkan aset alam untuk generasi di masa depan. 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews