Golden Truly dan Perubahan Perilaku Konsumen

Golden Truly dan Perubahan Perilaku Konsumen

Suyono Saputro (Foto: Batamnews)

SELAMA empat hari terakhir ini ribuan orang pecah menyerbu Golden Truly di lantai dua Batam City Square (BCS), Kota Batam. Padat merayap, tidak saja saat memilih barang, tapi saat membayarpun harus rela antri satu jam.

Golden Truly, department store yang beroperasi sejak 12 tahun lalu di BCS memutuskan untuk tutup karena masa kontrak yang sudah habis di pusat perbelanjaan tersebut. Mereka pun menggelar cuci gudang dengan diskon besar selama empat hari berturut-turut sejak 23 Januari lalu.

Walaupun manajemen Golden Truly menyatakan mereka belum berhenti operasi di Batam, namun kenyataan selama empat hari ini memicu pertanyaan publik apakah iklim bisnis ritel di negeri ini sudah semakin suram? Apalagi jika mengingat beberapa bulan sebelumnya jaringan ritel Giant Express dan Gelael juga berhenti operasi.

Akhir pekan lalu, penulis sempat diwawancarai oleh salah satu media mengenai kondisi ini. Memang cukup menarik untuk dibahas terutama bagaimana keterkaitan antara kondisi makro ekonomi Batam dan tren bisnis ritel yang secara nasional juga menunjukkan gejala kurang kondusif.

Golden Truly secara nasional sebenarnya tinggal menyisakan dua gerai saja yaitu di Gunung Sahari, Jakarta dan BCS, Batam. Tutupnya gerai di BCS semakin mempertegas berakhirnya masa kejayaan Golden Truly di Indonesia.

Secara nasional, sektor ritel memang sedang mengalami masa kelam. Para pakar dan analis banyak memprediksikan kondisi ini terjadi karena ketidakmampuan pengusaha ritel konvensional dalam menghadapi era disrupsi teknologi, yaitu peralihan dari konvensional menjadi berbasis multiplatform memanfaatkan teknologi digital.

Perubahan perilaku konsumen yang dipicu oleh perubahan teknologi ini memang tak terpikirkan sebelumnya oleh para pelaku ritel, maupun sektor lain. Menjamurnya toko daring yang menyediakan ruang belanja (marketplace) semakin memperlemah daya saing toko offline yang statis dengan segmen pasar terbatas.

Konsumen semakin dimanjakan oleh toko online seperti tokopedia, bukalapak, blibli, shopee, lazada, zalora, dan lainnya. Semua yang dibutuhkan mulai dari pakaian, sepatu, kosmetik, elektronik, gadget, smartphone, laptop, mainan anak-anak, dan barang fast moving consumers goods (FMCG) dapat dipesan secara daring, bahkan gratis ongkos kirim.

Tapi apakah peralihan pola konsumsi ini berkontribusi besar terhadap keterpurukan bisnis ritel besar yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir? 

Penulis mencoba menganalisis kondisi ini dengan membagi dua perspektif, pertama, model bisnis ritel, dan kedua, perubahan perilaku konsumen. Secara model bisnis, sektor ritel selama dua dasawarsa terakhir memang cukup menikmati masa kejayaan.

Kita bisa melihat bagaimana Matahari Dept. Store dan Hypermart dibawah Grup Lippo sangat ekspansif membuka banyak cabang di seluruh kota potensial di Indonesia. Begitu juga Golden Truly, Hero, Gelael, dan Giant.

Model bisnis ritel konvensional memang membutuhkan modal besar, selain untuk membayar sewa ruang yang luas juga karyawan yang banyak. Ini menyebabkan biaya operasional membengkak dan kadang tidak sesuai dengan pendapatan.

Situasi ini yang dihadapi oleh Hero/Giant, Lotus, Debenhams, Seven Eleven, dan Golden Truly yang mengalami penyusutan jumlah gerai selama beberapa tahun terakhir. Hero Group sendiri pada awal 2019 ini sudah menutup 26 gerainya di Jabodetabek karena tak kuat menanggung kerugian pada bisnis makanan.

Sampai tahun 2018 lalu, HERO mengoperasikan 448 gerai terdiri dari 59 Giant Extra, 96 Giant Express, 31 Hero Supermarket, 3 Giant Mart, 258 Guardian Healtd & Beauty, dan satu gerai IKEA.

Pada akhir 2017 lalu, Lotus Dept Store mengejutkan publik karena menutup semua gerainya di Jakarta, Bekasi, dan Cibubur. Kemudian diikuti oleh Debenhams Dept. Store di Jakarta, dan Seven Eleven menutup semua gerainya di Indonesia.

Berkaca dari kasus tutupnya gerai toko ritel sejak 2017 hingga awal tahun ini, Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) justru melihat angka proporsi ritel online sebenarnya masih sebesar US$5 – 6 juta atau kurang dari 2% dari total kapitalisasi ritel offline yang mencapai US$320 miliar. Ini artinya, geliat toko online yang dituding sebagai penyebab tutupnya gerai ritel tersebut mulai terbatahkan

Penulis melihat perspektif kedua yaitu perubahan perilaku konsumen dan gaya hidup khususnya generasi milenial yang mulai menahan keinginan belanja terutama pakaian dan barang. Pelaku ritel mungkin masih bertahan pada penjualan barang FMCG di supermarket yang memang dibutuhkan masyarakat.

Era product-base economy mulai bergeser menuju kuadran experienced-base economy. Masyarakat mulai berbondong-bondong menahan laju belanja barang karena memilih untuk belanja paket liburan atau jalan-jalan. Sekali lagi, fenomena ini dikendalikan oleh disrupsi teknologi. Belanja tiket yang selama satu dekade dikuasai agen tiket dan perjalanan mulai berangsur beralih ke online agent yang dimotori oleh traveloka, booking.com, pegi-pegi, dan tiket.com.

Konsumen dengan sangat mudah berbelanja tiket murah dari semua maskapai domestik dan mancanegara dalam satu aplikasi. Apalagi, maraknya peggunaan media sosial seperti facebook dan instagram memicu masyarakat pengguna internet (netizen) untuk menampilkan pengalaman leisure-nya kepada khalayak dunia maya.

Puncak dari keguncangan pola konsumsi ini diledakkan oleh Gojek. Sebuah perusahaan aplikasi multiplatform yang menjadi awal kehancuran bisnis konvensional. Gojek juga yang mendorong era sharing economy sehingga bisnis jasa transportasi darat roda dua (ojek motor) mendapat momentum kebangkitan.

Melalui aplikasi itu pula, konsumen semakin dimanjakan oleh layanan pesan antar tidak oleh pelaku ritel atau kuliner, melainkan oleh armada ojek yang menjadi perantara dalam aplikasi Gojek. Semua jenis layanan disediakan, jasa antar orang, makanan, barang, bersih-bersih, pijat, sampai kirim uang.

Online Vs Offline
Mengantisipasi perkembangan teknologi digital dan perubahan perilaku konsumen ini yang memaksa Matahari Dept Store untuk beralih ke e-commerce melalui mataharimall.com, bersaing dengan pemain yang sudah ada.

Memberikan alternatif bagi konsumen untuk berbelanja secara online atau offline, dianggap sebagai sebuah strategi bisnis yang jitu untuk mempertahankan eksistensi Matahari sebagai jawara ritel terbesar di Indonesia.

Gelombang new-economy yang didukung oleh teknologi digital memang membuka mata para pelaku bisnis global untuk mulai mengevaluasi model dan strategi bisnis dalam memenangkan persaingan pasar.

Saat ini kita bisa melihat hampir semua sektor bisnis berusaha tampil online dengan membuat portal atau situs korporasi untuk menjawab tantangan zaman. Apakah upaya itu relevan atau tidak, banyak juga yang sekedar latah.

Online dan Offline ini seperti paradoksal. Ada sektor bisnis konvensional yang masih offline mungkin tidak perlu juga harus tampil online atau berubah jadi multiplatform. Bisnis konvensional terutama manufaktur berbasis sumberdaya alam tentu bisa terus bertahan sepanjang tetap efisien dalam produksi.

Kesimpulannya, tidak semua bisnis harus tampil online atau mendadak menjadi gojek-oriented atau tokopedia-looks like. Sektor properti tidak harus menjadi e-commerce sepanjang fitur produk propertinya memberikan nilai tambah bagi konsumen.

Bahwa ada sektor bisnis tertentu yang model bisnisnya dapat tergantikan oleh disrupsi teknologi ini, tentu harus disikapi oleh manajemen untuk beradaptasi secara cepat. Untuk itu, perusahaan juga dituntut untuk paham perkembangan teknologi.

Namun sebaliknya, bisnis ritel online juga ada yang menyiapkan toko offline. Contohnya, toko jam tangan Matchwatch yang besar melalui jamtangan.com, mulai membuka gerai di Jakarta dan Surabaya. Selain itu, toko sepatu Brodo yang besar lewat bro.do juga buka gerai di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.

Perilaku konsumen juga bisa berubah tidak saja karena online atau offline, tapi juga faktor daya beli dan kondisi ekonomi makro. Semakin tinggi daya beli, makin banyak keinginan dan kebutuhan. Ini sudah menjadi takdir alam.

Begitu juga sebaliknya, daya beli merosot maka keinginan pun terpaksa ditahan. Atau mungkin, daya beli tidak berubah, tapi distibusi konsumsi yang berubah. Mengurangi belanja barang/pakaian, mengalihkannya ke belanja makanan, pendidikan, komunikasi, transportasi, listrik, cicilan/sewa rumah, dan lain lain.

Itu sebabnya kenaikan tarif listrik dan biaya pendidikan semakin memberatkan masyarakat, apalagi jika bahan bakar minyak ikut naik yang menyebabkan efek domino terhadap harga-harga di pasaran.

Pergeseran perilaku ini memang menjadi wacana menarik untuk dikupas di kelas bisnis dan seminar. Saling melengkapi perspektif yang berkembang dalam membaca dinamika perubahan di pasar global. Semoga, kondisi ini tidak semakin terpuruk dan memicu kemerosotan sektor-sektor lainnya.

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews