Di Pulau Pejantan, Tak Ada Guru dan Ustaz, Warga Meninggal Tak Disalatkan

Di Pulau Pejantan, Tak Ada Guru dan Ustaz, Warga Meninggal Tak Disalatkan

Budi Syahrul bersama beberapa anak di Pulau Pejantan, Tambelan, Kepri (Foto: Ist/Batamnews)

Batam - Pulau Pejantan, Kecamatan Tambelan, Kepulauan Riau, belakangan cukup dikenal setelah peneliti asal Jepang menemukan 350 spesies baru. Bahkan pulau tersebut diperkirakan berpotensi besar jadi destinasi pariwisata dan pusat keragaman hayati.

Namun cerita miris muncul dari pulau seluas 900 hektare tersebut. Penduduk di sana minim pendidikan, ada sekolah tapi tak ada guru, selain itu juga tak memiliki tempat ibadah serta tidak ada ustaz.

Rata-rata penduduk Pulau Jantan beragama Islam. Sayangnya tak ada satu pun warganya yang pandai mengaji karena tak ada musala ataupun masjid.

“Satu bulan saya di Pulau Pejantan. Di sana (penduduk) muslim semua, namun mereka tidak bisa mengaji, tidak bisa salat. Bahkan, ketika ada warga yang meninggal, mereka hanya mengkafani saja, tidak disalatkan, langsung dikubur saja," ujar Budi Sahrul, pengawas lapangan BP3TI Kominfo, yang pernah membangun tower seluler Indosat di Pulau Pejantan. 

Ia mengatakan, pulau itu dihuni 60 jiwa. Budi Sahrul menceritakan, dia ke sana saat membangun tower selama beberapa minggu. Budi di sana bersama dua orang temannya selama kurang lebih satu bulan.

"Kami (berada ) di sana mulai 4 Agustus 2018. Pembangunan tower, dibantu oleh 5 orang warga setempat, dan selesai pada tanggal 17 Agustus. Lalu tanggal 1 September 2018 kami kembali ke Jakarta," ujarnya.

Selama berbaur dengan masyarakat setempat, Budi Sahrul mendapat banyak pengalaman dan cerita-cerita miris.

Budi juga menceritakan pengalamannya itu di akun media sosialnya. Cerita itu dibahas banyak orang.

"Sekiranya ada yang mau menyisihkan sedikit hartanya, mari kita galang dana untuk membangun musala atau masjid di sana dan mengirim guru agama ke sana,” ucapnya Jumat lalu.

Untuk mencapai pulau tersebut, kata Budi, melalui akses transportasi lau. "Melalui pelabuhan Sintete, Pontianak menggunakan feri menuju pulau Tambelan sekitar 14 jam. Dari Pulau Tambelan ke Pulau Pejantan naik kapal nelayan sekitar 9 jam. Gelombangnya sangat besar makanya jarang ada orang berani ke sana,” katanya bercerita.

Budi dalam waktu sebulan di sana merasakan banyak sekali suka dan dukanya. Di pulau tersebut sana belum ada jaringan internet, tower telepon seluler baru selesai dibangunnya. 

"Jadi belum bisa pakai telepon Android, telepon biasa pun baru radius 4,5 km dari bibir pantai, yang dapat signal," ujar dia.

Dari pengalaman Budi yang berupa tulisan, foto-foto dan juga video, menggambarkan betapa indahnya Pulau Pejantan tersebut. Pohon kelapa berjejer, berlimpah, dan terbuang-buang. 

Siapa saja yang mau kelapa tinggal ambil, tidak perlu membeli. Pemandangan alamnya cantik, ikannya banyak. Budi pun mengabadikannya kala membakar ikan di bawah rimbunnya pepohonan dan makan bersama warga setempat, tampaknya nikmat sekali.

Pembangunan tower seluler (Indosat) yang dilaksanakan oleh Kominfo Pusat tersebut diharapkan menjadi pembuka akses dan isolasi Pulau Pejantan dari hubungan dengan masyarakat luar. 

Pengalaman Budi bin Syahrul semoga mendapat respon positif dari berbagai pihak terkait. Ada yang tergerak hatinya untuk jadi ustadz, jadi guru, membangun Pulau Pejantan, melengkapi fasilitasnya agar masyarakatnya bisa hidup layak. 

Umat muslim di pulau yang merupakan aset kekayaan Kepulauan Riau ini dapat melaksanakan syariat-syariat Islam dengan sebaik-sebaiknya.

Di Pulau Pejantan ditemukan spesies baru. Di antaranya tupai yang memiliki bulu tiga warna, biawak dengan corak berbeda, pepohonan di atas batu granit, dan aliran air di bawah batu granit. 

Baca juga: 

Bupati Bintan Instruksikan Langsung Bangun Musala di Pulau Pejantan

Pulau Pejantan Tambelan Lebih Dekat ke Kalimantan

(snw/her)

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews