Kisah Pahit PRT Indonesia di Malaysia: Ditendang saat Minta Gaji yang Tak Dibayar

Kisah Pahit PRT Indonesia di Malaysia: Ditendang saat Minta Gaji yang Tak Dibayar

Ilustrasi pemulangan pekerja migran Indonesia dari Malaysia. (Foto: dok. Batamnews)

Perak, Batamnews - Bekerja di luar negeri, menjadi harapan warga Indonesia untuk memperbaiki taraf ekonomi menjadi lebih baik. 

Namun terkadang, tak semua harapan itu bisa terwujud dan berjalan dengan mulus. Inilah yang dirasakan seorang pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia di Malaysia.

Perempuan yang tidak disebutkan identitasnya ini, menjadi korban perbudakan dan pelecehan oleh majikannya di, Ayer Tawar, negara bagian Perak.

Kasus ini terungkap saat aparat Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia menggelar operasi pada Kamis (23/9/20210) lalu.

Dalam pernyataan yang dirilis pada 25 September 2021, instansi itu menyebutkan selain menerima berbagai bentuk pelecehan, majikan perempuan itu juga dilaporkan berutang gaji selama tiga tahun antara 2018 dan 2021 dengan total sekitar RM25.000 atau sekitar Rp 85 juta.

“Majikan/tersangka juga mengeksploitasi korban dengan mengancamnya karena dia bukan pekerja berdokumen dan seringkali memarahinya jika dia ingin kembali ke negaranya,” lanjut Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia.

Mereka menjelaskan, penyelamatan wanita tersebut merupakan bagian dari operasi penyelamatan terpadu oleh Departemen Tenaga Kerja (JTK), Satgas MAPO dan kepolisian, yang dilakukan menyusul adanya pengaduan. dan informasi dari KBRI Kuala Lumpur pada Senin (20/9/2021).

“Korban dianiaya secara fisik, yaitu ditendang di wajah saat meminta sisa gajinya,” imbuh mereka.

Dilaporkan bahwa perempuan tersebut masuk ke Malaysia secara legal dengan izin kerja sebagai pembantu pada Juni 2003 melalui agen yang dikenalnya. 

Setelah dia mendapatkan pekerjaan, sejumlah RM350 per bulan dipotong dari gaji korban selama empat bulan sebagai pembayaran kepada agen.

“Korban tidak mengetahui hal ini karena menyerahkan semuanya kepada agen dan tidak ada kontrak tertulis mengenai proses kerja, termasuk pembayaran kepada agen,” bunyi pernyataan tersebut.

Dikatakan juga bahwa izin kerja resmi perempuan itu berakhir pada Juni 2020. Oleh karena itu, ia diklasifikasikan sebagai kerja paksa karena ia bekerja tanpa bayaran, ditolak kembali ke negara asalnya, dan dianiaya.

Indikator juga menunjukkan bahwa majikan telah melakukan pelanggaran di bawah Undang-Undang Anti-Perdagangan Manusia dan Anti-Penyelundupan Migran (ATIPSOM) 2007, kata Kementerian Sumber Daya Manusia.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews