Kisah Perang Narkoba di Filipina: Peluru Tembus Kepala Bocah 5 Tahun (1)

Kisah Perang Narkoba di Filipina: Peluru Tembus Kepala Bocah 5 Tahun (1)

Bocah Danica May Garcia, yang jadi korban penembakan di Filipina. (foto: ist/net)

BATAMNEWS.CO.ID, Manila - Genderang perang terhadap narkoba yang ditabuh Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah menewaskan hampir 2.000 orang dalam dua bulan terakhir. Pembunuhan dan kejadian tragis hampir setiap hari ditemukan di Filipina. Mayat-mayat para bandar narkoba bergelimpangan di jalan-jalan.

Baru-baru ini, salah satu korbannya adalah seorang bocah perempuan berumur lima tahun. Timah panas menembus kepala Danica May Garcia (5) pada Selasa, 23 Agustus. Dua pengendara sepeda motor menerobos masuk ke rumah keluarga gadis kecil itu di Kota Dagupan, sekira 130 mil di barat laut Manila.

Saat itu Danica sekeluarga sedang makan siang. Tiba-tiba suara tembakan nyaring terdengar. Sasaran utamanya adalah kakek Danica yang berusia 53 tahun, Maximo Garcia. Beberapa hari sebelumnya, dia telah menyerahkan diri ke polisi. Sebab dia sadar namanya pasti ada dalam daftar orang yang terlibat narkoba.

Diberondong tembakan, Danica lari ke dalam dan bersembunyi di kamar mandi. Sementara pria bersenjata di luar mengejar kakeknya dan menembak dia. Tepat saat itu, Danica keluar dari persembunyiannya dan ditembak juga.

“Ini benar-benar menyedihkan bagi kami. Saya akan sangat merindukan malam-malam ketika Danica memijat kami sampai kami tertidur. Saya akan merindukan tawanya ketika dia mengejek ibunya,” ujar neneknya, Gemma Garcia, seperti dilansir dari Washington Post, Sabtu (27/8/2016).

Gemma mengaku agak terkejut mengetahui suaminya tersangka kasus narkoba. Setahunya, Maximo bukan orang seperti itu. Dia hanya seorang pengendara becak roda tiga di Filipina. Akan tetapi, ia sudah pensiun karena terserang stroke tiga tahun lalu.

Kepala Polisi Dagupan, Inspektur Neil Miro mengungkap 26 tersangka pengedar narkoba telah dibunuh pada hari yang sama dengan insiden yang menimpa keluarga Garcia. Namun, Miro tidak memberi tahu identitas pelaku.

Ricky Alabon (45), adalah salah satu orang yang ditembak mati sosok misterius karena pernah menjadi pecandu narkoba. Semua tetangga di distrik utara Manila mengakui Ricky sudah lama berhenti sebagai pemakai. Tapi penjual pulsa seluler ini tiba-tiba dihabisi oleh sekelompok orang bersenjata.

Di jasadnya ditemukan 11 luka tembak. Ricky tidak pernah menjadi pengedar. "Dia dibunuh seperti binatang. Apakah perang melawan narkoba harus seperti ini? Membunuh semua orang termasuk yang sudah bertobat?" kata Richard, adik kandung Ricky.

Maricar, anak kandung Ricky, saat pemilu 9 Mei lalu memilih Duterte. Dia kecewa, tulang punggung keluarga itu tewas begitu saja tanpa kejelasan apa salahnya.

"Harapan yang dulu saya punya telah hilang. Bapak saya butuh dibantu, bukan dibunuh," ujarnya.

Benarkah tindakan sang presiden didukung semua orang?

Sebagai perbandingan, Diktator Ferdinand Marcos yang berkuasa di Filipina sepanjang kurun 1965 hingga 1986 secara resmi membunuh 3.257 orang atas tuduhan melawan pemerintah. Separuh lebih jumlah korban tewas ini dicapai pemerintahan Duterte kurang dari tiga bulan sejak dilantik.

Dengan semua data ini, survei bulan lalu menunjukkan politikus 71 tahun itu sebagai pemimpin Filipina dengan tingkat dukungan tertinggi - mencapai 91 persen - di kalangan pemilih sepanjang sejarah negara mayoritas Katolik itu.

"Mereka yang dibunuh adalah sampah masyarakat. Apa yang dilakukan Duterte itu baik," kata Jamie Co, warga Distrik Pasig di Ibu Kota Manila seperti dilansir laporan khusus majalah TIME, Kamis (25/8/2016).

Di balik itu semua, tetap ada yang berani melawan pembunuhan massal tanpa peradilan ala pemerintah Filipina. Walau jumlahnya masih kecil, sekelompok rakyat menyuarakan protes terbuka pada Duterte. Mereka terdiri dari ibu-ibu yang suaminya dibunuh tanpa pengadilan, senator di parlemen, pegiat Hak Asasi Manusia, romo-romo gereja, hingga rakyat miskin perkotaan.

Senator Leila de Lima termasuk anggota parlemen yang masih berani bersuara lantang menentang Duterte. Dia menyatakan pembunuhan banyak orang atas nama perang melawan narkoba sudah kelewatan.

Demi melancarkan agenda perang melawan narkoba, Duterte ternyata memotong 25 persen anggaran kesehatan, perburuhan, serta politik luar negeri. Alokasi dana itu dialihkan untuk kepolisian dan militer.

"Kita selangkah lagi akan memiliki tiran di negara ini," ujarnya kepada TIME.

Untuk semua kritiknya itu, Duterte balik menuding Lima sebagai perempuan sundal serta pernah menerima dana kampanye dari bandar narkoba.
 
(ind/berbagai sumber)

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews