Ya Allah, Hancurnya Hutan Lindung Kami

Ya Allah, Hancurnya Hutan Lindung Kami

Foto udara kerusakan lingkungan di Batam (Foto: Batamnews)

Batam - Kerusakan hutan lindung berikut lingkungan di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, kian tak terkendali. Kerusakan kian masif. Faktanya, terlihat struktur bentangan alam Batam yang tak lagi indah.

Dengan mata kepala, google maps, hingga pantauan udara, sangat terlihat jelas kontur lahan di Batam sudah compang camping. Terlihat di setiap sudut.

Berbagai aktivitas tersaji di sana. Mulai dari tambang pasir, penjualan hutan lindung menjadi kaveling-kaveling, pengerukan perbukitan, reklamasi ilegal, perkebunan dan lainnya.

Kondisi ini sangat memprihatinkan. Aapalati sejumlah titik dipastikan telah dirusak dan diperjualbelikan secara ilegal.

Diantaranya di Tanjung Buntung Bengkong, Punggur, Nongsa serta Tanjungpiayu.

Di Tanjung Buntung, hutan lindung tak lagi menyisakan pepohonan. Bahkan sebatang pohon pun tiada.

Kategori kerusakannya tergolong ganas. Aktivitas pengerukan hutan lindung ini tak terbendung. Puluhan alat berat bekerja setiap hari. Sengaja dilepas aparat. Pelaku pengrusakan diduga sudah kongkalingkong dengan aparat setempat.

Lokasi lahan hutan lindung itu dibabat dan dikeruk. Material tanah dari kawasan itu dijadikan material penimbunan laut atau reklamasi ribuan hektare di Batam. Disuplai ke Bengkong, Ocarina Batam Centre hingga Harbour Bay.

Aparat hukum pun tak berdaya. "Ada ribuan hektare lahan hutan lindung yang telah dirusak. Hanya tinggal 50 persen," ujar Aldi, aktivis lingkungan di Batam, Senin (5/8/2019).

Beberapa titik diantara juga dijadikan tambang pasir. Pasir-pasir ilegal tersebut kemudian disuplai untuk kebutuhan pembangunan dan properti di Batam.

"Hutan lindung dijadikan lahan penambangan pasir dan pengerukan material penimbunan laut," ujar Aldi.

Aktivitas penimbunan laut di Batam memang sangat masif. Titiknya di Bengkong, Batam Centre, Jodoh, Tiban, Tanjung Piayu, Nongsa. Hampir di setiap kecamatan di Batam tak lepas dari aktivitas reklamasi.

"Di Tanjung Buntung tak ada lagi tersisa satu pohon pun," ujar Aldi.

Batam sangat fenomenal. Ada berbagai pemangku kewenangan. Pertumbuhan ekonomi. 

Tata ruang sudah beberapa kali dilakukan evaluasi. Ada beberapa kali perubahan. 

"Sebelumnya hutan lindung jadi kawasan putih. Begitu sebaliknya dari kawasan putih jadi hutan lindung," ujar Kherjuli, Direktur LSM Air, Lingkungan dan Manusia (ALIM) Provinsi Kepulauan Riau, Senin (5/8/2019).

Kherjuli juga merasa prihatin, sekarang ini sangat sulit ditemukan pohon-pohon besar. 

"Tidak lagi ditemukan. Justru yang kita temukan perkebunan dan bangunan liar," katanya.

Menurut Kherjuli, Batam jadi perhatian nasional atas pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pertumbuhan penduduk, namun tidak lepas dari masalah paru-paru kota.

Padahal, kata dia, hutan harus steril dari aktivitas apapun sesuai UU Kehutanan. 

"Bila tidak bisa, warga bisa memanfaatkan hutan dalam waktu tertentu.

"Tapi non kayu," ujar Kherjuli yang juga anggota Komisi AMDAL Kepulauan Riau. Ini sudah berjalan di Batam.

Yang jadi perhatian hutan lindung yang jadi tangkapan air sudah jadi permukimanan.

Masalahnya sudah komplek. Sejak perubahan peruntukan banyak terjadi. 

"Sesuai UU harusnya pemerintah, karena pemerintah punya kewenangan, tapi butuh kesadaran masyarakat," katanya.

Dampaknya terjadi peningakatan suhu udara, hilangnya daerah tangkapan air, wilayah hutan hilang, kesehatan warga Batam.

Pemanasan global, iklim. Solusinya, pemerintah harus menawarkan dua skema, hutan harus steril, tapi belum bisa. 

Kedua, perhutanan sosial untuk mengelola, bukan untuk diperjualbelikan, tapi dimanfaatkan dengan baik. Tidak boleh eksploitasi hutan.

Penegakan hukum lemah? Bukan hal umum lagi. Kalau tegas tidak terjadi.

(snw)

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews