Jejak Legenda dan Asal Mula Gelaran Riau Negeri Lancang Kuning

Jejak Legenda dan Asal Mula Gelaran Riau Negeri Lancang Kuning

Tugu lancang kuning di Riau. (Foto: Liputan6.com/ M Syukur)

Batam, Batamnews - Lancang Kuning, sebuah nama yang mengalir dalam lagu dan cerita masyarakat Riau, mengungkapkan lebih dari sekadar sebuah pantun. Ini adalah legenda yang mencerminkan simbol kekuasaan, kebijaksanaan, dan konflik di wilayah ini.

Pantun Lancang Kuning, yang dinyanyikan dengan bangga oleh masyarakat Melayu Riau, menggambarkan perjuangan seorang pemimpin (nakhoda) yang harus mengarungi lautan berbahaya untuk menjaga pemerintahan (lancang) agar tidak tenggelam. Meskipun penciptanya tidak diketahui, makna dalam bait ini tetap relevan bagi Riau.

"Lancang Kuning berlayar malam. Haluan menuju ke lautan dalam. Kalau nahkoda kuranglah paham. Alamat kapal akan tenggelam. Lancang kuning menentang badai. Tali kemudi berpilit tiga," demikian bunyi sajak Lancang Kuning tersebut.

Baca juga: Eksplorasi Wisata di Pulau Rempang, Batam: Lebih dari Sekadar Rempang Eco City

Kata "Lancang" merujuk pada kapal besar yang digunakan oleh raja-raja Melayu untuk mengarungi lautan, mencerminkan kekuasaan dan komando dalam armada perang di laut.

Sementara itu, "Kuning" adalah warna kebesaran dalam tradisi Melayu, sering digunakan dalam upacara dan pakaian kebesaran petinggi adat. Kombinasi Lancang dan Kuning mencerminkan dominasi Riau dalam bidang maritim.

Legenda Lancang Kuning juga mengajarkan pentingnya pemimpin yang bijaksana dan paham akan wilayahnya. Bait seperti "berlayar malam, kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam" menyoroti bahwa seorang pemimpin harus mampu membaca arah angin dan bintang, serta memahami seluk-beluk daerahnya.

Konsep "berpilit tiga" dalam pantun mengacu pada keterlibatan tiga unsur penting dalam pengambilan keputusan: umara (cerdik pandai), tetua adat, dan ulama (orang paham agama).

Baca juga: Proyek Ambisius: BUMD Energi Kepri Siap Mengelola Migas di Natuna

Dalam tradisi Melayu yang kaya dengan nilai-nilai Islam, posisi ulama menduduki tempat yang tinggi. Ketiga unsur ini bersama-sama membentuk konstitusi yang mengatur tindakan raja dalam pemerintahan untuk melindungi kepentingan rakyat.

Namun, Lancang Kuning juga memiliki versi lain yang menggambarkan dendam dan konflik pribadi dalam perebutan kekuasaan. Konflik ini dapat merusak pemerintahan dan masyarakat, mengingatkan bahwa kebijaksanaan dalam kepemimpinan sangat penting.

Legenda Lancang Kuning adalah warisan berharga yang membawa pelajaran bagi masyarakat Riau. Ini menunjukkan pentingnya ketelitian dalam menerima kabar dari bawahan dan menghindari perpecahan yang dapat merusak kestabilan pemerintahan.

Lancang Kuning bukan sekadar pantun, tetapi juga cerminan dari sejarah dan nilai-nilai dalam budaya Melayu Riau yang kaya.

 

Asal Mula Riau Digelar Negeri Lancang Kuning

Hingga kini tak diketahui pencipta pantun itu. Namun, Lancang Kuning tetap abadi karena disematkan sebagai sebutan untuk Riau. Begitu mendengar kata Lancang Kuning orang tertuju ke daerah yang berada di timur Pulau Sumatra itu.

Tak diketahui pasti sejak kapan Riau disebut sebagai negeri atau bumi Lancang Kuning. Tak disebut pula siapa orang pertama yang memberi gelar ke daerah yang dulunya ada kerajaan Melayu penguasa Selat Malaka ini.

Mendiang budayawan Riau, Tenas Effendy, dalam sebuah tulisannya berjudul Lancang Kuning pernah menyinggung kenapa Riau diberi gelar dengan sebutan itu. Dia menyebut sebutan ini sebagai tanda kegemilangan Riau sebagai daerah.

 

Versi lain Kisah Lancang Kuning

Dalam versi lain, Lancang Kuning juga menceritakan dendam dan konflik pribadi para penguasa. Konflik untuk berebut kekuasaan itu kemudian berdampak besar terhadap kehancuran sebuah pemerintahan dan masyarakatnya.

Menurut Tenas yang juga penyusun buku Tunjuk Ajar Melayu ini, legenda Lancang Kuning mengisahkan kerajaan makmur di Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Kerajaan ini diperintah Raja Datuk Laksamana Perkasa Alim.

Dia memiliki dua panglima bernama Umar dan Hasan, serta Bomo. Nama terakhir merupakan sebutan untuk dukun atau ahli nujum berpengaruh di kerajaan untuk menjaga keselamatan orang-orang besar di istana.

Pada suatu ketika, Umar dan Hasan sama-sama tertarik kepada satu perempuan bernama Zubaidah. Hanya saja Umar lebih beruntung dan akhirnya mempersunting gadis yang juga diinginkan Hasan.

Hasan lalu berniat merebut Zubaidah dari tangan Umar. Dia mempengaruhi Bomo untuk menyingkirkan Umar. Dengan bujuk rayu Umar, Bomo lalu diminta menyampaikan pesan kepada raja tentang mimpi yang meminta Umar membuat kapal pemberantas bajak laut.

Saban hari Umar membuat kapal yang diberi nama Lancang Kuning. Ketika kapal selesai, Hasan dan Bomo membuat kabar bohong yang menyebut Bathin Sanggono melarang nelayan Bukit Batu mencari ikan di Tanjung Jati.

Umar berangkat menemui Bathin Sanggono dan menanyakan kabar itu. Bathin Sanggono membantah kabar itu sehingga Umar sadar bahwa dirinya dibohongi oleh Hasan dan Bomo.

Kesibukan Umar ini dimanfaatkan Hasan merayu Zubaidah yang tengah hamil tua agar menjadi istrinya tapi ditolak. Siasat baru dibuat Hasan dan Bomo, persisnya ketika kapal buatan Umar akan diluncurkan ke laut pada malam bulan purnama.

Kapal itu dibuat seolah-olah tidak bisa digerakkan meski didorong oleh banyak orang. Bomo menyarankan kepada raja agar mengorbankan seorang perempuan yang sedang hamil tua.

Raja meminta peluncuran Lancang Kuning ditunda, tapi Hasan tetap ingin berbuat licik agar siasatnya berjalan. Hasan lalu mengultimatum Zubaidah, kalau masih menolak jadi istrinya, dia akan dijadikan tumbal Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke laut.

Karena tetap menolak, Zubaidah ditarik paksa oleh Hasan ke lokasi Lancang Kuning, lalu dia mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning. Perahu itu pun meluncur ke laut.

Umar yang baru pulang menemui Bathin Sanggono amat terpukul mendengar cerita mengenaskan tentang istri dan bayinya. Umar pun membunuh Raja dan Hasan serta Bomo menggunakan pedang.

Umar yang sedih lalu berlayar ke Tanjung Jati menggunakan Lancang Kuning. Namun, di tengah laut, Lancang Kuning dihantam ombak besar dan angin topan. Lancang Kuning karam, dan Umar tewas. Kejayaan Kerajaan Bukit Batu pun musnah karena semua pimpinannya tewas.

Menurut Tenas, legenda Lancang Kuning ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Riau. Cerita ini menggambarkan agar raja tidak mudah percaya dengan kabar yang dibuat bawahannya. Bisa jadi, kabar dari bawahan sebagai alat menjatuhkan bawahan lainnya.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews