Kisah Jurnalis di Jalur Gaza Berjuang Melaporkan Kengerian Perang Meski Terancam Bahaya

Kisah Jurnalis di Jalur Gaza Berjuang Melaporkan Kengerian Perang Meski Terancam Bahaya

Para jurnalis memasang siaran langsung mereka ke kamera di halaman Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza, mendapatkan informasi tentang berbagai wilayah yang dibom Israel dari korban luka [Abdelhakim Abu Riash/Al Jazeera]

Jakarta, Batamnews – Membaca sebuah tulisan yang di tulis ulang oleh Aljazeera, Jurnalis di Jalur Gaza terus berjuang melaporkan kengerian perang yang telah merenggut ribuan nyawa warga Palestina meski terancam bahaya dan kesulitan akibat pemboman Israel yang berkepanjangan. 

Kondisi sulit ini, termasuk pemadaman listrik dan akses internet yang buruk, memperumit pekerjaan jurnalis dalam memberikan liputan yang akurat.

Selama 10 hari terakhir, pesawat tempur Israel telah terus-menerus membombardir wilayah pesisir Gaza, menewaskan 2.808 warga Palestina, dengan seperempat dari mereka adalah anak-anak. 

Pemboman ini juga menyebabkan lebih dari 1.000 jenazah terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan tersebut.

Baca juga: Daftar Negara yang Mengkritik Keras Serangan Israel ke Gaza: Adakah Indonesia?

Pekan lalu, Israel merusak menara komunikasi dan memutus aliran listrik ke satu-satunya pembangkit listrik di wilayah Gaza sebagai bagian dari respons terhadap serangan mendadak oleh pejuang Hamas. 

Kondisi tersebut telah membuat Gaza tidak memiliki akses internet atau listrik yang dapat diandalkan, membuat pekerjaan para jurnalis semakin sulit.

Abdelrahman, seorang jurnalis Palestina, menggambarkan tantangan yang mereka hadapi. "Karena koneksi internet yang buruk dan pemadaman listrik, kami tidak dapat melaporkan sesuatu secara real-time. Lagipula tidak ada tempat yang layak untuk bekerja," katanya. 

Para jurnalis yang mengenakan rompi pers dan helm dengan tanda yang jelas telah menjadi sasaran serangan, dengan setidaknya 11 jurnalis terbunuh sejak 7 Oktober menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ).

Kekhawatiran terhadap keselamatan keluarga juga membebani para jurnalis, seperti yang disampaikan oleh Abdelrahman. "Saya memikirkan kondisi psikologis mereka, paparan mereka terhadap perang yang mengerikan ini," katanya.

Baca juga: Situasi Terkini di Gaza Israel Terpaksa Panggil 300.000 Tentara Cadangan untuk Kepung Gaza

Ghazi al-Aloul, koresponden saluran TV al-Roya Yordania, menekankan pentingnya menjalankan tanggung jawab sebagai jurnalis dalam menyampaikan kebenaran meski terus-menerus menghadapi risiko. "Kita akan selalu melanjutkan pekerjaan kami, apa pun rintangan yang menghadang kami," katanya.

Selain itu, jurnalis di Gaza telah berkumpul di kafe-kafe yang buka, di mana mereka dapat saling mengkonfirmasi informasi dan membuat laporan karena banyak dari mereka tidak dapat bekerja dari kantor medianya. 

Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza juga telah menjadi pusat kegiatan jurnalis dan reporter, memberi mereka kesempatan untuk mengisi daya ponsel mereka meski menggunakan generator.

Meskipun risiko yang besar dan kondisi yang sulit, para jurnalis di Jalur Gaza tetap bertekad untuk melaporkan kengerian perang dan menunjukkan kekejaman yang terjadi selama konflik ini. Mereka berharap bahwa liputan mereka dapat menyuarakan kebenaran dan memperhatikan tragedi yang sedang berlangsung di Gaza.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews