Batam dan Efek Perang Dagang China-AS

Batam dan Efek Perang Dagang China-AS

Suyono Saputro (Foto: Batamnews)

Kantor Berita Bloomberg, pada 20 November lalu menurunkan sebuah laporan tentang kondisi terkini perang dagang antara China dan AS yang mulai berdampak terhadap industri manufaktur di kedua negara yang terpaksa harus hengkang mencari lokasi produksi baru.

Laporan itu secara jelas menyebutkan beberapa negara di Asia yang menjadi pilihan utama pelaku industri untuk menghindari tekanan pajak impor yang tinggi di AS dan China. Negara paling diminati adalah Malaysia, diikuti Jepang, Pakistan, Thailand, dan Filipina. Sebaliknya, manufaktur yang sebelumnya beroperasi di China memilih pindah ke Vietnam, Malaysia, Singapura, dan India.

Indonesia yang digadang-gadang bakal menerima manfaat dari perang dagang tersebut justru luput dari perhatian. Bahkan Batam, Bintan, Karimun, tiga daerah perdagangan bebas yang berada di daerah perbatasan juga tak mampu menarik perhatian perusahaan manufaktur dari China dan AS.

Jika dirunut lebih rinci, sebenarnya keputusan memindahkan fasilitas produksi manufaktur dari China dan AS ke negara Asia telah mempertimbangkan berbagai kondisi makro dan mikro di negara bersangkutan.

Sebagai contoh Thailand, negara ini kuat untuk industri otomotif. Hampir seluruh pabrikan sudah membuka fasilitas produksi di sini sehingga bagi produsen suku cadang cocok untuk memindahkan fasilitasnya ke Thailand.

Begitu juga bagi manufaktur elektronik, memilih Malaysia karena ekosistem industri perakitan elektronik jauh lebih memadai dibandingkan tempat lain, termasuk Indonesia.

Kenyataan ini merupakan tamparan terutama buat Batam, Bintan, dan Karimun. Keistimewaan khusus yang dilekatkan di pulau ini justru tidak memberikan daya tarik bagi manufaktur yang sekarang sedang eksodus terkena dampak perang dagang.

Ada industri plastik yang ramai-ramai datang, tapi itu bukan karena perang dagang, melainkan dampak dari kebijakan pemerintah China yang mengurangi efek pencemaran lingkungan dari industri penghasil limbah.

Kita belum tahu sampai kapan Xi Jin Ping dan Donald Trumph akan mengakhiri perang dagang ini. Tapi selama itu pula, pelaku industri yang ingin meghindari tekanan pajak impor akan berpikir keras mencari lokasi baru.

Pabrikan otomotif Eropa dan AS yang membuka fasilitas produksi di China untuk pasar Amerika mulai mengeluhkan dampak perang dagang ini terhadap daya saing produk mereka. Sebagian bahan baku yang diimpor dari AS bakal terkena tarif 25%. Situasi dilematis karena pasar otomotif yang sedang melambat akan semakin terpuruk jika harga dinaikkan.

Pada akhirnya kedua negara akan merasakan dampak perang tersebut. Disisi lain, pabrikan dan pelaku manufaktur tidak gampang memindahkan pabriknya hanya untuk menghindari pajak impor. Mereka tentu harus mempertimbangkan banyak hal, salah satunya masalah rantai pasok (supply chain).

Beberapa analis justru melihat perang dagang ini dalam jangka panjang akan memberikan efek negatif secara global, walau pun efek positifnya juga besar dan memberikan peluang bagi negara lain untuk memanfaatkan keadaan.

Sebagai contoh, komoditas pertanian asal AS tujuan China sudah pasti terkena tarif lebih tinggi dan membuatnya menjadi tidak kompetitif. Ini bisa jadi peluang bagi negara eksportir komoditas pertanian untuk mengisi kekosongan.

Keunggulan

Wajar jika kita berharap Batam atau Bintan dan Karimun bisa menjadi alternatif relokasi industri manufaktur dari China untuk menghindari pengenaan tarif impor di AS. Beberapa kelebihan kawasan ini bisa jadi lebih baik dibandingkan daerah lain.

Diantaranya adalah status sebagai kawasan perdagangan bebas, ketersediaan lahan yang Bintan dan Karimun, upah buruh yang masih bersaing, dan kedekatan dengan rute pelayaran global yang membuat posisi BBK jauh lebih strategis serta kemudahan birokrasi perizinan di BBK juga relatif lebih baik.

Selain itu, perjanjian kerjasama regional antara Singapura dan AS memberikan kesempatan bagi kawasan sekitar Singapura termasuk Batam, Bintan, Karimun untuk menerima manfaat dari kerjasama tersebut melalui integrated outsourcing innitiative (ISI). Sebanyak 266 jenis barang terutama IT dan peralatan medis yang diproduksi oleh manufaktur asing yang beroperasi di BBK dapat diklaim sebagai originated Singapura.

Namun demikian, harus diakui juga, BBK juga masih berkutat dengan banyak masalah. Yang paling mendasar adalah infrastruktur. Baik di Batam, Bintan, dan Karimun sama-sama belum memiliki pelabuhan kontainer modern sehingga seluruh aktifitas ekspor harus transit ke Singapura atau  Johor.

Di Bintan – Karimun relatif masih memiliki lahan yang banyak tapi akses jalan menuju ke kawasan ke pelabuhan belum terbangun dengan baik, belum lagi ketersediaan listrik dan air. Ekosistem industri manufaktur di dua daerah itu belum terbangun dengan sempurna, termasuk Batam.

Ketersediaan sumberdaya level high-skilled belum sepenuhnya diperoleh dari pasar tenaga kerja lokal. Belum lagi upah minimum yang tahun 2019 mulai merangkak naik menjadi Rp3,8 juta di Batam. 

Belum lagi kepastian hukum soal insentif fiskal dan non-fiskal di kawasan bebas terutama yang masih melibatkan institusi di pusat. Perlu ada sinkronisasi kebijakan di pusat dan daerah agar upaya percepatan yang dibuat di Batam justru terganjal aturan yang lebih tinggi. Ini artinya, masih ada persoalan mendasar yang membuat keunggulan BBK justru menjadi kelemahan.

Kelemahan itu dikhawatirkan mengurangi kemampuan BBK untuk menjadi opsi bagi industri yang ingin relokasi akibat perang dagang. Keterbatasan akses menuju global value-chain (GVC) justru melemahkan posisi BBK.

Basis Industri

Batam, jauh lebih unggul dari Bintan dan Karimun dalam hal perkembangan sektor industri manufaktur. Sejak awal pembangunannya, Batam memang berorientasi industri dan menjadi tulang punggung ekonomi pulau ini.

Seharusnya dalam 50 tahun perjalanan Batam sudah melangkah menuju ekosistem kawasan industri yang lebih modern dan inovatif. Pembenahan mendasar yang harus sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu justru masih terbengkalai hingga hari ini, salah satunya pelabuhan. Padahal, kita punya posisi yang sangat strategis.

Visi pulau ini yang berkeinginan menjadi pusat alih kapal justru tidak menyediakan pelabuhan alih kapal yang modern dan layak untuk melayani aktivitas tersebut. Mimpi menjadi pusat logistik nasional yang digadang-gadang BP Batam bakal terus jadi mimpi jika infrastruktur pelabuhan tidak dibenahi.

Batam termasuk Bintan Karimun harus direncanakan dan direorientasi kembali secara lebih sistematis dengan mempertimbangkan perubahan dinamika industri dan perdagangan global yang bergerak cepat. Banyak kawasan tujuan investasi yang berstatus kawasan khusus sudah berbenah dan semakin modern.

Singapura sejak 1980-an sudah melihat potensi besar di BBK. Mereka sudah berupaya, memodernisasi kawasan Batam dengan menjembatani perkembangan industri digital dan pusat-pusat inovasi berbasis digital. Indonesia harus menangkap peluang ini dengan membangun lebih banyak kawasan-kawasan digital (digital hub) yang tersebar di BBK dan daerah lain yang potensial.

Sebab industri ini merupakan bisnis masa depan, yang tidak butuh ruang lebih luas tapi butuh lebih banyak tenaga kerja terampir. Kerjasama yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi dan PM Lee di Singapura beberapa waktu lalu harusnya sudah ditindaklanjuti dalam program yang lebih konkrit.

Perang dagang ini mungkin dalam jangka panjang akan memberikan dampak negatif terhadap ekonomi global, tapi perang ini juga membuka peluang bagi kawasan lain untuk menjadi tujuan investasi alternatif. Hanya negara yang siap yang akan menjadi pilihan. Apakah Batam sudah siap?

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kadin Provinsi Kepri, berdomisili di Batam


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews