Puluhan Petugas KPPS Meninggal, Perludem: Beban Kerja Tak Rasional

Puluhan Petugas KPPS Meninggal, Perludem: Beban Kerja Tak Rasional

Ilustrasi.

Jakarta - Puluhan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal saat menjalankan tugasnya dalam Pemilu 2019. Jalannya pemilu serentak ini dinilai membuat beban kerja KPPS tak rasional.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan kejadian banyaknya petugas KPPS yang meninggal menjadi bukti pemilu serentak 5 surat suara itu tidak kompetibel dengan kapasitas dan kemampuan manusiawi orang-orang yang menyelenggarakannya.

"Jadi pemilu serentak 5 surat suara itu tidak kompetibel dengan kapasitas manusiawi para orang-orang yang bertugas. Karena beban (kerjanya) menjadi tidak rasional dan sangat berlebihan di luar kapasitas dan kemampuan normal," ujar Titi seperti dikutip dari detik.com, Sabtu (20/4/2019).

Titi menekankan pemilu bukan hanya mampu diselenggarakan atau tidak, namun juga harus diselenggarakan dengan efektif dan profesional. Menurut Titi, pada pemilu serentak kali kuantitas para penyelenggara yang meninggal dalam tugas meningkat dibanding pemilu sebelumnya.

"Memang di pemilu sebelunnya khususnya di Pemilu legislatif juga dihadapi sejumlah penyelenggara yang sakit karena kelelahan dan atau juga ada yang meninggal dunia. Tetapi memang di pemilu serentak kali ini kuantitasnya meroket, dalam artian bertambah banyak, karena ada polisi (yang meninggal), 10 petugas di Jawa Barat, belum lagi ada di beberapa daerah lain," ujarnya.

Baca: Puluhan Anggota KPPS Meninggal, KPU: Mereka Pahlawan Demokrasi

Titi menilai pada pemilu serentak kali ini sulit membuat para petugas KPPS bekerja dengan efektif dan optimal di TPS karena beban kerja yang sangat besar. Hal ini ditambah tekanan yang begitu besar dari publik. 

"Makanya kalau kemudian dalam beberapa hal terjadi ketidaksengajaan, ketidakcermatan, ketidakakurasian dalam proses perhitungan suara itu menjadi sangat manusiawi, karena beban yang mereka (dapat) bisa dikatakan hampir tidak masuk diakal," tuturnya.

Perludem pun memberikan rekomendasi untuk pemilu serentak yang akan datang, tanpa harus kembali ke pola pemilu yang lama. Titi mengusulkan pemilu yang akan datang dipisahkan antara pilpres, pileg DPR RI, dan DPD RI, dan DPRD.

"Yang kami usulkan itu jadi ada dua pemilu serentaknya itu, jadi pemilu serentak nasional memilih presiden, DPR dan DPD. Jadi isunya itu adalah isu-isu nasional karena kan yang dipilih itu adalah presiden, DPR, dan DPD. Menurut saya baik dari sisi beban pemilih, peserta, penyelenggara itu sangat rasional, sangat masuk akal," jelasnya.

"Nah terus dalam jarak 30 bulan atau 2 setengah tahun diikuti dengan pemilu serentak daerah, ini untuk memilih kepala daerah dan DPRD. Ini juga sekaligus untuk mengakhiri diskursus soal pilkada itu langsung atau tidak langsung, dan juga membuat isu lokal itu betul-betul menjadi perhatian ketika proses pilkada," lanjutnya.

Perludem juga merekomendasikan ke depan agar proses rekapitulasi pemilu sudah menerapkan rekapitulasi elektronik. Beban petugas KPPS dalam mengisi rekapitulasi secara manual juga memberatkan petugas.

"Terus terang beban mengisi formulir memberatkan. Jadi beban tambahan yang sangat luar biasa, karena banyak sekali, formulir untuk saksi, formulir untuk pengawas, bayangkan pesertanya ada 16 berarti kan 16 salinan. Itu kan butuh waktu dan kerja keras. Jadi selain mengubah skema keserentakan pemilu juga diikuti dengan kita mulai harus mempertimbangkan, memberlakukan rekapitulasi suara secara elektronik," imbuhnya.

Titi juga mengungkapkan jika pada pemilu kali ini para petugas KPPS tidak didukung oleh daya dukung yang memadai dan berimbang. "Dari sisi jaminan asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan kan memang mereka nggak dapat kan. Padahal apa yang mereka lakukan itu sangat beresiko," ujarnya. 

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews