Refleksi Hardiknas

Pandemi dan Pendidikan Kita

Pandemi dan Pendidikan Kita

Raja Dachroni (Foto:dok.)

Setiap 2 Mei kita memperingati hari pendidikan. Melalui momentum ini, sudah selayaknya kita semua merenung bukan sekedar hanya mengucapkan selamat hari pendidikan dengan beragam slogan tanpa kemudian bertanya bagaimana nasib pendidikan kita.

Saat ini, kita dihadapkan kondisi yang sangat pelik yaitu Covid-19. Sudah masuk tahun kedua sekolah tatap muka tidak kunjung dibuka.

Mayoritas sekolah hanya mengandalkan metode pembelajaran Daring sebagai satu-satunya alternatif untuk menjawab absennya sekolah dalam hal mendidik dan orangtua pun terpaksa mendampingi di rumah atau mencari asisten rumah tangga khusus untuk mendampingi sang anak belajar daring.

Baca juga: Perilaku Konsumtif Masyarakat Menjelang Lebaran dalam Kacamata Sosiologi

Beruntunglah orangtua yang sudah memilih sekolah boarding atau pesantren yang lebih dulu direstui pembelajaran tatap mukanya, tapi itu pun dengan syarat yang ketat pula.

Pandemi telah membuat pembuluh darah pendidikan kita sempit. Stakeholder yang berkaitan langsung dengan pendidikan tidak berdaya dan bernyawa.

Tapi kalau boleh jujur kita pun harus mengakui tanpa pandemi pun dunia pendidikan kita juga punya begitu banyak problem yang harus dicari akar persoalannya dan kemudian dicarikan solusi atau obat untuk mengatasi sakit atau persoalannya.

Baca juga: Belajar Berfikir

Menurut Presiden Jokowi yang mengutip hasil riset PISA dan dilansir cnnindonesia.com pada Jumat (4/4/2020) ada tiga persoalan mendasar pendidikan di Indonesia.

Persoalan pertama, adalah besarnya persentase siswa berprestasi rendah. Ia menargetkan jumlah siswa berprestasi rendah dapat ditekan hingga kisaran 15-20 persen pada 2030.

Kedua, persentase siswa mengulang kelas yang masih tinggi mencapai 16 persen. Menurutnya, jumlah ini lebih banyak 5 persen dibandingkan rata-rata persentase siswa mengulang kelas di negara-negara OECD.

Baca juga: Dilema dan Asa Provinsi Baru

Ketiga adalah tingginya ketidakhadiran siswa di kelas. Mengacu pada survei PISA, kata Jokowi, perlu langkah-langkah perbaikan menyeluruh baik dari aspek peraturan, regulasi, anggaran infrastruktur, manajemen sekolah, kualitas guru, hingga beban administratif guru.

Nah, belum lagi dengan realitas pendidikan yang ada saat ini seperti mahalnya biaya sekolah, kualitas dan dedukasi seorang guru, kurikulum, regulasi dan sebagainya.

Ini harus dipikirkan dan ditindaklanjuti karena sadar atau tidak pendidikan adalah penentu maju tidaknya sebuah negara. Negara-negara maju sangat memperhatikan persoalan pendidikannya.

Baca juga: Minda Guru

Kalau Indonesia mau naik kelas persoalan pendidikan adalah hal yang paling pertama sekali mendapatkan perhatian.

Dari beberapa hal yang penulis ungkapkan di atas ada beberapa hal yang paling perlu didorong yakni bagaimana menjadikan pelajar-pelajar kita menjadi pembelajar mandiri ditengah keterbatasan pertemuan tatap muka dan menjadikan guru kreatif dalam pembelajaran daring seperti belajar tatap muka.

Namun, harus jujur juga kita akui bagaimana dengan kondisi daerah-daerah yang belum menikmati akses internet yang baik. Ya negara harus hadir dalam hal ini sembari membangun infrastruktur akses internet di desa-desa harus ada kebijaksanaan agar negara tidak absen dalam hal ini.

Baca juga: Tahun 2021: Optimisme di tengah Pandemi

Mari kita semua merenung sembari mendorong Mas Menteri Pak Nadiem Makarim untuk mengajak semua elemen berdiskusi memikirkan arah dan nasib pendidikan kita yang kelak ke depan akan menentukan negara ini mau menjadi negara maju atau hanya begitu-begitu saja tidak naik kelas.

Negara berkembang seumur hidup. Tentu kita semua tidak mau dan semoga saja tidak. Mari bersinergi dan sama-sama mencari solusinya.

Selamat hari pendidikan nasional, pendidikan hebat Indonesia maju. Merdeka.

Penulis: Raja Dachroni
Podcaster, Sosioprenuer, Pegiat Medsos, Sehari-hari Beraktifitas di Tanjungpinang Bisa Disapa Via Akun IG @rajadachroni


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews