Terobosan untuk Kemajuan Batam

Terobosan untuk Kemajuan Batam

Suyono Saputro (Foto: Batamnews)

Sudah hampir dua minggu sejak rapat terbatas yang dihadiri Presiden Joko Widodo pada Rabu, 12 Desember 2018 lalu menghasilkan keputusan kontroversial, melebur kepemimpinan Badan Pengusahaan Kawasan Batam dalam satu kendali dibawah Walikota Batam.

Sebagian pihak menganggap keputusan ini melanggar undang-undang, terutama pasal yang mengatur larangan Kepala Daerah merangkap jabatan pada lembaga negara lainnya. Berbagai pandangan skeptisme pun bermunculan terkait bayang-bayang kehancuran jika Batam dipimpin oleh tokoh politik.

Bahkan sebuah organisasi intelektual pun terpaksa melanggar kaidah-kaidah akademis dalam melontarkan pernyataan yang mendahului logika, atau kalau boleh saya menggunakan istilah penyesatan logika secara sistematis.

Kita boleh tidak sepakat tapi tidak boleh mendiskreditkan dan meremehkan kemampuan seseorang dalam memimpin sebuah organisasi. Atau bahkan menebar skeptisme untuk menyerang pribadi atau sebuah keputusan melalui berbagai forum diskusi. Ini sungguh tak patut dalam tataran akademis.

Namun demikian penulis dapat memahami, kegundahan pihak-pihak yang berada dibalik aksi 'serangan udara' penolakan konsep baru yang diusulkan presiden tersebut. Begitu juga kepentingan besar yang mendasari kegundahan atau kegelisahan itu.

Tapi tulisan ini tidak akan me-elaborasi lebih jauh soal kegundahan. Sebagai akademisi, saya mencoba melihat dari perspektif yang luas, bahwa apakah konsep pengalihan kepemimpinan BP Batam dibawah Walikota merupakan sebuah terobosan atau kecerobohan. Mari kita lihat dalilnya.

Saya katakan keputusan presiden ini merupakan terobosan. Mengapa? Sudah jelas melebur kepemimpinan dua organisasi itu dalam di bawah satu kendali merupakan alternatif solusi mengatasi problem dualisme.

Benar, banyak yang tidak sepakat bahwa dualisme itu ada, tapi kenyataannya, tarik menarik antara BP dan Pemko terkadang membingungkan. Kasus terakhir soal investasi plastik asal China, BP bilang go ahead, tapi Walikota melarang.

Memang agak sulit jika mendebat pemikiran skeptis dari orang-orang yang berpikiran picik dan kurang piknik. Akibatnya, sebuah terobosan menurut mereka bisa menjadi bencana. Sesuatu yang baik bagi orang skeptis justru akan menjadi buruk.

Dengan catatan!

Berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, secara tegas menyebutkan Dewan Kawasan membentuk Badan Pengusahaan Kawasan termasuk menetapkan Kepala dan para anggotanya (pasal 8 ayat 1-2).

Tidak ada aturan yang melarang bahwa Dewan Kawasan boleh dijabat oleh Menko Perekonomian, Gubernur, dan para menteri terkait, begitu juga tidak ada larangan Kepala BP boleh dijabat oleh Walikota. Untuk membahas masalah ini, saya akan buat tulisan tersendiri.

Selama 12 tahun terakhir, model pengelolaan kawasan bebas Batam terpisah dalam struktur tersendiri melanjutkan struktur kelembagaan Otorita Batam yang bertransformasi menjadi BP Batam.

Sementara itu, Batam sebagai daerah otonom juga memiliki struktur kelembagaan pemerintah daerah yang dibentuk pada 1999. Kawasan bebas dan otonomi berbaur dalam satu pulau. Disini dualisme itu bermula.

Mengapa saya menilai ini terobosan. Jika melihat keberhasilan kawasan ekonomi khusus Shenzen dan kawasan lain di China dalam pengembangan kawasan khusus selama hampir empat dekade terakhir, maka skema peleburan kepemimpinan ini layak dicoba.

Salah satu keunggulan Shenzen dan KEK lain di negara itu adalah konsistensi kelembagaan yang menganut single-authority. Pemerintah pusat/Dewan kawasan pusat dan provinsi mendukung pembentukan regulasi dan kelembagaan KEK di Shenzen, tapi kewenangan pengelolaan diserahkan kepada pemerintah kota melalui unit-unit kerja yang bertanggung jawab dengan fungsi masing-masing. Artinya, lembaga KEK Shenzen berada di bawah kendali Pemerintah Kota.

Berdasarkan UU, pemerintah pusat memberikan kewenangan dan otonomi bagi pemerintah kota untuk menerbitkan regulasi/insentif sendiri sepanjang tidak melanggar koridor hukum yang berlaku di negara China. Dewan kawasan di level pusat dan provinsi hanya menetapkan regulasi, kerangka kerja, dan arah pembangunan KEK.

Apakah pola tersebut bisa diterapkan di Batam? Bisa saja mengapa tidak, tapi dengan catatan! Pemerintah pusat/Dewan Kawasan harus konsisten dalam membuat aturan pendukung dan kerangka kerja yang jelas. Dan yang lebih penting, semua pihak mendukung, tanpa skeptisme.

Artinya, selama ini pemerintah sudah mencoba model kepemimpinan BP yang mengakomodir kepentingan daerah (era Mustofa dkk) dan murni utusan dari pusat (era Hatanto dan Lukita) tapi tidak terlalu signifikan membawa perubahan. Dualisme masih ada.

Pesan presiden dari ratas itu sebenarnya jelas. FTZ Batam adalah proyek nasional yang harus diimplementasikan oleh pemilik kewenangan pada level daerah. Diskresi pada tataran pemerintah lokal ini diharapkan dapat menstimulasi percepatan pembangunan di semua aspek seperti transportasi, infrastruktur, logistik, dan perencanaan industri.

Batam masa depan

Mengapa saya secara pribadi mendukung konsep ini? Sejujurnya, saya berpendapat dalam konteks pembangunan Batam keseluruhan. Bahwa pulau ini selayaknya maju lebih kencang dibandingkan kawasan lain di Indonesia yang minus fasilitas.

Selama hampir 15 tahun saya menulis dan mengamati perkembangan pulau ini dalam berbagai bentuk statusnya mulai bonded zone, bonded zone plus, special economic zone, hingga free trade zone, harus diakui Batam belum kemana-mana. Hampir tidak ada perkembangan yang monumental yang dihasilkan dari FTZ Batam selain makin ramainya mobil bebas pajak dan barang konsumsi lain.

Tapi sektor industri malah cenderung merosot tergerus oleh sektor lain. Sejak 2002 porsi industri dalam PDRB sebesar 60% terus tergerus hingga 38% pada 2017 lalu. Alokasi lahan pun juga lebih banyak untuk sektor lain ketimbang untuk industri.

Tanpa bermaksud mengkerdilkan peran event pariwisata, tapi bukan itu tujuan utama fasilitas FTZ plus anggaran triliunan ini dianugerahkan kepada Batam. FTZ itu untuk mendorong industrialisasi, investasi langsung, membuka lapangan kerja, dan mendorong ekspor.

Sesuai pasal 9 ayat 2 fungsi kawasan yang pokok itu antara lain untuk kegiatan manufaktur, rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, pengepakan, dan pengepakan ulang atas barang dan bahan baku dari dalam dan luar negeri, pelayanan perbaikan atau rekondisi permesinan, dan peningkatan mutu.

Termasuk juga penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana air dan sumber air, prasarana dan sarana perhubungan termasuk pelabuhan laut dan bandar udara, bangunan dan jaringan listrik, pos dan telekomunikasi, serta prasarana dan sarana lainnya.

Sementara itu data lain menyebutkan utilitas kawasan industri sebagai motor penggerak kawasan perdagangan bebas juga tidak terlalu menggembirakan. Dari 17 kawasan industri di Batam dengan hampir 5.000 hektar lahan tapi yang termanfaatkan kurang dari 1.000 hektar.

Masih banyak lahan industri yang idle tapi tak sanggup untuk dikembangkan karena investor yang masuk juga semakin sedikit. Bukan saja karena masalah internal Batam yang tidak berkesudahan tapi juga persaingan daerah tujuan investasi di regional juga semakin ketat.

Selama 12 tahun terakhir ini tidak jelas bagaimana nasib infrastruktur utama kawasan bebas yaitu pelabuhan dan bandar udara. Sistem logistik dan rantai pasok juga semakin tidak efisien. Sekali lagi, kita butuh refreshment dan re-orientasi pembangunan. Jika pola lama dirasa tidak terlalu efektif menggenjot akselerasi, mungkin ada baiknya dicoba pola baru.

Model bisnis global sudah berubah menuju era teknologi dan inovasi, sehingga mereka butuh kawasan yang bisa mengakomodir kebutuhan tersebut. Kawasan inovasi tidak butuh areal yang besar dan pekerja yang banyak, tapi padat modal dan full of incentives.

Fungsi kawasan sebagaimana pasal 9 sudah saatnya diperluas pola insentifnya. Tidak lagi terfokus pada model processing-based manufacture tapi sudah pada tahap innovation-based manufacture dan bernilai tambah tinggi. Untuk itu perlu skema insentif yang berbeda dan mungkin saja tidak cocok lagi dengan konsep FTZ.

Sudah pasti, tugas berat menanti bagi siapa saja yang akan memimpin organisasi BP Batam ke depan. Apakah nanti Rudi akan menjabat ex-officio Kepala BP Batam untuk mengawal transformasi FTZ ke KEK? Atau apakah nanti Lukita akan melanjutkan kepemimpinannya hingga mencapai target BBM27?

Yang penting, kita jangan sampai kita berkelahi mempertahankan argumentasi tapi melupakan substansi. Kita sibuk meributkan kemasan tapi membiarkan penyakit kronis hingga menggerogoti keseluruhan badan. Salam perubahan!

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews