Provinsi Kepri Terancam Tak Bisa Tarik Retribusi Labuh Jangkar

Provinsi Kepri Terancam Tak Bisa Tarik Retribusi Labuh Jangkar

Ilustrasi labuh jangkar kapal.

Tanjungpinang, Batamnews - Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau siap-siap gigit jari. Target pendapatan asli daerah dari sektor labuh jangkar sebesar Rp 200 miliar terancam tak bisa dikantongi.

Penyebab utama terancam hilangnya PAD sektor ini adalaj terbitnya surat dari Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Surat bernomor UM.006/63/17/DJPL/2021 tertanggal 17 September 2021 itu berisi tentang penyelesaian permasalahan pengenaan retribusi pelyanan kepelabuhan oleh pemerintah daerah.

Dalam surat tersebut menyebutkan bahwa pungutan yang dilakukan pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Kepri tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 

Penolakan pungutan oleh Kemenhub ini bukan hanya kepada Pemprov Kepri semata, namun juga kepada Pemprov Sumatera Selatan dan Pemprov Sulawesi Utara.

Adapun poin-poin yang dipermasalahkan Kemenhub tersebut seperti, jenis objek retribusi yang dipungut bersifat closed list, sehingga Pemerintah Daerah tidak diperkenankan melakukan segala bentuk perluasan objek dari yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Selain itu, kewenangan Pemda yang tidak diikuti dengan kewenangan pemungutan pajak daerah dan/atau retribusi daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tidak dapat dikenakan pungutan, termasuk kewenangan provinsi untuk pengelolaan/pemanfaatan ruang laut dalam batas 12 mil.

Selanjutnya, Pemerintah Provinsi diberikan kewenangan untuk melakukan pemungutan Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Provinsi.

Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi sebagai Penyelenggara Pelabuhan berperan sebagai regulator dan operator pelabuhan melalui kelembagaan UP3D dengan hierarki pelabuhan Pengumpan Regional.

Bukan itu saja, Pemerintah Provinsi tidak dapat mengenakan Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan atas jasa kepelabuhan, ternasuk fasilitas lainnya dilingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten/Kota, BUP, maupun Terminal Khusus milik swasta yang menggunakan perairan untuk bangunan atau kegiatan lainnya yang mendukung mendukung kegiatan pokoknya, sebagaimana pengecualian yang diatur dalam pasal 135 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009.

Pungutan-pungutan terhadap segala bentuk kegiatan usaha kepelabuhanan yang telah dikenai PNBP sebagaimana diatur dalam PP Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Perhubungan merupakan pungutan berganda dan menimbulkan biaya ekonomi tinggi di bidang usaha kepelabuhanan.

Poin lainnya, pemungutan retribusi harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan agar tidak menimbulkan biaya ekonomi tinggi, ketidakpastian hukum, mengancam kredibilitas pemerintah dan ekosistem investasi nasional, serta bertentangan dengan semangat pemangkasan birokrasi dan penciptaan iklim usaha yang kondusif dan produktif.

Dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan akan memproses ketidaksesuaian pengenaan retribusi Pelayanan Kepelabuhanan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, sesuai dengan ketentuan pengawasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 tentang PDRD dalam rangka mendukung Kemudahan Berusaha dan
Layanan Daerah.

Kementerian Perhubungan akan melakukan pengawasan atas pengenaan pungutan pelayanan kepelabuhanan untuk selanjutnya dikoordinasikan dengan Kementerian dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.

Sehubungan hal tersebut, para Kepala Kantor di Lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut tetap melaksanakan pengenaan tarif PNBP sesuai PP Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan.

Respons Pemprov Kepri

 

Menanggapi hal ini Kabid Kepelabuhanan Dinas Perhubungan Provinsi Kepri Aziz Kasim Djau mengatakan, bahwa surat tersebut adalah pemahaman saja dan jika saja para pihak lebih mendalami kembali sampai dengan jenis jasa baru semua akan tahu yang dimaksudkan dalam Perda Pemprov Kepri.

"Pemprov tidak pernah membuat item baru di luar itu, itemnya sama namun ada pembagian berdasarkan hak pengelolaan," terangnya, Senin (20/9/2021).

Aziz juga menambahkan, diantara 50 jenis jasa yang harus secara teliti dibagi hak pungutnya karena amanah UU 17/2008, UU 28/2009 dan UU 23/2014, maka ada 2 jenis jasa yg bila berlangsung dalam 12 mil merupakan hak daerah dan jika di atas 12 mil merupakan hak pusat.

"Hal ini yang tidak didalami, kita tak boleh lari dari ketentuan. Pungutan dilakukan terhadap pelayanan jasa kepelabuhanan di lingkungan Pelabuhan yang dimiliki, disediakan dan/atau dikelola. Tidak boleh dong hak kelola merupakan hak kelola daerah tapi hak pungutan oleh pusat itu yang nggak boleh," tuturnya.

Ia juga menegaskan, tidak ada biaya tinggi harusnya memang saat daerah pungut, pusat nggak boleh memungut, kalau mereka juga pungut ya jadi biaya tinggi.

"Apa iya yang memiliki hak hukum malah harus mengalah. Harusnya kita tetap lanjutkan, karena surat tersebut bukan ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan Perda adalah ketentuan Peraturan perundang-undangan dan sudah diuji keabsahan dalam sidang Non-Litigasi sesuai amanah UU 30/2014," tegasnya lagi.

Sebelumnya Gubernur Kepri Ansar Ahmad  telah menargetkan dari jasa labuh jangkar kapal ini sebesar  Rp 200 miliar per tahun.

Pemprov Kepri telah menetapkan lima titik area labuh jangkar kapal tersebut yaitu di perairan Pulau Galang, Pulau Nipah, Kabil Selat Riau, Tanjung Berakit, dan Karimun.

"Saya optimis target itu akan tercapai, mengingat ada sekitar 350-400 kapal yang melintas setiap harinya di perairan Kepri ini," tuturnya, beberapa waktu lalu.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews