Deputi KSP Nilai Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Tak Terlalu Merepotkan

Deputi KSP Nilai Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Tak Terlalu Merepotkan

ilustrasi. (Foto: liputan6.com)

Jakarta - Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Juri Ardiantoro mengatakan, penerapan protokol kesehatan dalam Pilkada serentak 2020 tidak perlu dibayangkan sama seperti yang dilakukan terhadap pasien Covid-19. Sebab, ada pengaruhnya pada anggaran Pilkada.

"Untuk protokol kesehatan saat pandemi ini, saya kira tidak usah dibayangkan kebutuhannya seperti dokter menangani pasien Covid-19," ujar dia, dalam diskusi daring, Minggu (14/6/2020).

Dia menyinggung anggaran Pilkada untuk membeli masker bagi pemilih. Menurut dia, di tengah kondisi pandemi seperti sekarang, masker merupakan hal yang wajib dan seluruh masyarakat sudah memilikinya.

"Masker itu kan sudah melekat di setiap pemilih. Setiap warga negara Indonesia sudah diatur berbagai kebijakan pemerintah, kalau keluar rumah ya pakai masker," ujar dia.

Karena itu dia berpandangan tidak perlu lagi dianggarkan pembelian masker. Sebab, masyarakat diyakini sudah memiliki masker dan pasti mengenakannya ketika datang ke TPS saat pemungutan suara.

"Kalau dia datang ke TPS, maka sudah pakai masker. Jadi tidak perlu lagi ada anggaran untuk beli masker misalnya," ungkapnya.

Yang paling penting justru kesiapan perlengkapan untuk menjalankan protokol kesehatan di TPS. Seperti hand sanitizer dan perlindungan untuk petugas di TPS.

Selain itu, pengaturan tata cara pemungutan suara agar tidak membuka ruang terjadinya kerumunan warga.

"Yang penting adalah jaga jarak pemilih yang datang ke TPS itu diatur tempat duduknya supaya tidak bergerombol dan waktu kedatangan ke TPS pemilih diatur jamnya supaya tidak datang bersamaan," terang dia.

Dalam pandangannya, secara teknis protokol kesehatan bisa dengan mudah diatur ketika pencoblosan. Termasuk menghindari kerumumanan warga. Selama ini proses pemungutan suara itu TPS lebih banyak kosong saat pagi hari hingga pukul 12.00 WIB.

 

Di tempat sama, Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa menilai, penyelenggara pemilu tetap perlu menyediakan masker bagi pemilih yang datang ke TPS saat pemungutan suara nanti. Perilaku masyarakat yang belum semuanya pelaksanaan protokol kesehatan menjadi dasar pertimbanyannya.

"Memang diimbau masyarakat kita keluar pakai masker, tapi dalam praktiknya, jumlah orang yang pakai masker yang naik motor dan sebagainya dengan yang tidak pakai masker itu kan perbandingannya banyak sekali," kata dia, dalam diskusi daring, Minggu (14/6).

"Jangankan dikasih masker. Kita lakukan rapid test gratis saja, nggak datang. Jadi ada realitas seperti itu yang harus kita pahami, kalau Tidak kita lakukan kita akan abao. Makanya daripada kita ambil risiko, perlu juga disiapkan," imbuh dia.

Atas dasar pertimbangan itu, dia menyarankan masker tetap harus disediakan dan diberikan oleh petugas KPU kepada pemilih yang datang ke TPS tanpa mengenakan masker.

"Maka penyelenggara tetap menyiapkan kalau ada pemilih datang ke TPS tidak pakai masker, maka harus dikasih (masker). Tidak mungkin disuruh pulang sama petugas.Yang disuruh pulang kembali itu ketika ada pemilih setelah dicek suhu tubuh dan sebagainya, di atas nomal baru disuruh (pulang)," ujar dia.

Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengakui hal sama. Tingkat kesadaran dan kepatuhan publik pada protokol kesehatan patut diakui masih rendah.

"Distribusi alat pelindung diri kita tidak bisa juga menutup mata terhadap realitas bagaimana kesadaran publik kita terhadap kondisi pandemi," ungkap dia.

Melihat fakta tersebut, maka penyelenggara tidak bisa menyerahkan keamanan dan keselamatan di TPS pada kesadaran warga. Sebab terlalu berisiko.

"Kalau kita hanya menyerahkan kepada kesadaran masyarakat untuk pakai masker, mematuhi protokol kesehatan, menurut saya kita seperti tidak melihat apa yang terjadi di masing-masing daerah. dan menurut saya itu terlalu berisiko kalau dilakukan," tegas dia.

Anggaran Tambahan Untuk Pilkada

 

Disinggung soal usulan anggaran tambahan untuk Pilkada sebesar Rp4,7 triliun, Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Juri Ardiantoro mengaku belum bisa berkomentar banyak. Sebab dia perlu mengecek detail kebutuhan yang harus dipenuhi dengan tambahan anggaran tersebut.

"Tapi membayangkan Rp 4,7 triliun itu kan untuk 270 daerah itu, besar sekali. Sebagai orang yang pernah 14 tahun bekerja di KPU ada banyak yang harus kita desain ulang mengenai penganggaran ini supaya anggaran penganggaran pilkada ini tidak terlalu mahal," jelasnya.

Terkait sumber anggaran, merupakan hal yang juga harus dibahas secara serius. Baik oleh penyelenggara pemilu, pemerintah, maupun DPR.

"Apakah semua harus anggaran baru. Apakah tidak dimungkinkan anggaran itu didapatkan dari efisiensi alokasi anggaran yang sudah ditetapkan di daerahnya masing-masing," ujar dia.

Pilkada 2020 merupakan Pilkada yang didesain tidak berlangsung secara normal. Dengan demikian ada beberapa tahapan yang bisa dimodifikasi dengan tujuan untuk menghemat menghemat anggaran. Atau direlokasi untuk kebutuhan selama pandemi, seperti pengadaan APD.

"Misalnya, salah satu tahapan yang mungkin akan memakan biaya besar itu kan sosialisasi, raker, rakor, bimtek, itu kan semua tatap muka desain selama ini dan itu itu memakan banyak sekali anggaran. Saya kira itu bisa direalokasi untuk pemenuhan APD," ucapnya.

Soal usulan tambahan anggaran yang diajukan KPU sebesar Rp 4,7 triliun, anggota DPR Saan Mustopa menilai, hal tersebut mempertimbangankan banyak aspek terkait pelaksanaan Pilkada serentak di tengah pandemi. Salah satunya terkait penambahan jumlah TPS.

 

"Misalnya ada penambahan TPS dari 800 pemilih per TPS menjadi maksimal 500 pemilih per TPS. Maka konsekuensinya TPS menjadi lebih besar dan pada anggaran," terang dia.

Sedangkan Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengakui bahwa penambahan jumlah TPS menjadi salah satu penyesuaian yang berdampak besar pada anggaran besarnya usulan tambahan anggaran Pilkada serentak.

"TPS. Kita semua tahu, salah satu pos (anggaran) terbesar adalah honorarium penyelenggara ad hoc. Kalau pemilih per TPS berkurang dari 800 per TPS jadi 500 per TPS. Dan konsekuensi biaya operasional TPS, honorarium penyelenggara juga bertambah," kata Fadli.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews