Pulling Teeth Out Of A Tiger`s Mouth

Pulling Teeth Out Of A Tiger`s Mouth

Suyono Saputro (Foto: Batamnews)

JUDUL diatas merupakan sebuah analogi, yang dikemukakan oleh salah satu calon investor terminal petikemas Tanjung Sauh saat meninjau keberhasilan Port of Tanjung Pelepas (PTP) – Johor Bahru, Malaysia.

Terjemahan judul tersebut kurang lebih begini, "mencabut gigi dari mulut harimau". Siapa yang jadi harimau, sudah jelas, Port of Singapore Authority (PSA), pengelola terminal petikemas terbesar dunia dengan 33 juta TEUs kontainer per 2017 lalu.

Pertama, PTP berhasil mengundang Maersk Sealand masuk ke Johor pada Agustus 2000 sekaligus mendapat penawaran kepemilikan saham operator terminal sebesar 30% dengan catatan Maersk memindahkan sebagian kontainernya ke PTP. Kedua, Evergreen ikut menyeberang  pada 2002 dan menandatangani kerjasama layanan terminal dengan PTP.

Dua perusahaan terbesar dunia itu telah mencabut kurang lebih 10% 'gigi harimau' dari pelabuhan Singapura, dan berkontribusi dalam pencapaian PTP hingga hari ini dengan 10 juta TEUs kontainer per tahun.

Belajar dari keberhasilan itu, apakan memungkinkan untuk mengulanginya kembali untuk mengembangkan Terminal Tanjung Sauh dan Batu Ampar di Batam?

Terus terang ini tantangan berat, walaupun bagi Singapura keberadaan dua pelabuhan besar di Malaysia yaitu Port of Klang dan PTP sama sekali tidak mengecilkan porsi layanan transhipment PSA di jalur pelayaran global. Justru kapasitasnya terus meningkat.

Kabarnya, PSA tengah mempersiapkan areal seluas 60 hektar di dekat Tuas untuk menjadi pusat smartport masa depan Singapura dengan ultimate capacity mencapai 70 juta TEUs per tahun. Singapura tengah bersiap menjadi the leading port operator in the world.

Begitu juga ketika nantinya Tanjung Sauh dan Batu Ampar juga berkembang dengan masing-masing kapasitas 1-2 juta TEUs, dipastikan tidak akan berpengaruh signifikan bagi Singapura. Setidaknya itu yang saya baca dari hasil diskusi dengan salah satu pejabat dari negara tersebut.

Namun pertanyaan sekarang adalah, apa urgensi dari pembangunan Terminal Tanjung Sauh dan modernisasi Terminal Batu Ampar? Jika kita melihat kondisi saat ini di Batu Ampar, maka kalau dibolehkan, kita mau undang Bandung Bondowoso untuk datang membangun terminal modern dalam satu malam.

Prihatin, Batu Ampar hari ini dan 20 tahun yang lalu nyaris tidak ada perbedaan. Tidak hanya Kepala BP Batam dan Walikota Batam, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun mengakui hal itu. Pelabuhan lain berpacu dan berbenah diri, Batu Ampar masih terbengkalai.

Alhasil, pengelolaan pelabuhan yang masih tradisional berdampak terhadap tarif jasa kontainer rute Singapura – Batam yang masih tinggi. Tidak hanya itu, hampir semua rute kontainer tujuan Batam jauh lebih mahal ketimbang rute Singapura ke kota lain di Indonesia.

Kondisi ini yang menjadi perhatian serius pak Wapres ketika datang meresmikan ekspor elektronik PT SatNusa Persada pada Februari lalu. Wapres mengultimatum agar tarif kontainer rute Batam – Singapura bisa ditekan dalam waktu 30 hari.

Pengembangan terintegrasi

Membenahi kondisi Batu Ampar tentu tidak bisa secara parsial. Dalam beberapa kali diskusi dengan konsultan pelabuhan, pembenahan terminal tertua di Batam itu harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi.

Yang jadi masalah tidak saja tarif yang mahal, tapi juga fasilitas pelabuhan yang sudah usang, dan belum adanya sistem manajemen pelabuhan yang lebih profesional. Disini tantangan itu mulai muncul.

Berulang kali tender internasional dilakukan dan terakhir beauty contest pada 2012 lalu gagal menghasilkan pemenang. Nama CMA-CGM, operator kapal kontainer asal Perancis, sempat muncul namun akhirnya kandas. Setelah itu, hampir 10 tahun tender Batu Ampar tak tersentuh lagi.

Sampai hari ini, total kapasitas di terminal tersebut hanya 400.000 TEUs per tahun. Dalam perencanaan awalnya, kapasitas Batu Ampar bahkan bisa mencapai 10 juta TEUs, jika lahan yang berada di sekitar pelabuhan itu tidak dijual kepada pihak lain dan sekarang malah terjepit diantara kawasan industri dan properti.

Skenario pengembangan Batu Ampar – sebagaimana pernah disusun oleh Pelindo I -- hanya bisa dilakukan dengan kapasitas 1-2 juta TEUs, itu pun dengan melakukan reklamasi laut yang sudah pasti menyebabkan harga menjadi sangat mahal. Untuk peralatan dan sistem, Pelindo sudah mempersiapkannya.

Jika dari sisi pelabuhan sudah siap, maka yang harus dipikirkan juga adalah kesiapan rantai pasok logistik (supply chain logistic) yang melibatkan operator kapal, pengelola pelabuhan, jasa forwarder, pemilik barang, dan stakeholder terkait lainnya.

Penulis melihat rantai pasok yang tidak dikelola dengan baik menyebabkan harga menjadi tidak terkendali. Masing-masing mata rantai justru bergerak sendiri-sendiri dan menetapkan tarif secara sepihak. Ini belum lagi masuk komponen biaya 'lain-lain' yang dibebankan dalam tarif sehingga menjadi tidak kompetitif.

Harus dibenahi

Tidak ada cara lain, Batu Ampar harus segera dimodernisasi. Dunia sedang bergerak cepat menuju modernisasi dan efisiensi. Di manapun pelabuhan yang menjadi akses keluar masuk kontainer industri seharusnya sudah dilengkapi dengan fasilitas yang canggih dan efisien.

Karena ini menyangkut citra kawasan sebagai tujuan investasi asing yang harus bersaing dengan kawasan sejenis di regional yang menawarkan jasa layanan kepelabuhanan yang lebih kompetitif. Kita sebenarnya sudah sadar dengan hal itu, tapi kondisi internal dalam kondisi tidak kondusif.

Gonta ganti manajemen BP Batam merupakan salah satu penyebab tidak fokusnya pengembangan lanjutan Batu Ampar. Kondisi ini pun bakal berlarut hingga pelantikan presiden baru. Dunia usaha tentu sangat berharap himbauan Wapres agar tarif kontainer bisa menjadi lebih murah, agar industri lebih bersaing dan Batam sebagai kawasan bisa semakin menarik bagi investasi asing.

Sudah saatnya Batam memiliki pelabuhan yang representatif, apakah mengembangkan Batu Ampar atau membangun terminal baru di Tanjung Sauh. Keduanya merupakan sebuah proyek strategis yang menjadi momen kebangkitan Batam pada masa datang.

Sebanyak 80 ribu unit kapal setiap tahun lalu lalang di depan Selat Malaka dengan hampir 100 juta TEUs kontainer dan hanya dinikmati oleh PSA, Port Klang, dan PTP. Setidaknya ini bunga-bunga tidur yang melenakan sehingga Batu Ampar tidak juga mampu terbangun.

Pertanyaannya kini, bagaimana cara mengembangkan Batu Ampar? Benar, jutaan kontainer yang lalu lalang di depan mata itu bukanlah kontainer tak bertuan. Kapal-kapal yang mengangkutnya sudah punya tujuan masing-masing.

Memindahkan kontainer yang tranship dari PTP atau PSA ke Batu Ampar tentu bukan soal gampang. Seperti judul tulisan ini, seperti mencabut gigi harimau. Kalau tak kuat, jangan coba-coba, malah bisa kena terkam!

Ada pemikiran yang berkembang selama ini untuk menjalin kerjasama dengan pemilik kapal atau kontainer, seperti yang pernah dibuat PTP. Tidak ada jalan lain, ketimbang mengharapkan pertumbuhan kontainer dari inland Batam jelas ini tidak signifikan.

Setelah dapat mitra, tantangan berikutnya adalah menyediakan jasa pelabuhan yang lebih modern dan efisien. Untuk urusan ini, PSA jauh lebih jago, sehingga Batu Ampar harus mampu mengimbangi jika tak bisa lebih murah. Waktu tunggu (dwelling time) di Singapura bukan lagi hitungan hari, tapi sudah jam dan menit.

Terakhir saya berharap rencana mengembangkan Batu Ampar bisa tetap dilanjutkan dan tidak terpengaruh pergantian manajemen di BP Batam atau gonjang ganjing politik nasional. Begitu juga dengan proyek-proyek strategis lain yang sempat tertunda.

Dalam banyak tulisan, saya selalu menyampaikan, memodernisasi infrastruktur kawasan ini hukumnya wajib. Mau sampai kapan Batam terus seperti ini?

Suyono Saputro (Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews