Nelayan Tanjungpinang Mulai Kesulitan Dapatkan Bahan Bakar Minyak

Nelayan Tanjungpinang Mulai Kesulitan Dapatkan Bahan Bakar Minyak

Seorang nelayan di Madong, Tanjungpinang menarik kelong menggunakan perahu akhir Juni 2019 lalu. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau menyatakan nelayan mengalami kesulitan untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM). (Foto : Asiik3)

Tanjungpinang - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau menyatakan nelayan mengalami kesulitan untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Pelaksana Tugas Ketua HNSI Tanjungpinang Zulkarnaen, di Tanjungpinang, Selasa (6/8/2019), mengatakan permasalahan nelayan sulit mendapatkan bahan bakar sudah lama terjadi.

"Masalahnya sudah lama. Ini masalah klasik yang belum selesai," ujarnya.

Zulkarnaen sendiri kesulitan mendapatkan solar untuk melaut, seperti yang terjadi hari ini. Padahal ia membutuhkan solar untuk mengoperasikan empat kelong, kapal tradisional yang terbuat dari kayu dan papan untuk menangkap ikan teri dan cumi. Kapal kelong miliknya beroperasi di Perairan Pulau Pangkil, Kabupaten Bintan.

"Saya sering tidak kedapatan solar. Saya akan kirim surat ke pihak yang terkait," ujarnya.

Zulkarnaen tidak dapat memastikan penyebab kelangkaan solar tersebut, apakah ada penyelewengan atau memang kuota yang disediakan Pertamina tidak mencukupi.

Kelangkaan solar juga pernah terjadi pada saat pertambangan bauksit di Bintan menggeliat. Namun ia tidak dapat memastikan apakah BBM untuk kapal nelayan itu dipergunakan untuk kepentingan pertambangan.

"Benar, setiap kali ada tambang bauksit, kami kesulitan mendapatkan solar," tuturnya.

Selain solar, kata dia sebagian nelayan menggunakan premium sebagai bahan bakar mesin kapal. Kebutuhan solar maupun bensin tergantung dari mesin yang digunakan nelayan.

"Tergantung berapa lama berada di laut. Semakin lama melaut, semakin banyak bahan bakar yang dibutuhkan," katanya.

Di Tanjungpinang hanya ada satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Banker. Segudang peraturan diterapkan sehingga nelayan tradisional sulit mendapatkan solar.

Jika ingin membeli premium maupun solar dengan menggunakan drum harus mendapatkan ijin dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri. Jika tidak menggunakan drum, maka harus memiliki standar tangki minyak di kapal yang sudah diatur pemerintah.

"Tangki minyak dari besi, yang ukurannya sudah diatur," ucapnya.

Berdasarkan data HNSI, kapal nelayan ukuran 1 - 3 GT  sebanyak 986 unit dengan kebutuhan BBM mencapai 162.690 liter atau 814 drum dalam setiap bulan.

Sementara kapal nelayan ukuran 3 - 5 GT  sebanyak 1.465 unit dengan kebutuhan BBM sebanyak 1.538.250 liter atau  7.692 drum per bulan.
Kapal nelayan ukuran di atas 5 GT sebanyak 82 unit dengan kebutuhan BBM mencapai 85.280 liter atau 427 drum

"Jadi estimasi kebutuhan BBM  1.786.220 liter atau 8.933 drum perbulan," ucapnya.

Sebelumnya, Unit Manager Communication dan CSR Pertamina MOR I, M Roby Hervindo, memastikan kebutuhan solar untuk nelayan di Provinsi Kepulauan Riau terpenuhi setiap harinya meskipun ada peningkatan permintaan.

“Tidak ada kelangkaan solar subsidi untuk nelayan,” katanya.

Pertamina memastikan kebutuhan solar untuk nelayan di Provinsi Kepulauan Riau terpenuhi setiap harinya meskipun ada peningkatan permintaan.

“Tidak ada kelangkaan solar subsidi untuk nelayan,” ujarnya

Ia mengatakan kuota solar bersubsidi untuk nelayan sampai Juli 2019 mencapai 50.529 liter. Namun harus ditambah karena disesuaikan dengan kebutuhan nelayan berdasarkan permintaan.

Berdasarkan catatan Pertamina, kebutuhan solar untuk nelayan di Kepri hingga Juli 2019 mencapai 61.660 liter.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews