Melihat `Basa-basi` Relaksasi Pembayaran Kredit Saat Corona

Melihat `Basa-basi` Relaksasi Pembayaran Kredit Saat Corona

Para pekerja transportasi online di Batam mendatangi Kantor OJK Kepri, Rabu (15/4/2020) mempertanyakan kejelasan relaksasi kredit yang dicanangkan pemerintah. (Foto: Yude/Batamnews)

Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan relaksasi penundaan bayar cicilan kredit dan pembiayaan dari bank dan multifinance kepada masyarakat untuk meringankan beban mereka dari tekanan wabah virus corona. Kebijakan ini diberikan demi meringankan beban pengembalian pokok dan bunga kredit atau pembiayaan bagi masyarakat.

Maklum saja, penyebaran pandemi virus corona atau Covid-19 aktivitas membuat pekerjaan dan ekonomi masyarakat terganggu. Gangguan itu dikhawatirkan akan menekan kemampuan masyarakat melunasi cicilan kredit dan pembiayaan yang mereka pinjam.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengakui keringanan memang mau tidak mau harus diberikan. Kalau tidak, dikhawatirkan permasalahan tersebut bakal meningkatkan rasio kredit bermasalah di bank (Non Performing Loan/NPL).

Kendati belum ada perhitungan pasti, namun menurut perkiraannya, NPL bisa melewati 5 persen pada tahun ini bila tak ada kebijakan relaksasi tunda bayar cicilan kredit. Begitu pula dengan rasio pembiayaan macet di multifinance (Non Performing Financing/NPF) yang juga bisa meningkat bila tidak ada kebijakan ini.

"Dengan begitu, bisa mengurangi potensi terjadinya NPL, mengurangi tekanan likuiditas, dan permodalan," ungkap Piter dilansir CNNIndonesia.com, Senin (13/4/2020) lalu.

Sebagai gambaran, NPL bank secara gross masih di kisaran 2,79 persen pada Februari 2020. Sementara NPF multifinance berada di kisaran 2,66 persen pada periode yang sama.

Hanya saja, masalah memang tidak langsung selesai dengan kebijakan ini. Sebab, relaksasi kredit dan pembiayaan sejatinya tidak diobral ke semua debitur, sehingga pada akhirnya tidak semua bisa merasakan.

 

Bank dan multifinance tetap dituntut untuk memberikan relaksasi secara berhati-hati dan penuh perhitungan manajemen risiko. Dengan begitu, relaksasi hanya diberikan kepada debitur yang punya rekam jejak baik dan pastinya terdampak tekanan ekonomi akibat pandemi corona.

Sementara debitur yang tidak terimplikasi langsung, diharapkan 'tahu diri' untuk tidak mengajukan relaksasi penundaan bayar cicilan kredit atau pembiayaan. Maklum, ada debitur yang lebih prioritas saat ini.

"Bank tentu harus mengkajinya secara cermat, nasabah mana yang layak untuk mendapatkan restrukturisasi atau penundaan cicilan. Misalnya, yang jangka panjang masih memiliki prospek untuk recover dan menguntungkan bank, serta harus menghindari terjadinya moral hazard," jelasnya.

Lebih lanjut, bagi debitur, kebijakan relaksasi sejatinya tidak serta membuat seluruh cicilan mereka bisa ditunda pembayaran pokok dan bunganya. Semua tetap merujuk pada hasil analisa bank. Dengan cara itu, bisa saja yang diberikan hanya tunda bayar pokok tapi bunga tetap jalan.

Atau relaksasi ternyata tidak jadi diberikan karena jaminan cicilan ternyata sudah kepalang berpindah tangan. Dengan begitu, kebijakan ini mungkin hanya menyasar sebagian debitur saja.

Maka tak heran, bila ada debitur yang mengeluh karena ditolak bank atau multifinance untuk mendapatkan relaksasi tunda bayar cicilan. Sebab, kebijakan ini mau tidak mau harus dilakukan dengan ketat.

"Maka dampak restrukturisasi tidak jor-joran," imbuhnya.

 

Sementara bagi bank, Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat kebijakan relaksasi sejatinya tidak serta merta menyelesaikan beban bank. Sebab, risiko kredit tetap tinggi dan berpotensi menggerus keuntungan bila tidak dikelola dengan baik.

Misalnya, Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) bank akan meningkat pada tahun ini. CKPN merupakan cadangan yang dibentuk bank untuk menghadapi risiko kerugian akibat penanaman dana dalam aktiva produktif.

Selain itu, ada risiko penurunan keuntungan bank yang tercermin dari marjin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM). Hal ini terjadi karena penyaluran kredit baru pun diperkirakan bakal terhambat pada tahun ini.

Sebab, likuiditas yang seharusnya bisa berputar dari pembayaran cicilan kredit justru harus dipakai untuk menalangi penundaan bayar dari debitur. Hal ini membuat likuiditas untuk penyaluran kredit baru pun agak seret, meski rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Rasio/CAR) bank masih relatif cukup.

CAR bank berada di kisaran 22,42 persen per Februari 2020. Rinciannya, bank BUKU I 29,07 persen, BUKU II 25,06 persen, BUKU III 25,4 persen, dan BUKU IV 20,89 persen.

"Tapi dari kecukupan modal, bank tetap perlu berhati-hati karena restrukturisasi akan membuat perubahan jadwal cash flow di masing-masing bank yang kemudian mendorong pengetatan likuiditas," katanya.

Untuk itu, menurut Josua, ketika relaksasi tunda bayar cicilan kredit dan multifinance diberikan, ada baiknya otoritas turut memberikan kebijakan yang mampu menunjang kebutuhan likuiditas para lembaga keuangan. Salah satu yang sudah diberikan berupa pelonggaran batas cadangan kas bank di Bank Indonesia (BI) atau dikenal dengan Giro Wajib Minimum (GWM).

Namun ke depan, tetap perlu ada kebijakan stimulus lagi bagi penjaminan likuiditas bank. Apalagi, pandemi corona belum diketahui kapan akan berakhir, sehingga risiko-risiko harus terus dimitigasi.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews