Terlalu Lamban, Ongkos Negara Tangani Covid Jadi Sangat Mahal

Terlalu Lamban, Ongkos Negara Tangani Covid Jadi Sangat Mahal

Jakarta, Batamnews - Ekonom Senior Faisal Basri mengkritik kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Pemerintah dianggap lamban.

Risikonya, negara harus membayar ongkos yang sangat mahal. Diperparah lagi, sistem kesehatan saat ini sudah sangat kewalahan.

"Inilah ongkos yang harus kita bayar sangat mahal tatkala PPKM Darurat terjadi ketika sistem kesehatan kita sudah collaps," ungkap Ekonom Senior Faisal Basri dalam Closing Bell CNBC Indonesia.

Kementerian Kesehatan mencatat, hingga Kamis (1/7/2021) pukul 12.00 WIB penambahan kasus positif Covid-19 mencapai 24.836 orang. Dengan begitu, total kasus Covid-19 di tanah air mencapai 2,203 juta orang.

Baca juga: Singapura Bakal Anggap Corona Seperti Flu Biasa, Siap Hidup Berdampingan

Kabar baiknya ada penambahan 9.874 orang sembuh dari virus ini, sehingga totalnya 1,89 juta orang. Akan tetapi kasus kematian bertambah 504 orang, sehingga totalnya 58.995 kasus.

Kondisi mengkhawatirkan terutama dengan tingginya tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy ratio/BOR) di berbagai daerah yang mengalami lonjakan kasus.

Kemenkes mencatat hingga akhir Juni, BOR di rumah sakit di DKI Jakarta mencapai 92%, Banten 91%, Jawa Barat 90%, Jawa Tengah 88%, dan DI Yogyakarta 87%.

Faisal memperkirakan pemulihan ekonomi Indonesia akan menjadi lebih lambat dari yang diperkirakan. Risikonya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan dikuras terus.

Ingat defisit APBN harus kembali ke bawah 3% terhadap PDB pada 2023 mendatang. Sementara sekarang posisinya masih di atas 5% terhadap PDB.

Baca juga: Tak Mampu Tampung Pasien Corona, Wali Kota Rudi: RS di Batam Penuh

"Jadi inilah ongkos yang sangat mahal yang dibayar yang menyebabkan recovery ekonomi makin lama. Kita sudah selama ini paling lambat dan akan makin lama, defisit anggaran akan meningkat lagi, penerimaan pajak akan turun, angka pengangguran akan naik," papar Faisal.

"Jadi bukan menuju pada pemulihan sebelum covid ya, tapi kita masih jauh dari kondisi sebelum covid," tegasnya. Tahun ini pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5% dengan asumsi tidak ada lonjakan kasus seperti terjadi sekarang.

Bahkan menurut Faisal, bila kebijakan yang dipilih ketika awal 2021 adalah lockdown, biayanya tidak akan semahal sekarang. Seperti yang disampaikan satu wilayah Jakarta membutuhkan Rp 550 miliar per hari atau Jawa Barat Rp 900 miliar per hari. Pemberlakuan dalam dua minggu akan bisa dipenuhi oleh APBN.

Pemerintah tidak perlu banyak menambah utang, namun cukup menahan belanja yang tidak prioritas. Seperti kurangi perjalanan dinas, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) hingga pembelian alutsista.

Baca juga: Jokowi Terapkan PPKM Darurat di 6 Provinsi dan 44 Kabupaten, Kepri?

"Tahun lalu, setidaknya pasca tahun baru ya, itu kan puncaknya. Minggu ke 3 Januari di situ kita buat lockdown. Anggarannya, saya percaya kalau soal uang ada, ini tinggal politik anggaran saja kan," terangnya.

Faisal menilai pemerintah salah dalam menempatkan pilihan antara ekonomi dan kesehatan. Salah satu yang terlihat jelas adalah posisi ketua tim penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) dipegang oleh Menko Perekonomian.

"Terlalu dominan ekonominya. Jadi istilahnya tidak bisa ini berdampingan ekonomi dan kesehatan. Ekonomi pulih, prasyaratnya kesehatannya pulih lebih dahulu. Jadi ibarat jalan dia, hanya satu laju ya ambulans di depan dan mobil lainnya ngalah di belakang. Kalau ambulans sampai di RS mendrop pasiennya, barulah jalan akan lancar kembali. Sesederhana itu," pungkasnya.

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews