Penyebab Angka Perceraian Meningkat Selama Pandemi Covid-19

Penyebab Angka Perceraian Meningkat Selama Pandemi Covid-19

Ilustrasi.

Bandung - Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung menerima ratusan pengajuan gugatan cerai. Jumlahnya mengalami peningkatan sejak penerapan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) hingga membuat antrean.

Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Soreang Ahmad Sadikin mengatakan dalam sebulan, rata-rata pengajuan proses cerai mencapai 800 berkas, per hari bisa melayani 150 gugatan cerai. Pelayanan sempat ditutup saat virus Corona (Covid-19) dikategorikan sebagai pandemi.

Berdasarkan data, peningkatan angka perceraian terjadi pada bulan Maret, April sampai Mei, hingga dibatasi pendaftaran hanya untuk 10 orang. Pada Juni 2020 pihaknya menerima 1.012 gugatan cerai.

Pada Agustus, berkas pengajuan cerai yang sudah masuk mencapai 592. Jumlah ini diprediksi terus bertambah meski sudah memasuki akhir bulan. "Ya alasan (perceraian) berkaitan dengan nafkah, ekonomi," kata Sadikin, Senin (24/8/2020).

 

Catatan Komnas Perempuan

Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi mengakui dari catatan dilakukan pihaknya memang terjadi peningkatan ketegangan dalam rumah tangga selama Covid-19. Hal itu diketahui dari survei dilakukan Komnas Perempuan terkait perubahan dinamika rumah tangga selama pandemi Covid-19.

"Namun, belum ada data yang memastikan bahwa perceraian terjadi karena pandemi karena perlu dikaji lebih lanjut," ujar Siti kepada merdeka.com, Selasa (25/8).

Menurut dia, survei dilakukan terhadap 2.285 responden dengan kriteria didominasi perempuan berasal dari pulau Jawa berusia 31-50 tahun. Berlatar belakang pendidikan lulusan S1/sederajat, berumah tangga atau menikah, mempunyai anak, berpenghasilan Rp 2-5 juta per bulan, serta pekerja penuh di sektor formal.

Hasil survei menunjukan satu dari tiga responden melaporkan bertambahnya pekerjaan rumah tangga yang membuat dirinya stres sekitar 10,3%. Lalu 235 responden melaporkan bahwa hubungan mereka dengan pasangan semakin tegang.

 

Pada perempuan lebih banyak mengalami semua jenis kekerasan dibandingkan dengan laki-laki. Selama pandemi Covid-19 secara umum kekerasan psikologis dan ekonomi lebih umum dirasakan oleh responden dibanding kekerasan lainnya. Di mana 15,3% atau 289 perempuan menjawab terkadang mengalami kekerasan psikologis dan 3,5% atau 66 perempuan menjawab sering mengalami.

Siti menambahkan rumah tangga memang tidak selamanya menjadi ruang aman untuk perempuan. Menurut dia, jika semula intensitas komunikasi atau pertemuan antar anggota kecil, maka potensi konflik juga menjadi lebih kecil.

Namun hal itu berbeda dengan saat ini. Dia mengatakan, pada Situasi pandemi yang mengharuskan untuk tinggal di rumah membuat intentisitas meningkat dan potensi kekerasan meningkat.

"Dengan kebijakan tetap di rumah, pintu domestik dan publik menjadi hilang. Namun tidak menghilangkan peran pembagian kerja dan dampaknya pada perempuan. Perempuan tetap akan melaksanakan tugas ibu rumah tangga ditambah harus bekerja yang bekerja," kata dia.

Dia menjelaskan, kondisi ini merupakan kekerasan psikis yang menyebabkan kelelahan secara fisik dan juga mental perempuan. Kelelahan ini juga bisa mendorong ibu untuk melakukan kekerasan pada anak.

Sementara lanjut dia, sebagian besar suami tidak mengambil tanggung jawab untuk perawatan rumah, pengasuhan dan pendidikan anaknya. Pandemi Covid-19 juga berefek pada kondisi ekonomi masyarakatnya. Akibat ekonomi inilah yang menyebabkan istri atau suami tidak mendapatkan atau berkurangnya penghasilan yang mendorong pembatasan pemenuhan kebutuhan keluarga sehingga dapat menjadi pemicu pertengkaran atau kekerasan baik terhadap istri atau anak.

 

Perlu Ada Kajian Perceraian Meningkat Selama Pandemi

 

Sementara itu Psikolog Klinis, Alexandra Gabriella menilai fenomena meningkatknya tingkat gugatan perceraian hingga terjadi anterian di PN Soreang, belum bisa dipastikan karena dampak pandemi Covid-19.

"Apakah efek pandemi ini menjadi pemicu utama, harus dipikirkan apakah selama ini pernikahannya tergolong harmonis tapi terjadi perubahan karena masa PSBB dan sadar ini bukan hubungan yang dijalankan sehingga mempertimbangkan lagi," kata Alexandra.

Menurut dia, jika memang dari dulu sudah ada masalah bisa teralihkan karena kesibukan seperti bekerja atau aktivitas lain. Sedangkan di masa PSBB saat ini membuat lebih banyak waktu sehingga fokus lebih kepada persoalan yang selama ini kerap dihadapi.

"Harus bijak juga menilai apakah pandemi ini faktor utama atau sebelumnya sudah ada masalah dalam pernikahan. Kalau memang karena pandemi ini menimbulkan perubahan sikap pasangan kita akan sadar, dulu enggak seperti ini jadi ya sudah toleransi, nanti ketika situasi sudah lebih baik sikapnya juga akan seperti dulu lagi. Tapi kalau memang sudah konflik, ditambah PSBB dan masalah lain dan perubahan perilakunya makin jelas. Maka mereka mungkin berpikir sudah tidak bisa dipertahankan lagi," kata dia.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews