5 Alasan Baju Bekas Selalu Digemari: Harga Murah, Kualitas Oke

5 Alasan Baju Bekas Selalu Digemari: Harga Murah, Kualitas Oke

Ilustrasi (Foto: dream.co)

Jakarta - Jual beli baju bekas atau thrifting kini kembali menjadi sorotan. Baju bekas yang rata-rata diimpor dari luar negeri tersebut dinilai mengganggu industri tekstil dalam negeri.

Hal itu bahkan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia memerintahkan jajarannya untuk segera mengatasi masalah tersebut.

"Itu (impor baju bekas) mengganggu industri tekstil dalam negeri. Sangat mengganggu," ujar Jokowi saat menghadiri pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri, Rabu (15/3/2023) kemarin.

Dalam beberapa waktu terakhir, isu impor baju bekas memang mengemuka. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Teten Masduki mengatakan bahwa bisnis baju bekas atau thrift shop mengancam usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Thrifting belakangan memang jadi angin segar sebagai pilihan gaya hidup kaum muda-mudi. Tak cuma berhemat, thrifting juga dianggap sebagai salah satu cara untuk mempraktikkan gaya hidup berkelanjutan.

Kini bahkan baju-baju bekas itu tak cuma dijual di pasar loak, melainkan di toko-toko khusus, baik secara online maupun offline. Berbagai festival thrifting juga hadir dan selalu dipenuhi muda-mudi yang berburu baju-baju vintage nan langka.

Ada banyak alasan yang membuat tren thrifting kian digemari. Pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, ada banyak faktor yang turun memengaruhi menjamurnya tren thrifting.

"Ada pengaruh social media juga yang mempromosikan budaya ini. Biasanya dimulai oleh para konten kreator yang punya reputasi. Dan, tahu sendiri anak muda kita kebanyakan FOMO (fear of missing out)," ujar Devie mengutip CNNIndonesia.com.

Devie mengatakan, berkembangnya tren thrifting tak terlepas dari lima unsur utama. Berikut di antaranya.

 

1. Krisis keuangan

Krisis keuangan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Salah satunya bisa jadi disebabkan juga oleh pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap daya beli.

Keuangan merosok, tapi kebutuhan sandang tak berkurang. Akhirnya, banyak orang yang beralih ke pasar loak atau thrifting demi memenuhi kebutuhan mereka.

2. Gaya hidup berkelanjutan

Kesadaran masyarakan zaman kiwari akan lingkungan juga turut berperan membuat tren thrifting kian menjamur. Misalnya, isu mengenai limbah tekstil yang menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia.

Pemikian menumpung sampah tekstil dari baju-baju tak terpakai yang pelan-pelan bisa menghancurkan Bumi tanpa disadari membuat pasar thrifting maju pesat.

"Orang-orang sadar, kalau terus beli baju [baru], sampahnya makin banyak. Makanya, ya udah, beli yang bekas saja. Jadi, tidak menumpuk masalah sampah baru," ujar Devie.

3. Pilihan barang unik

Bukan rahasia lagi, baju-baju yang dijual di pasar thrifting selalu punya nilainya sendiri. Biasanya, baju-baju yang dijual bersifat limited edition. Jarang ada baju yang sama tersedia dalam jumlah lebih dari satu potong.

"Kalau di pasar loak hanya ada satu, entah ada di mana lagi kembarannya. Makanya terasa unik," kata dia.

Selain itu, kini juga banyak baju-baju bekas nan langka yang dijual di pasarthrifting.

4. Pengaruh kreator konten

Content creator juga turut berpengaruh. Salah satunya dengan cara mempromosikan kegiatan belanja barang bekas melalui akun media sosial.

"Akhirnya orang tertarik dan kemudian mencobanya. Oh ternyata murah, oh ternyata bagus. Jadi-lah budaya ini makin digemari banyak orang," kata dia.

5. Eksistensi

Eksistensi jadi kebutuhan muda-mudi di zaman kiwari. Kebutuhan akan eksistensi ini pula-lah yang membuat budaya thrifting kian diminati.

Dengan thrifting, mereka bisa terlihat keren tampil dengan baju-baju unik tanpa perlu merogoh kocek dalam-dalam.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews