Editorial

Batam Tidak Butuh Reklamasi

Batam Tidak Butuh Reklamasi

Lokasi reklamasi di Bengkong. Bukit dan hutan bakau sudah habis. (foto: isl/batamnews)

Reklamasi belakangan menghiasi media-media nasional. Yang tengah disorot adalah reklamasi di Teluk Jakarta, Teluk Benoa, dan Batam. Di Jakarta, reklamasi yang digarap pengembang properti besar seperti Agung Podomoro terbukti ada unsur suap. Penolakan terhadap reklamasi pun menggema.

Haramkah reklamasi dilakukan?

Sebelum menolak atau menerima, mari kita menengok negara yang ada di depan mata yaitu Singapura. Pada tahun 1976, luas Singapura hanya 581,5 km2.

Perdana Menteri Lee Kuan Yew kemudian melakukan reklamasi pulau-pulaunya. Kini negara kota itu luasnya 760 km2. Bahkan, pasir dan material untuk menguruk dan menambah luas Singapura berasal dari tetangga terdekatnya yaitu Batam.

Pemimpin Singapura menyadari keterbatasan luas wilayah negaranya yang hanya setengah luas daratan Jakarta. Karena itu, melakukan reklamasi merupakan jalan yang harus ditempuh. Saat ini, Changi Airport yang dibangun di atas lahan reklamasi, memiliki kapasitas total 66 juta penumpang per tahun, menjadi bandara terpadat ke-4 di kawasan Asia Pasifik dan menjadi pilar penting Singapura menjadi salah satu tujuan bisnis dan wisata utama dunia.

Di Uni Emirat Arab, Pangeran Mahkota Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al Maktoum menyulap Kota Dubai dari kota yang gersang menjadi salah satu kota termewah di dunia.

Pangeran Hamdan dan para pemimpin di UEA meyakini minyak tak akan terus mengalir dari perut bumi untuk mereka. Harus ada alternatif. Maka, sektor pariwisata dipacu menggantikan minyak.

Kini Dubai bukan lagi padang pasir panas nan gersang. Dubai sudah menjadi kota termewah di dunia. Di sana muncul gedung tertinggi di dunia, mal terbesar di dunia, hotel termahal di dunia, salju di negeri gurun, dan reklamasi pulau-pulau buatan terindah di dunia.
 
Reklamasi besar-besaran pertama di dunia dilaksanakan pada 1970 ketika Belanda memperluas Port of Rotterdam. Laporan International Association of Dredging Companies (IADC) menyebutkan proyek reklamasi ini telah meningkatkan kapasitas pelabuhan ternama ini hingga menjadi yang terbesar di Eropa pada saat itu. Dampak ekonominya menyediakan lapangan pekerjaan baru dan memutar laju perekonomian tanpa menggangu kota yang sudah padat.
 
Jepang juga melakukan reklamasi. Pemerintahnya membangun Bandara Kansai yang sepenuhnya dibangun di atas pulau buatan di atas laut. Hal itu dapat mengatasi masalah kebisingan serta padatnya wilayah sekitar bandara.

Negara-negara di atas melakukan reklamasi dengan visi jauh ke depan. Pemerintahnya menganggap kawasan pantai memiliki nilai ekonomis tinggi. Reklamasi adalah sebuah kebutuhan.

Bagaimana reklamasi di Batam? Apa visinya?

Dalam perencanaan kota, reklamasi pantai menjadi bagian dari pemekaran kota karena terkendala dengan keterbatasan lahan sehingga diperlukan daratan baru.

Yang terjadi selama ini, pembangunan kadang tidak berpihak kepada masyarakat pesisir. Orientasi kebijakan pemerintah selalu di darat. Pemerintah menganggap kawasan pantai tak punya nilai ekonomis. Masyarakat pesisir kadang hanya diperhatikan saat ada kepentingan politik. Dan inilah yang dimanfaatkan para cukong-cukong serakah.

Di Singapura dan Dubai, reklamasi merupakan ide penguasa yang diterjemahkan dan melibatkan pihak swasta. Namun, di Indonesia reklamasi adalah ide pihak swasta yang "memaksa" pemerintah untuk mengikuti.

Padahal, selama ini kawasan pesisir jadi penopang masyarakat nelayan secara ekonomis sekaligus aktivitas sosial. Secara ekologi, hutan mangrove menjadi penyeimbang ekosistem sekaligus tempat hidupnya berbagai habitat hewan dan ikan-ikan yang menjadi penopang hidup masyarakat sekitar.

Dari kegiatan reklamasi yang sudah berjalan di puluhan lokasi di Batam, tidak tampak visi untuk kepentingan wilayah dan jangka panjang. Proyek reklamasi di Batam sudah membuat lingkungan rusak parah. Dari 24 persen tersisa 4 persen hutan bakau yang tersisa. Ke depan, lingkungan hidup di Batam terancam hancur.

Reklamasi yang ada di Batam saat ini ada puluhan titik. Namun, yang cukup menonjol adalah di kawasan Bengkong Laut, Costarina Batam Centre, Kampung Belian Batam Centre, Pulau Janda Berhias, Tiban Utara, Pelabuhan Batuampar. Semuanya diproyeksikan membangun properti-properti mewah milik segelintir kelompok pengusaha.

Di Batam, nyaris tidak ada lagi pantai alami yang bisa didatangi warga untuk menikmati keindahan alam. Pantai-pantai di Batam sudah dikuasai pengusaha. Masuk area pantai wajib bayar.

Proyek pengerukan bukit untuk reklamasi pun tidak mengindahkan lagi faktor keselamatan.

Seperti di Tanjung Buntung, Bengkong, tiga tiang transmisi bertegangan tinggi milik PLN Batam yang berdiri di atas bukit sudah nyaris ambruk. Tanah di sekitarnya sudah habis hingga tinggal penopang untuk tiang itu saja. Padahal, di sekelilingnya padat penduduk.

Kegiatan reklamasi di Batam Centre bahkan mengancam keselamatan penumpang kapal karena terjadi pendangkalan di area Pelabuhan Ferry Internasional Batam Centre.

Wibawa pemerintah daerah di Batam nyaris tidak ada lagi. Bahkan, saat Wali Kota Batam Rudi membentuk tim untuk mengevaluasi reklamasi, kegiatan di lapangan justru makin menjadi-jadi.

Banyak pertanyaan yang muncul. Kenapa pemerintah daerah seperti diabaikan?
 
Selain lingkungan yang rusak parah, ternyata reklamasi di Batam tidak mendatangkan pendapatan yang signifikan bagi pendapatan asli daerah.

Selama ini, para pengusaha yang melakukan reklamasi tidak mengikuti aturan, karena diduga telah membayar oknum-oknum tertentu yang memiliki kewenangan.

Masyarakat di Teluk Jakarta dan Teluk Benoa berani menyatakan sikap menolak reklamasi. Mereka menganggap, Indonesia tidak butuh reklamasi. Turis datang bukan karena Bali sebagai kota modern tapi Bali yang punya alam yang indah dan budaya yang terjaga.

Masih banyak wilayah daratan yang bisa dikembangkan tanpa merusak alam pantai yang indah. Masih ada puluhan ribu pulau-pulau terpencil alami yang bisa dibuka untuk pengembangan ekonomi tanpa harus mematikan penghasilan nelayan.

Seperti masyarakat di Teluk Jakarta dan Teluk Benoa. Batam juga tidak butuh reklamasi.

Indrawan, Pemimpin Redaksi Batamnews.co.id


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews