Bukalapak dan Masa Depan Riset Indonesia

Bukalapak dan Masa Depan Riset Indonesia

Suyono Saputro (Foto: Batamnews)

Menarik mencermati kegenitan Achmad Zaky, founder Bukalapak, dalam cuitannya soal alokasi bujet research and development (R&D) Indonesia dibandingkan negara-negara maju di dunia. Sebagai seorang pelopor usaha rintisan (start-up) jelas dia sangat prihatin.

Hanya saja, keprihatinannya tersebut justru menjadi bumerang karena sang founder menyentil soal 'presiden baru' dalam cuitannya. Ini memunculkan kesan bahwa pemerintah saat ini bertanggung jawab terhadap rendahnya bujet R&D Indonesia.

Zaky buru-buru meralat dan minta maaf. Namun, netizen –terutama pendukung Presiden Joko Widodo—keburu berang dan ramai ramai mengkampanyekan gerakan anti-Bukalapak. Bermacam tagar bermunculan, ada #unistallbukalapak, #gantilapak, dan #lupabapak, padahal tidak perlu terlalu berlebihan seperti ini. Istilah anak sekarang, jangan baper!

Tapi saya tidak mau terseret lebih jauh membahas soal 'presiden baru', akan lebih menarik jika kita bahas substansi cuitan Ahmad Zaky soal alokasi R&D Indonesia yang masih minim bahkan kalah dibandingkan negara tetangga.

Sebenarnya sumber data Ahmad Zaky berasal dari data World Bank. Memang benar, R&D spending Indonesia selama kurun waktu 13 tahun sejak 2000 – 2013 tidak banyak perubahan, dari 0,06% pada 2000 menjadi 0,08% dari GDP pada 2013.

Data dari laman Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, setelah dilakukan perhitungan bersama tim LIPI, ternyata angka gross domestic product on expenditure of R&D (GERD) tahun 2016 sudah mencapai 0,25% dengan nilai kurang lebih $7 miliar. Angka ini diharapkan naik terus menjadi 4.20% pada 2040.

Bandingkan dengan AS yang mencapai $476 miliar, China $371 miliar, Jepang $171 miliar, Jerman $110 miliar, Korea Selatan $73 miliar, dan India $48 miliar. Dibandingkan dengan negara maju itu, jelas kita kalah jauh.

Mari kita lihat dengan sesama negara Asean. Singapura masih tertinggi dengan alokasi belanja R&D sebesar 2,2% senilai $10 miliar dengan jumlah peneliti sebanyak 6.700 per 1 juta penduduk, kemudian Malaysia 1,3% senilai $9,7 miliar dengan peneliti sebanyak 2.000 per 1 penduduk, Thailand 0,5% senilai $5,1 miliar dengan 964 peneliti per 1 juta penduduk.

Belanja R&D Indonesia yang hampir $7 miliar memang masih sangat minim tapi tak jelek-jelek amat di Asean. Indonesia hanya mampu menghasilkan 89 peneliti per 1 juta penduduk. Angka ini pun merosot jauh dibandingkan tahun 2000 sebanyak 212 orang.

Belanja R&D atau litbang sebenarnya menjadi tolak ukur bagi sebuah negara untuk melihat produktifitas riset yang dilakukan secara sistematis oleh para peneliti di lingkup pemerintah, swasta, dan universitas. Litbang ini mencakup riset dasar, terapan, dan eksperimen di segala bidang seperti kemanusiaan, budaya, kemasyarakatan, termasuk pengetahuan dalam pengembangan aplikasi baru.

Nah, produk litbang seperti apa yang sudah dihasilkan Indonesia dengan bermodal $7 miliar itu, apa bedanya dengan riset di AS, China, Korea, Jepang, dan Eropa?

Pertama, kita lihat dari publikasi ilmiah yang dihasilkan para peneliti di Indonesia. Jumlah artikel yang dimuat di beberapa jurnal ilmiah fisika, biologi, kima, matematika, medis, riset biomedis, teknik dan teknologi, dan ilmu bumi/ruang angkasa, selama 13 tahun terakhir meningkat tajam.

Menurut Kemenristekdikti, pertumbuhan publikasi ilmiah Indonesia meningkat sangat tinggi hingga 2.000% jika merunut data sejak 2005 – 2018. Sampai dengan Juni 2018 publikasi internasional terindeks Scopus sudah mencapai 12.233 artikel dan sudah menyalip Singapura yang tercatat 9.543 artikel, namun kita masih dibawah Malaysia dengan 12.492 artikel.

Kedua, dari sisi pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berupa paten. Kemenristekdikti mengklaim sampai dengan 2017 jumlah paten terdaftar sebanyak 4.018 paten atau naik 26,2% dari sebelumnya 3.184 paten pada 2016.

Aplikasi Riset

Jika yang menjadi tolak ukur keberhasilan sektor R&D Indonesia adalah publikasi ilmiah dan paten yang tercatat, lalu bagaimana dengan aplikasi atau implementasi hasil litbang tersebut terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di Indonesia terutama dalam pengembangan teknologi terapan?

Mari kita tengok sektor industri manufaktur. Sektor ini berkontribusi sekitar 20% dalam GDP nasional dan bisa dikatakan kita hampir masuk sebagai negara industri. Tapi apakah klaim sebagai negara industri itu sama definisinya dengan Korea Selatan, Jepang, China, dan Amerika?

Yang membedakan adalah empat negara itu menjadi negara industri karena memang mereka memiliki produk industri yang dikembangkan sejak puluhan tahun lalu, sebagai contoh elektronik, otomotif, manufaktur. Kita lihat bagaimana Apple, Microsoft, Google, Toyota, Honda, Panasonic, Samsung, dan LG, serta serbuan industri China seperti Huawei, Oppo, dan Vivo.

Setengah abad lebih kita menikmati perakitan teknologi otomotif dan elektronik Jepang dan Korea. Belum lagi gempuran smartphone China, jajahan teknologi manufaktur Eropa, sementara kita masih tertatih membangun produk sendiri dan bersaing dengan hegemoni produk asing.

Begitu juga di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan, kita juga tertinggal secara teknologi dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam terutama China. Kita seperti menikmati produk agribisnis impor yang menghujani pasar dalam negeri.

Data Kementerian Perindustrian pun mengakui bagaimana lambannya pergerakan teknologi industri kita. Di era revolusi 4.0 ini, salah satu contoh di industri makanan minuman, untuk skala mikro kecil masih didominasi industri 2.0, sedangkan industri besar juga sama sekitar 70% masih menggunakan industri 2.0 dan hanya 30% yang sudah 3.0.

Ini dihadapi tidak saja sektor makanan minuman, tapi juga sektor pertanian dan manufaktur. Untuk menerapkan teknologi yang lebih tinggi tentu perlu riset yang tidak murah. Investasi infrastruktur teknologi terkini juga sangat mahal, belum lagi kompetensi tenaga kerja yang belum memadai.

Kita belum cerita dengan sektor pendukung lain seperti efektifitas rantai pasok, dukungan regulasi, dan dinamika riset di perguruan tinggi. Mimpi untuk ikut serta dalam revolusi 4.0 tak akan terwujud jika problem mendasar seperti ini tidak juga dibenahi.

Di tengah berbagai cerita paradoks tersebut, dengan anggaran litbang yang minim ternyata usaha rintisan Indonesia cukup disegani di Asia Tenggara. Mungkin ini yang mendasari Achmad Zaky untuk menulis cuitan yang kontroversial itu.

Mari kita lihat data-data berikut. Saat ini jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132 juta user dari 265 juta penduduk, pengguna social media sebanyak 130 juta user, pengguna mobil smartphone sekitar 177 juta user, dan mobil social user sebanyak 120 juta user.

Dari data ini, dilihat sudut manapun, Indonesia jelas paling teratas. Bermodal bonus demografi ini, Indonesia menghasilkan banyak usaha rintisan (start up) bahkan termasuk yang tertinggi di Asean. Kondisi ini pula yang menyebabkan penetrasi usaha e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan pioner layanan multiplatform Go-Jek di Indonesia tercatat sangat tinggi.

Kegelisahan Achmad Zaky mungkin ada benarnya. Bujet riset yang terbatas tentu sulit menghasilkan teknologi tepat guna yang dapat diaplikasikan di sektor produksi barang dan jasa. Ujung-ujungnya, terpaksa pakai teknologi buatan asing.

Bukalapak sudah menjadi unicorn sukses di Asean, bersama Gojek, Traveloka, dan Tokopedia. Mereka ini besar selain kegigihannya juga karena dukungan dana dari para investor asing. Bisnis start-up memang tidak cukup hanya melek teknologi dan kemampuan membaca pasar, tanpa dukungan dana, tentu sulit untuk melakukan pengembangan.

Zaky tentu berharap jika anggaran riset dinaikkan maka Indonesia memiliki kemampuan untuk menghasilkan teknologi sendiri dan produk sendiri. Ini membuat kita menjadi lebih mandiri dan berdaya saing tinggi.

Hanya saja, kapan itu terjadi? Kalaupun anggaran ditingkatkan tapi kualitas riset di badan pemerintah, swasta, dan universitas tidak ditingkatkan maka hal itu sulit terwujud.

Kampus harus didorong untuk menghasilkan applied research, teknologi tepat guna, dan memenuhi kebutuhan industri. Industri juga harus mendorong riset di kampus dan menjalin kemitraan dalam skema transfer technology.

Jika dunia pendidikan dan dunia industri sudah berada dalam trek yang sama, maka pemerintah tinggal mendukung melalui regulasi dan insentif serta anggaran yang memadai. Dengan begitu, tidak perlu muncul cuitan dari Zaky-Zaky yang lain.

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam

 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews