Waspada Rupiah Mendekati Level Tertinggi Tahun ini, Berpotensi Tekan Daya Beli dan Inflasi

Waspada Rupiah Mendekati Level Tertinggi Tahun ini, Berpotensi Tekan Daya Beli dan Inflasi

Ilustrasi Rupiah

Jakarta, Batamnews - Kalangan ekonom di Indonesia mengkhawatirkan dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa waktu terakhir. 

Pelemahan ini memiliki potensi untuk menekan daya beli masyarakat, terutama seiring dengan tingginya harga-harga barang impor. Dua komoditas utama yang menjadi perhatian utama adalah minyak mentah dan beras.

Menurut Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia, Banjaran Surya Indrastomo, harga barang impor, khususnya minyak mentah dan beras, memiliki potensi untuk menekan inflasi di Indonesia. 

Hal ini disebabkan oleh kebutuhan tinggi akan impor beras akibat berkurangnya produksi nasional. Banjaran menjelaskan, "Terdapat tekanan dari harga barang impor dua komoditas utama Indonesia, yaitu minyak mentah dan harga beras yang berpotensi menekan inflasi."

Baca juga: Stockpile Bijih Bauksit Senilai Rp1,4 Triliun Masih Tersisa di Pulau Bintan

Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menambahkan bahwa pelemahan rupiah juga dapat mendorong tekanan inflasi pada sektor pangan, terutama jika pemerintah meningkatkan impor pangan strategis dalam menghadapi fenomena kekeringan berkepanjangan seperti El Nino, yang dapat mengganggu produksi pertanian.

Pardede menyatakan, "Hal ini jelas akan berdampak negatif pada daya beli dan tingkat permintaan masyarakat. Selain itu, impor minyak juga akan lebih mahal, sehingga harga bahan bakar non-subsidi akan meningkat pula yang juga berujung pada menurunnya daya beli dan tingkat permintaan masyarakat."

Selain dampak pada inflasi dan daya beli masyarakat, pelemahan rupiah juga berdampak negatif pada pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku impor, seperti industri farmasi, petrokimia, makanan dan minuman, serta tekstil. 

Josua Pardede menekankan, "Akan terdampak dari adanya pelemahan rupiah yakni sektor yang mengandalkan bahan baku impor seperti Makanan dan Minuman, terutama yang banyak bahan baku impor seperti Gandum, Gula, dan Kedelai, lalu sektor Farmasi, Elektronik dan Barang Elektrikal, dan Tekstil."

Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Bertahan di Rp 15.600 Terhadap Dolar AS, Sejumlah Kebutuhan ini Terancam Naik

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, juga membenarkan bahwa banyak produsen di industri makanan-minuman mengandalkan bahan baku impor. 

Kenaikan kurs dolar AS akan berdampak pada kenaikan harga bahan baku, sehingga perusahaan mungkin harus mengorbankan margin keuntungan mereka atau melakukan resizing (pengurangan ukuran) sebagai opsi untuk mengatasi dampak pelemahan rupiah.

Adhi S. Lukman menyatakan, "Opsi ke sana selalu ada (resizing), kita berupaya bagaimana supaya enggak rugi, tentunya efisiensi, pencarian alternatif bahan baku, dan resizing ukuran menjadi alternatif juga."

Dalam situasi ini, Mantan Menteri Keuangan di era Presiden SBY, M. Chatib Basri, memperingatkan pemerintah tentang urgensi untuk mempercepat belanja. Dia menyoroti perlunya subsidi untuk kelompok rentan jika harga beras terus naik dan pasokan dunia terbatas. 

Selain itu, Chatib juga mengusulkan perluasan cakupan program bantuan sosial seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), PKH (Program Keluarga Harapan), dan perlindungan sosial lainnya.

"Prioritas fiskal menjadi sangat penting. Belanja pemerintah perlu diarahkan untuk membantu kelompok menengah bawah dan rentan," ungkapnya.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews