Tarif Listrik Batam dan Teori Jepit Balon

Tarif Listrik Batam dan Teori Jepit Balon

Ilustrasi unjuk rasa protes kenaikan tarif listrik.

PROTES rakyat Batam soal kenaikan tarif listrik bright PLN Batam yang dinilai mencekik  leher masih bergulir hingga hari ini. Kendati tak turun ke jalan, diskusi kebijakan tarif listrik yang naik hingga 45 persen dari tarif dasar ini berlangsung di berbagai tempat hingga ke dunia maya.

Tentu ada pihak yang pro kenaikan tarif dengan dalih bright PLN Batam perlu mendapat asupan gizi agar energi penerangannya bercahaya terang. Disebutkan, jika tidak dinaikkan maka listrik akan padam lalu menghempaskan Batam kembali ke zaman obor.

Tentu saja pemilik "teori gizi" ini tak sebanyak masyarakat yang kontra tarif tinggi. Masalahnya, kenaikan tarif listrik ini seperti penyakit menular yang menjalar ke berbagai sisi kehidupan, sebab tak ada penggerak ekonomi yang tanpa energi listrik. 

Dari hitungan sederhana saja, sudah bisa dikalkulasikan kenaikan tarif listrik ini segera menggerek harga-harga kebutuhan pokok masyarakat lainnya. Jadi efeknya, biaya hidup masyarakat Batam makin tinggi.

Artinya, sangat jamak jika kemudian muncul protes. Apalagi kondisi ekonomi masyarakat saat ini juga sudah laksana kerakap yang tumbuh di batu. Masyarakat Batam sedang gundah dengan sempitnya lapangan pekerjaan, bahkan banyak pekerja yang mendadak menjadi pengangguran.

Di saat sedang susah begitu, masyarakat hanya bisa menggantungkan harapannya pada kecerdasan sang pemimpin. Mereka berharap kebijaksanaan Gubernur Kepri Nurdin Basirun, dan para wakil rakyat yang berkantor di gedung DPRD Provinsi Kepri. Harapan yang sama juga ada pada pundak Walikota Batam Muhammad Rudi dan para anggota parlemen di DPRD Kota Batam.

Namun apa yang terjadi? Akhir Maret lalu Gubernur Nurdin meneken keputusan menaikkan tarif listrik, keputusan itu tertuang dalam Pergub nomor 21 tahun 2017, tarif baru sudah diberlakukan per 1 Maret. Kenaikannya sekitar 45 persen dari tarif yang sudah berlaku.

Kepada wartawan, Nurdin menjelaskan kenaikan tarif yang ditekennya lebih rendah dibandingkan yang diajukan DPRD Kepri. Ketua DPRD Provinsi Kepri Jumaga Nadeak menyebutkan kenaikan tarif itu sudah melalui pembahasan yang serius dan alot, bahkan dengan memakai logika "demi kemaslahatan rakyat banyak".

Kebijakan ini tentu saja membuat bright PLN Batam berlapang dada. Apalagi perusahaan ini sudah mengajukan kenaikan tarif sejak Maret 2016. Artinya pembahasan kenaikan tarif ini sudah berjalan selama setahun hingga lahirnya Pergub 21.

Sebaliknya, rakyat Batam menilai Gubernur Nurdin telah mengambil kebijakan yang menyesakkan dada, dan para wakil rakyat ikut menambahkan lukanya. Maka, terjadilah gelombang unjuk rasa yang memprotes kebijakan yang dinilai tidak memihak rakyat itu.

Di saat hati rakyat sedang terluka, tiba-tiba bergulir sebuah isu, bahwa keputusan menaikkan tarif listrik itu tidaklah gratis. Dari sebuah akun facebook tersembul isu suap di balik itu semua. Sejumlah nama anggota DPRD Kepri pun berseliweran di dalamnya.

Bagaimana dengan nama Gubernur Nurdin? Tak ada jaminan bebas gunjingan. Boleh saja berdalih dengan mengatakan isu itu perlu dibuktikan secara hukum. Tentu di sini aparat penegak hukum berkewajiban menelusurinya, bukan mengambil tindakan membungkam suara publik. 

Sebab, dari logika dan menggunakan terori apapun, sebuah produk hukum -- tentu termasuk Pergub 21-- haruslah bermuara pada kebahagian rakyat. Untuk mencapai kebahagiaan, tentu perlu aparatur yang benar-benar bekerja dalam kesadaran sebuah prinsip sebagai pelayan rakyat, agar melayani rakyat dengan baik maka mereka diberikan fasilitas yang lebih dari cukup.

Seorang gubernur, misalnya, sudah pasti mendapatkan segala fasilitas kelas atas. Mulai dari gaji tinggi, hotel berbintang, penerbangan kelas bisnis, hingga biaya taktis untuk berbagai keperluan dalam mengemban kepentingan rakyat di daerah yang dipimpinnya.

Fasilitas yang hampir sama juga diperoleh para wakil rakyat yang berada di dalam ruangan sejuk gedung DPRD Provinsi Kepri.

Semua biaya yang dinikmati para pemimpin itu dibebankan kepada negara, dan uang negara itu berasal dari kantong rakyat. Walaupun kondisi rakyat Batam sedang sekarat. Jadi sangat wajar jika kemudian rakyat menanti kecerdasan para pemimpin dan wakil-wakilnya untuk mencari jalan keluar agar kondisinya tak terus seperti kerakap itu.

Tetapi jika produk hukum seperti Perda 21 itu pada akhirnya lahir tidak sesuai dengan tujuan sejatinya, yaitu kebahagiaan rakyat, maka tak heran jika muncul reaksi keras dari rakyat yang menentangnya.

Nah jika tuduhan dari akun facebook itu sebuah kebenaran, maka Pergub itu seperti logika menjepit balon. Ditekan di ujung timur maka muncul gelembung di ujung barat, begitu juga sebaliknya.

Artinya, kebijakan menaikkan tarif listrik itu membuat kantong rakyat makin kempes, sebab di saat ekonomi sedang sulit, ternyata biaya agar tak gelap pun meningkat, maka rakyat makin melarat. Sebaliknya, Pergub 21 itu tak hanya menggelembungkan kas bright PLN Batam, tetapi juga menambah banyak pundi-pundi para pejabat yang terlibat.

Semoga saja ini tuduhan itu tidak benar.***

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews