Pakar UGM Nilai Perlu Adaptasi Manajemen Pencoblosan Pilkada saat Pandemi

Pakar UGM Nilai Perlu Adaptasi Manajemen Pencoblosan Pilkada saat Pandemi

Ilustrasi.

Batam - Epidemiolog UGM dr Riris Andono Ahmad, mengungkapkan bahwa peningkatan mobilitas masyarakat dapat meningkatkan transmisi Covid-19. Riris menerangkan jika ada indikasi potensi peningkatan transmisi jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) digelar saat pandemi Covid-19 belum bisa dikendalikan.

Riris menyarankan apabila Pilkada tetap dilakukan, menurutnya perlu dilakukan sejumlah adaptasi. Adaptasi ini salah satunya dalam bentuk manajemen pencoblosan.

"Kita perlu memperbanyak TPS dan melatih petugas pemilihan. Mereka harus bisa dan mau melakukan penolakan apabila ada pemilih yang melanggar protokol kesehatan, dan atur waktu pencoblosan dengan ketat," ujar Riris dalam Serial Webinar PILKADA 2020 yang diselenggarakan UGM beberapa waktu yang lalu.

Riris memaparkan pengalaman sejumlah negara dalam penyelenggaraan pemilihan legislatif ataupun eksekutif di masa pandemi. Sejumlah negara menurutnya mampu mengendalikan pandemi, dilihat dari tidak adanya peningkatan yang signifikan dalam jumlah transmisi pasca pemilihan. Meski demikian, di sejumlah negara, kasus Covid-19 terlihat melonjak tajam.

Salah satu kasus yang ia sebutkan adalah Malaysia, yang di samping Vietnam menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang dinilai cukup berhasil dalam mengendalikan laju transmisi sebelum pemilu yang berlangsung pada 26 September silam. Namun pasca periode kampanye dan pemilihan, terjadi peningkatan kasus secara signifikan.

Riris menilai sejumlah contoh yang dipaparkannya bisa menjadi peringatan bagi Indonesia yang akan menyelenggarakan pemilihan, sementara selama ini pengendalian laju transmisi belum berhasil dilakukan.

"Ketika dilakukan di negara yang sudah sangat efektif melakukan pengendalian, event pemilihan bisa meningkatkan penularan menjadi jauh lebih besar," tutur Riris.

 

Riris mengungkapkan ada dua titik kritis dari penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, yaitu kampanye tradisional yang akan menimbulkan kerumunan, juga disinformasi yang akan meningkatkan ketidakpercayaan publik.

Sementara itu pakar politik dan pemerintahan UGM, Mada Sukmajati, mengungkapkan bahwa perbincangan terkait rencana Pilkada 2020 di media sosial diwarnai nuansa keresahan dan penolakan.

Mada menyebut dari hasil analisis Polgov, dalam rentang waktu Maret hingga Oktober 2020 terdapat 52.734 twit tentang topik penundaan Pilkada. Di samping itu, kata Mada sejumlah lembaga survei mencatat bahwa mayoritas responden menyatakan tidak setuju terhadap penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 dan memilih opsi penundaan Pilkada.

Mada menerangkan kompleksitas persoalan terkait pemilihan di Indonesia, terutama berkaitan dengan angka partisipasi, di samping masalah-masalah yang selalu muncul dari tahun ke tahun.

"Selain kontestasi, partisipasi adalah unsur yang utama dalam pemilu," tutur Mada.

Mada menjabarkan penyelenggara pemilu perlu terus meyakinkan masyarakat bahwa mereka telah secara optimal menegakkan protokol kesehatan di setiap tahapan.

Mada menambahkan, Pilkada 2020 harus menjadi Pilkada yang sehat dalam semua aspek, baik dalam aspek kesehatan maupun dalam aspek politiknya, dari sisi proses dan hasil.

"Kita harus sadar bahwa dalam konteks politik Pilkada tidak selalu sehat. Ini momentum untuk mendukung Pilkada sehat termasuk dalam pengertian politik," ungkap Mada.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews