DPR: Reklamasi Tanpa Perda Berarti Ilegal

DPR: Reklamasi Tanpa Perda Berarti Ilegal

Proyek reklamasi di Batam Centre. (foto: batamnews)


BATAMNEWS.CO.ID, Jakarta - Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan, sikap pemerintah terkait moratorium izin reklamasi Teluk Jakarta harus disertai dengan penghentian pengerjaan proyek. Bukan penghentian sementara.

"Kan sudah moratorium. Kita dorong proses hukum. Ini kan negara hukum. Raperda berproses sekarang, artinya belum ada perda untuk beri izin. Jadi, kalau gak ada perda ya gak ada izin. Tapi sudah ada kegiatan. Kalau ilegal kan gelap," kata Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (21/4/2016).

Gus mendukung perlu adanya kajian secara komperhensif mengenai proyek reklamasi. Terlebih ada fakta yang disampaikan Wagub Jabar Deddy Mizwar bahwa pembangunan material proyek reklamasi secara tidak langsung malah merusak beberapa daerah di wilayahnya.

"Faktanya apa yang disampaikan Deddy Mizwar sudah 3 tahun di beberapa daerah Jabar sudah menjadi dampak, bahasa beliau maksiat. Karena banyak penambangan ilegal material yang dibawa ke pantura Jakarta," katanya.

Sementara, hasil kajian Konsorsium Center for Ocean Development and Maritime Civilization dan Small Island Network menyebutkan, reklamasi Teluk Jakarta tak akan terbendung apabila UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang kewenangan atas wilayah laut tidak direvisi.

"Jika UU ini berlaku defenitif Januari 2017, otomatis reklamasi bakal berjalan tanpa ada yang menghentikannya," kata Muhammad Karim dari Center for Ocean Development and Maritime Civilization di Bogor, Senin (18/04/2016).

Ia mengatakan, persoalan reklamasi Teluk Jakarta tidak hanya pada tumpang tindih dan konflik tiap perizinan semata. Hal paling pokok yang terlupakan adalah UU Nomor 23 Tahun 2014.

Dijelaskannya, dalam undang-undang sebelumnya yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 kewenangan soal laut diberikan kepada pemerintah kota/kabupaten.

"Tetapi kini dengan undang-undang baru, kewenangan diberikan kepada pemerintah provinsi," katanya.

Menurutnya, meski bahasa kewenangan disentralisasikan, sejatinya kembali menjadi sentralistik karena posisi gubernur merupakan perpanjangan tangan Pemerintah pusat.

"Karena ada klausul dalam undang-undang tersebut yakni semua undang-undang sektoral mesti menyesuaikan UU ini," katanya.

Lebih lanjut Karim mengatakan, lahirnya UU Nomor 23/2014 diduga sebagai metamorfosis dari Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dalam UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWP3K) yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Artinya, pemda yang berkepentingan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau awalnya gagal melalui UUPWP3K, kini masuk melalui undang-undang tentang Pemerintah daerah ini," katanya.

Ia mengatakan, undang-undang sektoral seperti UUPWP3K, UU pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup tidak bisa menghentikan reklamasi Teluk Jakarta karena harus menyesuaikan dengan UU Nomor 23/2014, jika tidak direvisi.

(ind/bbs)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews