Kita Butuh Ansar

Kita Butuh Ansar

Ilustrasi

Oleh: Iskandar Zulkarnain Nasution

DALAM Islam, hijrah dimaknai sebagai perpindahan Rasulullah Muhammad dan para sahabatnya dari negeri Mekah ke negeri Madinah. Walaupun sebelumnya ada rombongan para sahabat yang hijrah ke negeri Somalia, Afrika, namun yang lebih terkenal adalah proses perpindahan Rasulullah Muhammad dan sahabat Abu Bakar ke negeri Madinah yang kemudian diikuti oleh sebagian sahabat yang mengalami ketidaktenangan berkehidupan di negeri Mekah.

Beberapa waktu belakangan, kata hijrah menjadi trending topik di dunia media sosial. Alih-alih bermakna perpindahan fisik dari satu negeri yang tidak aman ke negeri lain yang lebih aman, hijrah dalam trending topik tersebut lebih pada fungsi spritual, yakni berpindahnya dari kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik. Fungsi spritual ini menjadi dasar bagi para pegiat media sosial untuk mengenali adanya perubahan bagi mereka khususnya selebriti di dunia media sosial maupun hiburan.

Saya terus terang sangat tidak sepakat dengan adanya degradasi makna hijrah tersebut menjadi hanya sekedar label untuk menunjukkan adanya perubahan kebaikan bagi seorang manusia. Hijrah bukanlah hal yang sesederhana itu.

Quraish Shihab, memaknai hijrah adalah meninggalkan sebuah wilayah atas dasar ketidaksenangan terhadap perilaku masyarakat yang telah melampaui batas nilai etik dan moral sebagai manusia dan adanya kampanye stratifikasi sosial yang berlebihan dan terus menerus sehingga mengancam kelangsungan hidup sebagai individu maupun kelompok. Dalam prosesnya, mereka yang melakukan hijrah dari Mekah menuju Madinah itu disebut Muhajirin (orang-orang yang mengungsi/pengungsi).

Syarat lain dari proses hijrah tersebut, selain harus ada pengungsi (Muhajirin), maka harus ada negeri dan penduduknya yang menerima para pengungsi ini. Negeri yang memiliki orang-orang yang mau memberikan pertolongan itu kelak disebut negeri Madinah dan penduduknya yang memberikan bantuan bagi para pengungsi disebut Ansar (Sang Penolong). Penyebutan Ansar tersebut karena mereka memberikan tidak hanya perlindungan berupa harta, rumah, namun juga rasa cinta sebagai saudara yang hidup bersama. Ansar menolong para pengungsi dari rasa lapar, ketiadaan tempat berteduh, pakaian dan rasa aman.

Baca: Riak Komunikasi Membawa Bencana

Kata lain, ketika suatu negeri tidak Aman, maka para penduduknya yang kuatir kondisi ini akan memberangus kehidupannya, wajib hukumnya untuk mengikuti jejak hijrah Rasulullah Muhammad, menjadi pengungsi ke negeri lain yang menerima mereka dan memberikan pertolongan. Negeri-negeri yang memberikan pertolongan bagi para pengungsi ini boleh kita sebut sebagai negeri Madinah, yakni negeri yang memberikan rasa aman dan kecukupan.

Bagaimanakah negeri Indonesia kita saat ini?

Seorang pemikir ilmu sosial, Amy Chua (2004) menyatakan bahwa negeri-negeri berkembang, seperti Indonesia, dalam upayanya untuk menjalankan demokrasi, secara tidak sadar malah membangkitkan kebencian yang dilatarbelakangi etnik. Ini biasanya muncul dilatarbelakangi ketidakstabilan global. Kebencian berdasarkan etnik inilah yang akan mengancam keamanan manusia dan menjadikan negeri tersebut menjadi tidak aman.

Sebelum Amy Chua, Zarina (2002) pula sudah meramalkan bahwa puncak dari rasa tidak aman di suatu negeri biasanya akan menyasar pada terancamnya individu manusia sebagai objek, atau rusaknya ekonomi negeri akibat globalisasi dan terancamnya negeri tersebut akibat pertengkaran yang berpunca dari dalam negeri itu sendiri.

Sementara itu pula, Jeffrey D Sach (2007) menyatakan bahwa negeri-negeri berkembang perlu waspada terhadap ancaman penyakit baik itu bersifat global maupun lokal, lingkungan hidup, isolasi fisik, kehancuran lingkungan sekitar dan khususnya ketiadaan dana yang dimiliki Pemerintah maupun penduduknya. Faktor tersebut akan mampu menjejaskan keamanan manusia di negeri negeri.

Berkaca pada 3 pendapat di atas, kita menyadari bahwa pandemi Covid-19 ini, yang berlarut-larut, telah menjadi ancaman yang nyata bagi manusia, penduduk Indonesia. Ada lebih 3 juta orang yang terinfeksi dan lebih dari seratus ribu orang yang meninggal, ini senyatanya menjadi ancaman bagi keamanan manusia Indonesia. Negeri ini sudah tidak aman lagi, jika meninjau kategori yang disajikan di atas.

Di sisi lain, Yusril Ihza Mahendra, seorang ahli hukum dan tokoh politik terkemuka di negeri Indonesia, menyatakan bahwa belum meredanya penularan Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun ini harus mampu diatasi Pemerintah secepatnya.

Baca: Pertahanan Serangan Biologis

Berlarut-larutnya penanganan dan salah kebijakan yang mengakibatkan bertambahnya korban meninggal secara massif dapat dikategorikan sebagai genosida. Ini tentu saja akan menimbulkan rasa tidak aman di negeri Indonesia. Bahkan saking tidak amannya, beberapa negara melarang keras warganya ke Indonesia dan begitu juga sebaliknya melarang warga Indonesia ke negaranya.

Apakah Indonesia tidak aman yang kita inginkan?

Tentu saja jawabannya tidak. Kita menginginkan Indonesia yang aman, sehingga dengan adanya rasa aman tersebut maka kita akan mampu membangun negeri Indonesia bersama. Mewujudkan negeri aman tersebut memerlukan ketangguhan seluruh elemen masyarakat. Masyarakat yang tangguh akan mewujudkan keamanan bagi lingkungannya dan rasa aman tersebut akan menumbuhkan optimisme untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi dan bergandengan tangan untuk kebangkitan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sehingga tepatlah slogan Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh dalam peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia ke 76 yang baru saja kita peringati.

Bagaimana untuk bisa tangguh dan tumbuh?

Sebagaimana ulasan kita di atas, untuk mampu menjadi tangguh, kita harus melaksanakan hijrah. Yah kita perlu berpindah, berpindah secara fisik. Yang dulunya kita harus bertatap muka dan duduk beramai secara fisik, sekarang kita harus menjaga jarak dan mengurangi aktivitas pertemuan secara fisik. Kita harus berpindah dari kontak fisik menjadi kontak menggunakan Teknologi Informasi (TI).

Langkah selanjutnya, kita juga harus berhenti berkampanye saling menjatuhkan yang berlatarbelakang stratifikasi referensi politik. Kita harus memulai untuk bergandeng tangan dengan saling mengingatkan, untuk melahirkan kebijakan yang ditaati semua. Tidak ada lagi diferensiasi perlakuan yang didasari oleh preferensi politik.

Dan terakhir, kita juga butuh Ansar alias sang penolong. Pemerintah harus hadir sebagai penolong yang memberikan pertolongan berupa bantuan sosial untu mengatasi rasa lapar para penduduk yang terdampak, ketiadaan dana atau uang bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan, perbantuan berupa modal dan keringanan cicilan bagi para pengusaha yang terpaksa tutup karena impak kebijakan pembatasan pemerintah, menyediakan bantuan bagi mereka yang menjalani isolasi fisik baik itu yang diselenggarakan pemerintah maupun yang menjalani secara mandiri dan terakhir memberikan rasa aman bagi mereka yang tidak berdaya baik secara fisik maupun psikis utamanya mereka yang ditinggal oleh orangtuanya atau walinya akibat kematian Covid-19 seperti anak-anak yatim piatu, mereka yang berkebutuhan khusus, maupun yang terganggu jiwanya.

Kata hijrah boleh menjadi trending, tapi tiap ada hijrah selalu ada Ansar.

Ya negeri ini butuh Ansar untuk hijrah menjadi negeri yang aman.

Merdeka

Penulis pengamat sosial di Kepulauan Riau.


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews