Kesedihan Abraham Samad Diperlakukan Polisi seperti Penjahat Kakap

Kesedihan Abraham Samad Diperlakukan Polisi seperti Penjahat Kakap

Abraham Samad

BATAMNEWS.CO.ID, Makassar - Dia telah berperan di pentas nasional, mencatatkan namanya sebagai putra terbaik bangsa yang siap mengorbankan jiwa dan raga untuk negeri yang dicintai, berjuang memberantas korupsi yang penuh dengan risiko. Kendati, perjuangannya dipaksa berakhir dengan status tersangka dan negara pun memberikan imbalan yang pahit, diperlakuan nyaris seperti “penjahat” kelas kakap.

Kesan itu dikemukakan Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif seusai menjalani pemeriksaan kedua di ruang Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Direskrimum) Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar), Selasa (28/4).

Samad dijadikan tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan atau tindak pidana administrasi kependudukan dalam pembuatan KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk tersangka Feriyani Lim, warga Pontianak, Kalimantan Barat,

Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Sulselbar Kombes Pol Joko Hartanto, Selasa malam mengumumkan penahanan Samad. Menurutnya, Samad terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan pasal 264 ayat (1) sub pasal 266 ayat (1) KUHP dan atau pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 yang sudah diperbarui menjadi UU No 24 tahun 2013 tentang Kependudukan.

Berdasarkan fakta hukum, Joko memerintahkan segera menahan Samad dengan pertimbangan secara subjektif dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi tindak pidana, merusak atau menghilangkan barang bukti. Secara objektif Samad dijadikan tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Berkat bantuan kuasa hukumnya dan jaminan para pimpinan KPK kepada Polri, Samad yang telah dibalut kebimbangan selama tiga jam dalam ruang pemeriksaan dengan status tahanan Direskrimum Polda Sulselbar, akhirnya bisa bernafas lega karena penahanannya ditangguhkan.

Samad memang bebas, Rabu (29/4) dini hari, namun hal yang sangat menyakitkannya, setelah diperiksa lebih enam jam, penyidik menyiapkan satu regu pasukan Brimob bersenjata laras panjang untuk mengeksekusi dirinya ke dalam ruang tahanan, tak ubahnya hendak mengeksekusi seorang penjahat kelas kakap.

“Sebagai warga negara saya sadar hukum, karena ditersangkakan dan dipanggil untuk diperiksa, maka saya hadir di Makassar, namun diluar dugaan, polisi mengeluarkan surat perintah penangkapan dan penahanan, menyiapkan pasukan bersenjata seperti hendak mengeksekusi penjahat kelas kakap. Inilah semua penghargaan yang diberikan negara untuk saya setelah mengabdi di KPK,” kata doktor hukum Universitas Hasanuddin (unhas) ini dengan nada kecewa.

Keluarga Sederhana
Tiga tahun lebih menjabat sebagai ketua KPK, Samad dan keluarganya tetap tampil sebagai keluarga yang sederhana, hidup apa adanya, Samad tak pernah bermimpi memperkaya diri, terbukti, rumah pribadipun tak punya, jika berada di Makassar tidak pernah menginap di hotel, dia bahkan lebih suka menginap di rumah milik istrinya di Jalan Mapala, Makassar, rumah itu pemberian mertuanya, seorang purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang juga mantan Bupati Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar).

Tidak ada tanda-tanda kemewahan di dalam rumah berukuran besar dan sepi itu, keadaan masih seperti ketika Samad menjadi pengacara, terdapat sofa tua, buffet dan lemari usang, dua unit mesin jahit yang mulai termakan korosi, mesin itu dulunya digunakan istrinya, Indriana Kartika untuk kegiatan usaha, pesawat televisinya pun masih keluaran tahun 80-an, beberapa foto keluarga menghiasi ruangan, foto putrinya Nasya Tahira dan putranya Syed Yasin Rantisi pada masa kecil menempel di dinding.

“Coba Anda perhatikan, sejak saya menjadi ketua KPK apakah ada yang berubah di rumah ini, semua masih seperti dulu,” katanya.

Samad berasal dari keluarga pejuang, ayahnya seorang Kapten TNI AD yang meninggal tahun 1974, ketika Samad masih kanak-kanak. Dia dibimbing dan dibesarkan oleh ibunya dengan nilai-nilai agama dan kejujuran yang tinggi.

Setamat SMA di sekolah Kristen, Abraham mendaftar ke Fakultas Hukum di Universitas Hasanuddin (Unhas), program S1 diselesaikan tahun 1993, ketika itu keluarganya menawarkan peluang untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu instansi, namun Samad tak memberi respons dan lebih memilih bergelut di provesi advokad.

Sebelum terpilih sebagai Ketua KPK, Samad para aktivis anti korupsi membangun perlawanan, mendirikan Anti Corruption Commite (ACC), 26 Desember 2008 dan menjadi ketua badan pekerja. Tahun 2003 menyatukan jaringan lewat Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) bersama Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulsel, Forum Informasi Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK-Ornop), Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBHP2I), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Ahli Ekonomi Unhas, serta kelompok Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta.

Meskipun kariernya di KPK berakhir dengan status tersangka, Samad mengatakan tetap tegar menghadapi kasus yang dikriminalisasikan kepada dirinya. “Berakhir di KPK tidak berarti semuanya tamat, yakinlah, saya akan terus berjuang melawan para koruptor dan tetap mengabdikankan diri di dunia hukum, ” ujarnya.

Samad juga menambahkan, sangat bangga pada istrinya yang selalu tegar mendukung, penuh pengertian dan perhatian.

“Dia wanita yang tegar menghadapi berbagai risiko yang dihadapi dan saya kagum karena tak pernah mengeluh pada keadaan, dia juga ibu yang baik bagi kedua anak saya, Nasya Tahira (16) dan Syed Yasin Rantisi (10),” katanya.

sumber: Berita Satu

 

[snw]


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews