Oleh: Surya Makmur Nasution (SMN)
Presiden Joko Widodo mengambil keputusan membubarkan (baca : melebur) Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Batam dibawa komando Pemko Batam. Informasi tersebut beredar melalui pemberitaan media sosial dan media surat kabar setelah rapat terbatas kabinet.
"Tadi Presiden dan Wakil Presiden memutuskan dualisme itu harus dihilangkan. Ya kurang lebih begitu," kata Menko Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Rabu (12/12).
Beragam reaksi muncul dalam merespon kebijakan tersebut. Ada yang mendukung dengan alasan menuntaskan persoalan dualisme kepemimpinan, antara Pemko Batam dan BP Batam.
Ada yang menolak karena akan menimbulkan dampak negatif ketidakpastian hukum bagi investasi. Alasannya BP Batam adalah institusi yang memberikan perizinan dan alokasi lahan bagi investor. Yang dibutuhkan adalah aturan hubungan kerja antara Pemko dan BP secara jelas dan tegas.
Berdasar siaran Pers Menko Perekonomian BP Batam tidak bubar, akan tetapi memberi kewenangan kepada Walikota menjadi ex-officio BP Batam. Aturan mainnya akan disusun kemudian.
Inti dari kebijkan Presiden bertujuan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan. Yaitu, antara Pemko Batam di satu pihak, dan BP Batam di lain pihak.
Sebuah keputusan penting dan strategis menyangkut kepentingan masyarakat banyak (mulai dari ribuan pegawai BP, investor, dan masyarakat lainnya) tidaklah dilakukan dengan seketika begitu saja.
Harus ada kajian yang mendalam dan substansial dari berbagai aspek, seperti, ekonomi, hukum, psiko-sosial dan sosial serta keamanan. Tujuan peleburan BP diharapkan bukanlah untuk kepentingan politik ego sektoral, melainkan murni untuk menuntaskan persoalan ekonomi Batam yang belakangan mengalami pelambanan dan penurunan
Berdasarkan catatan sejarah, keberadaan BP Batam bermula dari dibentuknya Otorita Batam melalui Keppres No. 73/2971 tentang Pembentukan Batu Ampar sebagai Daerah Industri lalu.
Kemudian, berdasarkan kajian disempurnakan kembali dengan Keppres No. 41/1973 tentang Pembentukan Otorita Daerah Industri Pulau Batam (Otorita Batam) di seluuruh Pulau Batam.
Keppres 41/1973 inilah sebagai tonggak berdirinya OB. Tugas OB adalah sebagai badan yang diberikan otoritas untuk mengelola dan mengendalikan pembangunan industri dan alih kapal di Pulau Batam.
Dalam perjalanannya Pulau Batam pun berkembang sebagai sebuah kota industri, alih kapal, dan perdagangan.
Hingga akhirnya pada tahun 1999, terbentuklah daerah otonom Kota Batam melalui UU 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pemerintah Kota Batam.
Pasal 21 UU 53/1999 telah mengamanahkan bahwa OB diikutsertakan dalam pembangunan Batam bersama Pemko Batam. Pemerintah diminta menerbitkan PP sebagai aturan teknis yang mengatur hubungan kerja anatara OB dengan Pemko Batam.
Sayangnya, perubahan demi perubahan kebijakan tentang pengelolaan Batam tidak pernah diterbitkan PP tengang aturan huhungan kerja tsb.
Malah, pemerintah mencoba melakukan perubahan pengelolaan kawasan Batam menjadi kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone (FTZ)) dan Kawasan Pelebuhan Bebas Batam dengan menerbitkan PP 46/2007.
Melihat keberadaan BP Batam dari waktu ke waktu, patut dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Bukan hanya bagaimana membangun sinergi dan harmoni hubungan kerja antara Pemko dan BP, tapi juga soal prestasi.
Belakangan, kawasan Batam mengalami pelambanan pertumbuhan ekonomi. Pada 2017 pertumbuhan ekonomi Batam terjun bebas hanya 2 % dari sebelumnya 5,03 %. Padahal, Batam tahun 2010 - 2015, pertumbuhan ekonomi Batam rata-rata di angka 7 persen lebih.
Begitu juga nilai ekspor tahun 2017 mengalami penurunan di sektor migas 7,29 % dari 297,55 juta USD dan non migas turun 19,19% dari 626,30 USD (67,79% dari total export).
Saya berpendapat, menyelesaikan dualisme antara Pemko dan BP, haruslah dalam kerangka perbaikan dan peningkatan ekonomi.
Kebijakan tersebut jangan sampai hanya sekadar jurus maut membubarkan BP Batam yang tidak produktif.
(*)