Suku Terasing di Pedalaman Batam: Nasib Orang Darat Terakhir di Tengah Megaproyek Tomy Winata

Suku Terasing di Pedalaman Batam: Nasib Orang Darat Terakhir di Tengah Megaproyek Tomy Winata

Salah satu suku di pedalaman Batam saat ditemui seorang tokoh masyarakat Batam, Imbalo, di Rempang (Foto: Imbalo)

SUKU asli Batam, suku Orang Darat atau Orang Oetan (Hutan), yang bermukim di Pulau Rempang mendekati punah. Populasinya kian minim. Jumlahnya diyakini, kini, hanya tersisa lima orang saja. Mereka tinggal di Kampung Sadap, Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Kehidupan mereka kini semakin terdesak. Tak lama lagi, Pulau Rempang pun bakal dijadikan New City (Kota Baru).

Baca juga: Pelabuhan Karimun Pasang Thermal Detector di Pintu Masuk Internasional

Jadi jangan pikir Batam adalah hamparan gedung-gedung bertingkat maupun properti lainnya. Batam memiliki kawasan pedalaman di hutan Pulau Rempang dan Galang. Di sini bermukim orang asli Batam baik dari suku laut maupun orang darat atau yang dahulunya juga disebut orang hutan. 

Tomy Winata melalui PT Makmur Elok Graha (MEG) mendapat izin mengembangkan pulau tersebut. Lantas bagaimana nasib Orang Darat itu?

Juru Bicara PT MEG, Fernaldi Anggadha, mengatakan tak akan menyia-nyiakan warga setempat termasuk suku Orang Darat.

"Kita akan perhatikan, dan akan direlokasi di tempat khusus, di sana sudah ada semua fasilitas, permukiman, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya," ujar Fernaldi yang juga komisaris PT MEG kepada Batamnews, Senin (17/4/2023).

Saat ini PT MEG dan BP Batam tengah mendata penduduk di Pulau Rempang dan Galang tersebut.

Pulau Rempang dan Galang seluas 17.000 hektare akan berdiri gedung-gedung tinggi dan kawasan industri, argo wisata.

Baca juga: Cakrawala Baru Batam: Pengembangan Kawasan Rempang Siap Saingi Singapura

Tentu saja, rencana pengembangan ini tentu akan berdampak juga pada kehidupan sosial masyarakat setempat, terutama pada suku asli Batam di Pulau Rempang, Orang Darat.

Diketahui, sejak terbukanya Pulau Rempang lewat kehadiran Jembatan Barelang, kehidupan Orang Darat makin tersudut. Mereka yang biasanya hidup nomaden di hutan-hutan Pulau Rempang terdesak oleh pemukiman dan usaha para pendatang di sana.

Orang Darat ini juga dikenal sebagai komunitas yang introvert terhadap orang luar. Tidak terbiasa berbaur. Kehidupannya nomaden membuat karakter mereka sangat tertutup dari orang luar.

Beberapa literasi menyebutkan, saat ini Orang Darat –masyarakat setempat menyebutnya Orang Hutan- hampir punah. Diketahui, mereka hanya tinggal lima orang saja dan menetap di Kelurahan Rempang Cate di Pulau Rempang.

Seperti apa sejarah Orang Darat ini? Buka halaman selanjutnya...

 

Sejarah Orang Darat

Orang Darat berbeda dengan Suku Orang Laut. Walau disebut sebagai suku asli di Provinsi Kepulauan Riau, tapi cara hidup mereka berbeda.

Sesuai namanya. Orang Darat hidup di darat, mendiami hutan-hutan yang ada di Pulau Batam dan Pulau Rempang. Sementara Suku Orang Laut menetap di laut dan tinggal di sekitar Pulau Lingga dan Pulau Bintan.

Baca juga: Batam, a Unique City Boasting Rich Culture and Business Opportunities

Arsip dari kolonial Belanda yang ditulis P. Wink tanggal 4 Februari 1930, menyebutkan ada suku asli di Pulau Rempang dari tulisan JG Shchot yang dimuat Indische Gids tahun 1882.

Disebutkan, berdasar legenda, mereka berasal dari Lingga. Namun, tidak ada informasi yang jelas tentang asal usul ini. Orang Darat ini mirip suku asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun.

Orang Darat di Pulau Rempang hidup di pondok-pondok tanpa dinding dan hanya beratap. Selain tinggal di Pulau Rempang, Orang Darat ada juga yang tinggal di Pulau Batam. P.Wink mendata pada tahun itu jumlah Orang Darat yang ada di sana ada sekitar 36 orang. Terdiri dari delapan  laki-laki, 12 orang wanita dan 16 orang anak-anak.

Mereka hidup dari bercocok tanam, mencari hasil hutan. Kalau kondisi air pasang, mereka baru mencari kepiting dan lokan. Nantinya dibarter dengan orang Tionghoa yang memiliki kebun gambir yang ada di Pulau Rempang.

Sekitar tahun 1973 pemerintah pusat melalui Departemen Sosial –waktu itu- membuat kebijakan memukimkan suku Orang Darat itu melalui program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT). Orang Darat itu dimukimkan di satu tempat, Kampung Sadap, Desa Rempang Cate, Kecamatan Galang.

Baca juga: Keindahan dan Potensi Pulau Rempang di Kepulauan Riau yang Dilirik Tomy Winata Sejak Tahun 2004

Kampung Sadap dipilih karena kondisi hutannya masih terjaga, dekat dengan laut dan sungai. Kampung ini juga dekat dengan Kampung Cate, salah satu daerah yang tahun 1973 sudah didiami masyarakat Melayu.  Secara administrasi, Kampung Sadap tahun 1973 masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau.

Namun kemudian dengan dijadikannya Batam sebagai daerah pengembangan industri, Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam  tak pelak berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Apalagi ketika Jembatan Barelang selesai pada tahun 1998, wilayah Pulau Rempang pun ikut jadi berkembang seperti Pulau Batam.

Seperti apa kondisi mereka sekarang? Buka halaman selanjutnya....

 

Orang Darat Makin Terdesak

Kehadiran Jembatan Barelang, membuat masyarakat Batam ramai-ramai membuka usaha ke Rempang dan Galang.  Bermunculah usaha perkebunan dan pertanian di Rempang dan Galang. Lalu ada juga usaha peternakan, batu bara dan dapur arang.

Baca juga: Kisah Kelam ABK Kapal MT Tiger Star: David Selamat, Wilmar Meninggal, Iqbal

Imbas pembukaan lahan itu ada pada kelompok kecil Orang Darat. Mereka yang biasa hidup berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, makin tersudut di Kampung Sadap.

Catatan pada bulan Agustus 2021 dari penelitian Brin, Orang Darat hanya tinggal menempati dua hektar lahan di Kampung Sadap.

Selain tempat hidup mereka makin kecil, jumlah mereka pun makin menyusut. Pada tahun 2008, Tempo pernah menulis jumlah Orang Darat di Kampung Sadap pada tahun 1995 sebanyak 12 kepala keluarga. Disebutkan dalam penelitian Brin, tahun 2014 jumlah Orang Darat hanya tersisa delapan kepala keluarga saja.

Baca juga: 7 Tempat Nongkrong Terbaik di Batam untuk Menikmati Kopi yang Enak

Lalu jumlah ini menyusut lagi pada tahun 2021, jumlah Orang Darat tinggal empat KK dengan sembilan jiwa di Kampung Sadap.. Selain di Kampung Sadap, ada lagi satu kepala keluarga Orang Darat di Cate

Makin sedikitnya suku asli itu disebabkan, ada yang memutuskan bermigrasi ke pulau lain, juga disebabkan banyak meninggal karena sakit. Diketahui, Orang Darat itu tetap memilih tinggal di bawah pohon-pohon besar dengan bangunan seadanya yang terbuat dari triplek dan kayu.

Orang Darat yang sejak dahulu tinggal di hutan, mudah diserang berbagai penyakit, seperti beri-beri dan malaria.

Baca juga: Larang ASN Bawa Kendaraan Dinas untuk Mudik Lebaran, Bupati Karimun: Jangan Coba-coba Ganti Pelat Nomor

Penyebab lain adalah keterbatasan jumlah Orang Darat menyebabkan mereka sulit mencari pasangan. Tidak mengherankan sejumlah laki-laki Orang Darat yang berusia antara 30-40-an tahun ditemukan belum menikah.  Di Kampung Sadap, hanya satu kepala keluarga yang memiliki anak dan itu pun karena menikah dengan wanita asal Jawa Barat.

Laporan terbaru yang ditulis Kompas (18/2/2023), diketahui jumlah Orang Darat di Pulau Rempang tersisa lima orang. Jumlah ini diungkap Ketua RT 003 RW 001 Kelurahaan Rempang Cate, Pulau Rempang, Batam.

Baca juga: KSAL Luncurkan Kapal Kepresidenan Bung Karno-369 Hasil Produksi Batam

Bakti, Ketua RT setempat, menyebut, Orang Asli –sebutan untuk Orang Hutan itu- masih tinggal di dalam hutan. Mereka masih bertahan di rumah kayu di dalam hutan. Bedanya, mereka tidak hidup nomaden lagi, karena hutan mereka makin sedikit.

“Saat hutan di Pulau Rempang masih luas, kami hidup secara nomaden atau berpindah-pindah menyesuaikan ketersediaan pangan di sekitar,” kata Lamat, salah seorang Orang Hutan seperti dikutip Batamnews dari Kompas.id

Ke lima orang yang tersisa itu adalah, Lamat, Senah mertua dari Lamat, Opo adik Lamat, Tongku dan Baru keponakan Lamat. Sementara istri Lamat sudah meninggal karena diserang penyakit.

Dari lima Orang Darat yang tersisa itu, hanya Tongku yang memiliki keturunan. Ia menikah dengan perempuan Sunda dan memiliki tiga anak.

Baca juga: Salat Id Pemko Batam Dipusatkan di Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah

Lamat ingat betul, setelah hutan di Pulau Rempang nyaris habis, Orang Darat mencoba bertahan dengan mencari makan di laut. Namun, mereka hanya pandai sekadar menangkap ketam dan ikan dengan bubu di pesisir.

Peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman, berharap bisa menjaga suku Orang Darat ini jangan sampai punah.

“Punahnya suku Orang Darat bakal menjadi kehilangan amat besar bagi sejarah Kepri. Suku Orang Darat, seperti juga suku Orang Laut dan suku Akit, adalah suku bangsa proto-Melayu yang membentuk kebudayaan Melayu di Kepri saat ini,” kata Dedi seperti dilansir dari Kompas.id.

Tentunya kita berharap kehadiran Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) yang akan dikembangkan PT MEG bisa mengalokasikan lahan untuk kehidupan masyarakat suku asli Batam itu.

Penulis: Denni Risman


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews