Daya Saing Batam di Tepi Jurang?

Daya Saing Batam di Tepi Jurang?

Losing Competitiveness

DALAM empat bulan terakhir ini kita dijejali dua peristiwa yang saling bertolak belakang. Peristiwa pertama, betapa kita gegap gempita menyambut kehadiran Pegatron, sebuah perusahaan manufaktur elektronik asal Taiwan. Kompak kita berteriak, iklim investasi Batam semakin kondusif dan membaik.

Peristiwa kedua, PT Unisem memutuskan berhenti beroperasi pada tahun depan, dan PT Foster sejak setahun lalu mulai ancang-ancang untuk pindah ke Myanmar. Kita pun kompak teriak, Batam diambang ketidakpastian, gara-gara ini, gara-gara itu!

Kita seolah tidak berdaya menanggapi dua peristiwa ini. Wajar jika ada yang tutup, produksi menurun, kehilangan daya saing, dan akhirnya pindah atau berhenti operasi. Tapi ada juga industri baru yang buka, dan menatap masa depan yang cerah di Batam. "Buka tutup itu sudah biasa!"

Okelah, kita sih sepakat saja. Semua perusahaan berpotensi untuk gagal atau kalah dalam persaingan, sama besarnya dengan potensi perusahaan untuk untung dan berhasil. Tapi apakah kita pernah berpikir mengapa semua itu terjadi? Atau paling tidak kita bisa memetakan masalah yang dihadapi.

Penulis sampai pada kesimpulan, bahwa ada masalah dengan daya saing Batam! We almost losing our competitiveness!

 

Cost of Competitiveness

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan bertemu dengan serombongan pengusaha asal China. Mereka datang ingin menjajaki peluang kerjasama investasi dan sekaligus melihat potensi yang ada di pulau ini.

Saat itu salah satu pengusaha bertanya tarif sewa pabrik. Ketika kami sebutkan harga per meterpersegi yang berlaku di sini, mereka terkaget. Ya, kaget karena terlalu mahal dibandingkan di kampung halaman mereka di China sana. Itu belum termasuk biaya listrik, upah, logistik, dan lain-lain yang mencekik.

Pada kesempatan lain, saya juga berkesempatan menemani seorang pimpinan industri asal Amerika yang membuka usaha di China. Dia datang ingin membandingkan kondisi di Batam dan di China. Dia bertanya value chain.

Dia bercerita, membuka pabrik di China relatif mudah dengan dukungan penuh dari pemerintah soal tarif sewa lahan, insentif ini itu, supporting industry yang tersedia lengkap, serta biaya logistik yang efisien dan terjamin. Upah minimum di sana memang relatif tinggi, tapi bisa dikompensasi dengan produktivitas tinggi, dan insentif yang menarik.

Nah, di Batam, supporting industry susah karena harus impor juga, biaya logistik mahal dan tidak pasti, belum lagi soal regulasi dan lain-lain, biaya listrik, sewa pabrik, semua mahal.

Bicara soal daya saing, kita terlalu membanggakan lokasi yang strategis, dekat Singapura, dan status FTZ. Seolah, ketika industri sudah dapat insentif pajak dan cukai, maka selesai semua urusan. No, totally wrong!

Ada faktor lain yang menjadi perhatian serius. Biaya tenaga kerja dipengaruhi kenaikan upah setiap tahun yang tidak pasti. Biaya logistik dipicu pengelolaan pelabuhan yang belum memadai. Biaya listrik dipicu oleh ongkos produksi listrik yang mahal. Biaya sewa pabrik dipicu oleh tarif beli lahan yang juga mahal.

Akumulasi semua biaya-biaya itu, menekan daya tarik dan daya saing Batam. Kesemua biaya itu menjadi kontributor atas cost of competitiveness sebuah industri. Biaya atas daya saing atau keunggulan komparatif dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas.

 

High Cost and Highly Regulated

Pada kesempatan lain, ketika 28 supporting industry dari Xiaomi datang mencari lokasi baru ke Batam, ternyata hanya dua saja yang berminat dan memutuskan pindah ke sini. Sisanya, relokasi ke Vietnam, Malaysia, dan India.

Mengapa kedekatan wilayah Batam ke Singapura tidak menarik perhatian mereka? Hari ini, perusahaan yang sudah terhubung dalam global value chain (GVC) tidak lagi bermasalah dengan jarak. Ongkos logistik di banyak pelabuhan global sudah semakin efisien, dan sudah terkoneksi dengan jaminan waktu delivery semakin pasti.

Mereka juga butuh jaminan supply chain dari industri pendukung, dukungan tenaga kerja, dan segudang permintaan lainnya. Batam, mau tidak mau harus berbenah dan berubah. Jika Batu Ampar tidak juga berubah jadi pelabuhan modern dan internasional, maka selamanya ongkos logistik di sini semakin tidak efisien.

Biaya listrik, ini juga jadi perhatian. Produsen listrik nyaris tak berdaya, karena bahan baku berasal dari perusahaan lain. Ketika gas naik, maka mau tak mau biaya listrik harus naik. Tak ada pilihan lain, pelaku manufaktur pasti terdampak.

Salah satu eksekutif di Singapura juga pernah bercerita. Beberapa tahun lalu, dia dan koleganya berupaya memoles segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Batam ini masuk dalam program regionalisasi negeri Singa, salah satunya dipicu oleh kedekatan jarak, upah kompetitif, dan ketersediaan lahan.

Tapi sekarang, jarak bukan lagi masalah, ya karena GVC tadi. Semua sudah terhubung dengan efisien. Distance does not an issue anymore! Mereka lebih fleksibel mencari lokasi-lokasi di luar Sijori yang lebih kompetitif, bahkan sampai ke Afrika dan India.

Selama ini kita berasumsi, tutupnya sebuah industri karena ketidakmampuannya merespon perubahan teknologi, ternyata belum tentu benar juga. Justru karena ketidakberdayaannya merespon kenaikan biaya tiap tahun yang membuat produknya tidak kompetitif di pasar global.

Bisa dipahami, ketika industri tutup di Batam, tapi dia tetap buka di negara lain, itu artinya industri bersangkutan ingin mencari lokasi yang lebih kompetitif, apakah dari biaya tenaga kerja, sewa pabrik, atau ongkos logistik. Berarti, there are somethings wrong with us here!

Jadi, apapun model atau konsep yang coba diimplemetasikan di Batam tanpa mampu membereskan berbagai masalah di lapangan maka kondisi ini akan semakin membahayakan. Ancaman biaya tinggi dan juga regulasi antar instansi yang tidak jelas membuat penurunan daya saing Batam.

Badan Pengusahaan sudah saatnya membuat langkah mitigasi, memetakan masalah yang ada, membuat semacam report tentang kondisi daya saing industri. Mengundang pelaku untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusi. Supaya tidak ada lagi industri yang tutup atau hengkang.

Tapi dengan kondisi seperti saat ini, di mana turn-over pimpinan BP yang tinggi (dalam dua tahun berganti tiga kali), menjadi penyebab tidak optimalnya fungsi BP dalam memainkan peran strategis di kawasan bebas.

Diperparah oleh ketidakjelasan konsep dari pemerintah pusat dalam membawa perubahan di FTZ Batam. BP dibiarkan terkatung-katung tanpa kejelasan, disharmoni kewenangan di lapangan semakin menjadi-jadi, apalagi konsep ex-officio yang entah kapan diwujudkan.

Mau sampai kapan Batam seperti ini? Akhirnya kita pun sama-sama apatis, ya biarlah toh ada yang  tutup tapi ada juga yang buka, ada yang keluar ada juga yang masuk.

Kita masih bisa bersyukur, di tengah berbagai masalah itu masih ada industri yang relokasi ke Batam. Walaupun harus diakui, kita gagal memanfaatkan dampak trade war China-Amerika dalam menampung industri pindahan dari kedua negara tersebut.

Kita juga patut bersyukur, di tengah revolusi industri dan otomasi pabrik ternyata masih ada manufaktur yang butuh tenaga operator yang mengerjakan produksi secara manual.

Akhirnya, mari kita berdoa semoga kondisi baik-baik saja! Amiinn ya Rabbal alamiin.

 

Suyono Saputro (Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam)

 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews