Polemik Rempang, Peneliti BRIN: Jadikan Kampung Tua Rempang sebagai Cluster Budaya

Polemik Rempang, Peneliti BRIN: Jadikan Kampung Tua Rempang sebagai Cluster Budaya

Aksi demo warga Rempang saat memblokade jalan di Jembatan Barelang IV, Senin kemarin (ist)

Batam, Batamnews - Jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum Otorita Batam dan sekarang jadi Badan Pengusahaan (BP) Batam hadir mengelola Batam, Pulau Rempang sudah didiami masyarakat.

Para penghuni Pulau Rempang itu dari catatan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman ada dua tipologi penduduk asli Rempang.

"Suku asli dari Suku Laut dan Suku Orang Darat serta masyarakat adat dari suku Melayu dan Cina," kata Dedi Arman kepada batamnews, Selasa (22/8/2023).

Baca juga: Rempang Memanas: Warga Desak Pertemuan Bersama untuk Pembangunan Pulau Rempang

Orang Laut banyak mendiami pulau-pulau sekitar Batam, seperti Pulau Ngenang, Air Mas, Bertam, Pulau Gara, Teluk Nipah, Kubung dan juga di Rempang Cate dan Tanjung Gundap. 

"Sementara untuk keberadaan Orang Darat, sangat sedikit sekali literasinya. Terakhir, jumlah Orang Darat itu sekitar lima orang. Mereka tinggal di wilayah RT 003/ RW 001, Kelurahaan Rempang Cate, Pulau Rempang," ujar Dedi. 

Sementara masyarakat adat Melayu, sudah menempati Pulau Rempang jauh sebelumnya.

"Sebelum zaman Belanda, mereka sudah tinggal di Rempang. Bahkan pada abad ke-19, orang Belanda seperti Elisa Netscher yang pernah menjadi Residen Riau sudah pernah mengunjungi Rempang. Pada saat itu, sudah ada masyarakat Melayu, Cina, orang laut, dan orang darat," tambahnya.

Keberadaan orang Cina di Rempang itu tentu menjadi pertanyaan, kenapa mereka bisa tinggal di sana.

Menurut Dedi Arman, pada zaman Kesultanan Riau Lingga abad ke 19, Orang Tionghoa diberikan izin untuk buka kebun di daerah Sembulang, Galang serta di Rempang. 

Baca juga: Kepala BP Batam Serap Aspirasi Masyarakat terkait Pengembangan Kawasan Eco-City di Pulau Rempang

Jika sebelum adanya Otorita Batam (sekarang BP Batam) dan sebelum adanya Jembatan Barelang yang menghubungkan seluruh pulau di Batam, Rempang dan Galang, masyarakat di sana boleh dikatakan sedikit terisolir.

Namun seiring kemajuan Batam dan kehadiran jembatan Barelang 1-6, Pulau Rempang dan Galang pun ikut berkembang. Industri pun ikut berkembang di dua pulau itu. Namun keberadaan industri di Rempang dan Galang dianggap ilegal, karena tidak mengantongi izin industri dan kepemilikan tanah seperti di pulau Batam.

Sesuai aturan yang diterapkan, semua kepemilikan tanah harus mengantongi izin dari BP Batam. Sehingga masyarakat adat yang sudah mendiami pulau Rempang dan punya usaha di pulau itu, tidak mendapat surat hak milik tanah.

Inilah yang terjadi, ketika BP Batam memberikan hak pengelolaan tanah seluas 17.000 hektar ke PT Makmur Elok Graha (MEG) anak perusahaan milik pengusaha kondang Tomy Winata pada tahun 2004. MEG diberi izin untuk mengembangkan Rempang menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB).

baca juga: Dukungan Mentri Investasi, Kepala BP Batam Optimis Percepatan Pengembangan Pulau Rempang

Namun karena ada penolakan masyarakat waktu itu, kendala adanya kawasan hutan sekitar 7.560 hektar, membuat rencana PT MEG belum bisa terealisir. 

Baru pada tanggal 13 April 2023 kemarin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan izin untuk dimulainya proyek senilai Rp381 triliun dengan masa konsesi 80 tahun ke PT MEG.

Dalam perkembangannya KPBPB, pengembangan Pulau Rempang lebih dikenal dengan sebutan Rempang Eco City telah mendapat investor dari pengusaha Cina. Xinyi Grup dari Cina bakal membangun pabrik kaca terbesar di Rempang dengan nilai investasi Rp 172 triliun.

Baca juga: Kunjungan Jokowi Ke China: Xinyi Group Bangun Pabrik Kaca Terbesar di Rempang, Investasi Rp 172 Triliun

Kampung Tua Jadi Cluster Budaya

Untuk memulai pembangunan di sana, maka BP Batam merelokasi masyarakat adat disana. 

Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia dalam kunjungan ke Batam, Minggu (13/8/2023) kemarin menyebutkan, masyarakat yang di relokasi akan diberikan tanah seluas 200 meter.

"Relokasi bukan sembarang relokasi, tetapi masyarakat akan diberikan tanah seluas 200 meter dengan rumah tipe 45 serta akses jalan yang baik agar aktivitas berjalan lancar. Hak-hak masyarakat akan tetap dihormati, terutama mereka yang memiliki sertifikat hak atas tanah. Namun, jika ada kelompok tertentu yang datang dengan cara yang ambigu, penyelesaiannya akan dilakukan oleh aparat keamanan sesuai dengan prosedur yang berlaku," ujar Bahlil.

Namun ketika tim dari BP Batam mulai turun ke lapangan untuk melakukan pengukuran, mereka dihadang oleh masyarakat. Mereka dengan tegas menyatakan menolak rencana relokasi itu.

baca juga: Pulau Rempang, Bakal Disiapkan Sebagai Kawasan Industri Hilirisasi Energi di Batam

Menurut peneliti BRIN Dedi Arman, solusi untuk masalah ini, jika memang BP Batam dan investor punya rencana untuk membangun cluster masyarakat ada di Rempang, mestinya kawasan pemukiman mereka yang sekarang itu yang dijadikan cluster.

"Karena bagaimana pun, siapa yang rela tanah tumpah darah tempat mereka bermukim selama ini digusur demi alasan investasi," ujar Dedi Arman, mantan wartawan Batam Pos ini.

Karena Rempang Eco City memiliki beberapa kluster pembangunan, termasuk kluster cagar budaya, sebaiknya pemukiman masyarakat asli dimasukkan ke dalam kluster cagar budaya," ujar penulis buku Orang Darat di Pulau Rempang, Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam, ini lagi.

Baca juga: 199 Hektar Lahan di Pulau Galang Disiapkan BP Batam untuk Relokasi Warga Dampak Pembangunan di Pulau Rempang

Tetap Direlokasi, Masyarakat Dapat tanah 500 Meter

Sementara itu, Kepala BP Batam Muhammad Rudi dalam pertemuan dengan perwakila masyarakat Pulau Rempang di Kelurahaan Sembulang, Selasa (22/8/2023) menegaskan rencana relokasi tetap berjalan.
 
Menurut Rudi, rencana relokasi itu sudah sesuai arahan Menteri Investasi/Kepala BKPM RI, Bahlil Lahadalia.

Untuk relokasi warga Rempang yang terdampak, BP Batam telah menyiapkan kawasan seluas 119 hektar untuk relokasi ini. Masing-masing warga mendapat  500 meter persegi bagi masyarakat yang memiliki rumah di atas Areal Penggunaan Lain (APL) dan bersedia direlokasi ke kawasan yang sudah ditetapkan. Di kawasan relokasi ini, juga akan dibangun rumah dengan tipe 45.Luas kawasan relokasi tersebut meningkat dari sebelumnya yang hanya 200 meter persegi. 

Baca juga:  Suku Terasing di Pedalaman Batam: Nasib Orang Darat Terakhir di Tengah Megaproyek Tomy Winata

Selain itu, masyarakat yang direlokasi juga akan diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk tanah dan rumah yang mereka tempati, serta dikecualikan dari biaya Uang Wajib Tahunan (UWT/UWTO) selama 30 tahun.

Pemerintah juga akan memberikan dukungan kepada para nelayan dengan membangun pelabuhan atau dermaga untuk mempermudah aktivitas mereka di masa mendatang.

Rudi menekankan bahwa jika pengembangan ini berjalan sesuai rencana, pemerintah akan menyediakan berbagai fasilitas untuk masyarakat. Ini termasuk pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan pendidikan di kawasan relokasi.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews