Pertahanan Serangan Biologis

Pertahanan Serangan Biologis

Oleh: Iskandar Zulkarnain Nasution

LABORATORIUM Fort Derrick mengemuka saat ini, setelah Laboratorium Wuhan yang menjadi pangkal tuduhan sebagai sumber pertama muncul virus Covid-19. Muncul petisi yang dimuat di The Global Times, kepada WHO, agar lembaga kesehatan dunia ini mengirimkan juga para ahli ke fasilitas laboratorium militer Fort Derrick, di Maryland, Amerika Serikat.

Petisi yang didukung jutaan orang ini diduga sebagai ungkapan kemarahan para penduduk dunia, yang menduga bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan buah karya hasil Laboratorium Fort Derrick dalam rangkaian pengembangan senjata biologis milik militer Paman Sam ini.

Kecurigaan dimulai dengan adanya laporan penyakit pernapasan yang tidak diketahui yang menyebabkan pneumonia di Negara Bagian Virginia pada musim panas tahun 2019. Kemudian adanya wabah penyakit rokok elektrik berskala besar di Negara Bagian Wisconsin di tahun yang sama.

Pada Agustus 2019, Otoritas Pengendalian Penyakit Menular AS (CDC) mengeluarkan perintah penghentian operasional Laboratorium Fort Derrick di tengah masalah keamanan. Beberapa warga sipil di sekitar Laboratorium tidak bisa dimintakan keterangan dan terkesan sudah dibungkam.

Bahkan sejumlah besar laporan berita berbahasa Inggris tentang penutupan Fort Derrick telah dihapus dan mesin pencari hanya akan menampilkan error 404, tidak ditemukan.

Baca juga: Jangan Bahagia Dahulu Soal Pertumbuhan

Fakta ini dikemukakan setelah WHO dan Amerika Serikat bersikukuh bahwa asal muasal virus berasal dari zoonosis yang berkembang di Wuhan, China pada akhir tahun 2019.

Adalah Mauro Gia Samont, anggota lembaga thin thank di Studi Strategis Filipina-BRICS, menulis sebuah artikel di Manila Times, Filipina pada 18 Juli 2020 berjudul “Benteng Misteri Detrick muncul kembali,”.

Mauro mendesak Amerika Serikat untuk menjelaskan keberadaan laboratorium biologis Fort Derrick di Maryland, yang dilukiskan Mauro sebagai laboratorium paling misterus yang sangat berbahaya dan penuh kerahasiaan.

Mauro mencatat bahwa Fort Derrick memiliki sejarah yang kental akan pengembangan senjata pemusnah massal berteknologi Biologis seperti obat pengontrol pikiran dengan LSD, kebocoran virus anthrax, eksperimen Ebola dan cacar.

Narasi dan Petisi mengenai Laboratorium militer Angkatan Darat Amerika Serikat di Maryland ini merupakan narasi kontra yang diterbitkan untuk mendesak Badan Kesehatan Dunia (WHO) agar tidak hanya menurunkan tim ahli ke Wuhan, untuk memeriksa Laboratorium sejenis di Wuhan dan melakukan riset patologis sehingga ke pasar hewan Wuhan.

Baca juga: Skandal? Lupakan Saja

Tetapi WHO juga bersedia berkerjasama dengan Amerika Serikat untuk menurunkan para ahli biologisnya menyelidiki beberapa insiden dan kebocoran yang terjadi di Laboratorium Fort Derrick, Maryland.

Di sisi lain, Indonesia, yang di awal masa pandemi menunjukkan keseriusan dan kehandalannya dalam menangani pandemi Covid-19. Penanganan 238 WNI yang dievakuasi dari Wuhan, China ke Pulau Natuna dengan menggunakan prosedur militer dan berada dalam penanganan dan pengawasan militer, awalnya membumbung harapan tinggi bagi saya.

Indonesia, menurut saya, memahami bahwa pandemi ini harus ditangani sebagai ancaman militer. Ancaman yang berasal dari senjata biologis, yakni virus Covid-19.

Pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) di Pulau Galang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau, semakin membumbung asa. Ini langkah strategis dalam penanggulangan senjata biologis yang cukup mematikan bernama Covid-19.

Apatah lagi RSKI Galang digadangkan akan dilengkapi fasilitas laboratorium penelitian virus, untuk segera meneliti dan mengembangkan antivirus buat melawan serangan Covid-19.

Luar biasa kan?

 

Tapi belakangan semua berbalik arah, penelitian ternyata hanya dikembangkan di Laboratorium Eijkman yang berkolerasi dengan WHO, dan beberapa perguruan tinggi yang memiliki keahlian dalam penanganan virulogi. Militer dan doktrin untuk pertahanan serangan senjata biologis tidak mendapat cukup tempat.

Alih-alih melahirkan antivirus sebagai pemusnah Covid-19, Indonesia masuk dalam skema penanganan WHO dengan mengandalkan vaksin sebagai salah satu metode. Covid-19 dipandang hanya sekedar serangan penyakit yang karena besarnya dampak menjadi sebuah pandemi.

Aturan dan model penanganan dilakukan secara sipil dan mengikuti kaedah-kaedah yang ditetapkan WHO. Hasilnya adalah lebih dari 3,6 juta orang terinfeksi dan ada lebih dari 100 ribu orang yang meninggal tercatat sebagai pasien Covid-19 dan diduga ada banyak juga yang meninggal karena terkena Covid-19 namun tidak tercatat.

Baca juga: Nasi Padang vs Hati Angsa Gemuk

Dalam doktrin pertahanan modern, serangan musuh menggunakan senjata berteknologi biologis adalah sesuatu keniscayaan. Pengembangannya sudah cukup massif di dunia.

Awalnya kita hanya mengenal serangan senjata biologis dalam bentuk gas yang bisa mematikan, melumpuhkan syaraf maupun hanya sekedar menyebabkan penyakit terhadap kulit dan mata. Kemajuan bioteknologi dan rekaya virus sintetis mau tidak mau harus diakui sudah berada di level yang memungkinkan senjata ini dapat menginfeksi komunitas di sebuah wilayah yang dituju.

Namun ketiadaan kontrol akan penyebarannya akan mengakibatkan sasaran senjata tersebut merembes keluar wilayah yang diserang bahkan bukan tidak mungkin akan juga mengenai saasaran di negeri sang penyerang tersebut. Itulah dahsyatnya serangan senjata biologis.

Nah menurut anda, apakah kita sudah memiliki kemampuan menangkal senjata biologis?

Penulis adalah pengamat sosial di Kepulauan Riau.


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews