Hoax Sirna Jika UU Omnibus Law Dibuka dan Bisa Diakses Publik!

Hoax Sirna Jika UU Omnibus Law Dibuka dan Bisa Diakses Publik!

Presiden Jokowi.

Jakarta - Presiden Joko Widodo telah memberikan keterangan pers terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Dalam kesempatan itu, Jokowi bicara soal rangkaian aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di berbagai daerah di tanah air sejak Selasa (6/10/2020) hingga Kamis (8/10/2020).

"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai subtansi UU ini dan hoax di medsos," ujar Jokowi.

Kehadiran hoaks dan banyaknya informasi yang tidak benar ini dikarenakan tidak dibukanya kepada publik UU tersebut. Hanya dua draf yang saat ini beredar dan semua dibantah oleh pemerintah.

Versi pertama yakni yang diupload oleh Kemenko Perekonomian pada 7 Mei 2020.

"Pemerintah telah menyerahkan Surat Presiden, RUU Cipta Kerja, dan Naskah Akademik kepada DPR RI, pada tanggal 12 Februari 2020. RUU Cipta Kerja ini dirancang untuk dapat menjawab kebutuhan pekerja, UKM, hingga industri," tulis keterangan dari situs tersebut.

RUU tersebut tebalnya 1028 halaman dan bisa dicek di sini >> RUU Cipta Kerja [7 Mei 2020]

Kemudian, beredar lagi 905 halaman setelah disahkannya RUU Omnibus Law menjadi UU. Silakan cek di sini : RUU Omnibus Law 5 Oktober 2020

Namun, diketahui ternyata naskah tersebut masih dalam perbaikan.

"Jadi setelah naskah disahkan DPR, ada perbaikan redaksional termasuk typo di Baleg. Kan ini ada 11 klaster dengan 70 UU dan dikerjakan pararel," kata seorang pejabat di pemerintahan yang tak ingin disebutkan namanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (8/10/2020).

Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Baidhowi mengaku draf UU yang beredar 5 Oktober 2020 tersebut ternyata bukanlah yang final. "[Draf Final] Bukan yang beredar di luar," katanya.

Menurut Baidhowi, draf yang beredar tersebut belum merupakan draf akhir yang kemudian untuk disahkan di sidang paripurna. "Tapi secara substansi redaksional sudah selesai semua keputusan Panja. Tinggal memperbaiki tanda baca, titik koma," ujarnya.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan sampai saat ini memang pemerintah tak jelas dan tak bisa menjawab kajian-kajian dalam UU Omnibus Law secara lengkap.

"Pembahasan pasal per pasal idealnya dengan kajian yang mendalam. Setiap ditanya mana kajiannya kan pemerintah tidak bisa menunjukkan. Hanya sepotong potong. Repot juga kalau urusan ekonomi masyarakat se-Indonesia yang termuat dalam pasal pasal omnibus law kemudian dibahas secepat kilat. Padahal ada masalah pangan yang strategis, kemudian masalah tenaga kerja, proyek pemerintah dan lingkungan. Artinya kualitas regulasinya diragukan."

"Jadi kesimpulannya masalah saat ini yang lebih mendesak untuk memulihkan investasi dan menarik relokasi pabrik adalah penanganan pandemi, pemulihan konsumsi rumah tangga, pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas lingkungan hidup hingga bagaimana cara pemerintah menekan biaya logistik. Itu semua luput dari pembahasan omnibus law," tegas Bhima.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews