Masifnya Dampak Corona dan Gambaran Perang Dunia ke-3

Masifnya Dampak Corona dan Gambaran Perang Dunia ke-3

Pemandangan udara bangunan perumahan dan komersial Wuhan di provinsi Hubei, lokasi di mana virus corona pertama kali merebak. (AFP/Hector Retamal)

Virus Corona dimulai dari titik awal Kota Wuhan. Kota yang dikenal sebagai  pusat pengembangan Sains dan Teknologi terbaik di dunia berada di negara Tiongkok (RRC), menyebar dengan cepat ke sejumlah negara.

Kasus ini belakangan muncul juga di Iran dan hampir semua negara adidaya (kekuatan ekonomi dunia).

Meskipun peristiwa ini dinyatakan sebagai bencana dunia oleh WHO dan merupakan bencana kemanusiaan, tetapi marilah kita bersama-sama menelaah pelajaran apa yang bisa kita dapat dari peristiwa ini.

Pada era pengembangan teknologi dan masifnya dampak media sosial di era Milenial generasi 4.0 atau generasi selanjutnya 5.0 hingga 9.0, peralatan militer, senjata dan bentuk dampaknya fisiknya (kasat mata) mulai bergeser. Tetapi benang merah strategi perangnya tidak berubah.

Pada dunia modern era medsos dan teknologi senjata atau peralatan militer tidak terpaku pada senjata berat (alutista). Ternyata  senjata biologi yang sudah puluhan tahun kita tonton dalam film fiksi ilmiah, mulai menunjukkan wujud dan polanya.

Disengaja atau tidak kita tidak akan pernah melihat dengan kasat mata, bagaimana bentuk senjata biologi ini dan sulit untuk memprediksi dari mana datang dan dimana mulainya,

Kejadiannya tiba-tiba dan langsung masif, cara kerjanya seperti serangan pasukan penembak gelap yang menyerbu tiba-tiba.

Pada serangan penembak gelap pasukan yang waspada dan solid akan tetap bisa bertahan dan balik menyerang jika memahami situasi, pengenalan medan dan sejumlah elemen penting lainya yang tentu telah dipersiapkan dengan baik pada latihan perekrutan pasukan.

Perhatikan apa yang terjadi pada dampak masifnya  virus Corona :
Virus corona datang dengan tiba-tiba, tetapi sebelum virus ini muncul, berbagai upaya perang proxi /opini telah dilakukan dengan masif. Perang awal dilakukan tanpa terlihat kasat mata tetapi dampaknya sangat mengejutkan,.

Tahap awal sebagai pasukan pembuka, yang dilakukan adalah menanamkan 'kekawatiran' dalam pikiran bawah sadar publik dengan berbagai bentuk di suatu/wilayah negara termasuk indonesia.

Kemudian ditingkatkan menjadi  'Ketakutan' sebagai upaya penguasaan opini publik. Rumus ini oleh ahli psikologi disebut sebagai 'Panic Buying'

Saat publik telah dikuasi penuh maka tindakan publik yang terpapar 'Panic Buying'  ini akan berdampak pada seluruh sektor dan sulit dikendalikan.

Perhatikan peristiwa demo massal di Natuna, wilayah kecil di pulau yang jauh dari kota besar dan minimnya akses transportasi. Jika merujuk pada perang fisik tentu pulau ini tak mudah dikuasai atau di intervensi asing karena saat ini sejumlah instrumen pertahanan telah cukup lengkap.

Tetapi menghadapi perang era digital, Natuna ternyata bisa kita jadikan contoh bagimana perang baru ini bisa berdampak menjadi Bencana Sosial atau Bencana Kemanusiaan.

“Kepanikan publik/ histeria massa” merupakan perwujudan dari 'Panic Buying'  yang berhasil menguasai publik di Natuna, dari semua lini,  penjelasannya bisa kita baca di Penjelasan Psikologi Dibalik Panic Buying Akibat Virus Corona
 
Rumus  yang bisa kita baca dari jejak digital kita bisa melihat polanya :  

1. Menimbulkan kekawatiran: 

Ribuan jejak digital kita bisa melihat pola menanam  'kekawatiran' pada publik, melalui media medsos dan sejumlah group pertemanan baik Facebook dan WhatsApp. Bentuknya bisa narasi, vidio pendek, atau status copy paste yang dengan sukarela disebarkan publik menjadi 'viral'. Silahkan cek jejak digital dimulai tanggal 31 Januari  2020 ke belakang.

Polanya tebarkan kekawatiran dalam berbagai bentuk untuk turunkan kepercayaan publik kepada otoritas negara, (pemerintah dan instrumen negara)

 

2. Meningkatkan menjadi 'ketakutan' 

Jejak digital per tanggal 31 Januari intensitasnya mulai meningkat dengan cepat dan publik mulai 'histeris massal'. Bentuk fisik yang terlihat adalah publik sudah mulai menghimpun diri, berlaku tidak realistis dan panik. Sangat sulit menerima penjelasan realistis.

Umumnya pikiran telah terblokade prasangka buruk. Kondisi ini menunjukkan pola/tanda bahwa kekhawatiran sudah meningkat eskalasinya. Menurunnya kepercayaan diri (individu) publik secara massal. Hilangnya kepercayaan bukan saja kepada otoritas pemerintah dan instrumen negara tetapi lebih kepada kepercayaan diri masing masing (kehilangaan kesadaran diri massal).
 
3. Publik yang kehilangan kesadaran massal

Kehilangan kontrol diri, hingga dengan mudah dimanfaatkan oleh aktor yang 'tidak kasat mata'. Jika tidak tertangani dengan baik, maka akan dengan mudah menjadi bencana sosial sekaligus bencana kemanusiaan yang memang menjadi target perang dunia ke 3/jenis perang baru era teknologi 4.0.

Contoh kasus di Natuna

Natuna misalnya, ternyata telah dijadikan secara tak langsung menjadi kasus uji coba perang modern. 'proxy war'.

Alhamdulilah Pemerintah RI berhasil menangani situasi ini dengan baik. Peran kolaborasi Tim Kemanusiaan selama di Natuna menunjukan bahwa pertahanan NKRI sangat solid dan berhasil melampaui fase serangan pembuka perang proxy ini.

Kita bisa belajar ketenangan/kewaspadaan jajaran Pemerintah RI dalam mengendalikan kepanikan massa dalam kasus ini, tentu bukan ujug –ujug atau tiba-tiba.

Berbagai kegaduhan sejak Pilres pertama era Jokowi/Kalla hingga Jokowi/Ma'ruf dan hari ini telah menempa seluruh instrumen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKI), siap dan terbukti sukses menghadapi proxy war pada fase ini.

Kesimpulan:  Pola metode perang modern telah bergeser

1.  Sasaran utamanya bencana kemanusian dan sosial yang akan memporakporandakan pertahanan ekonomi, pertahanan sosial, pertahanan budaya dan pertahanan instrumen sebuah negara.

2. Metodenya menggunakan media sosial dan jaringan komunikasi publik dengan menyebarkan kekhawatiran, secara bertahap meningkat menjadi ketakutan, dengan bentuk mengikis kepercayaan publik kepada instrumen negara hingga puncaknya.

Menurunkan kepercayaan publik kepada diri sendiri (kehilangan kendali diri secara massal) sehingga bisa dikuasai dan digerakkan sesuai target aktor/pengendali perang.   

Saran:

1. Indonesia  sudah waktunya membentuk pasukan siber (Cyber Army)  yang punya kemampuan mengendalikan informasi publik dan melakukan serangan proxy war berbagai bentuk tanpa mengabaikan kebebasan pers dan kekebasan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi.

2. Pola serangan perang ini bisa ditangkal dengan memahami rumus pola alogaritma yang dianut semua aplikasi medsos modern.

3. Kerjasama terintegrasi BNPB yang memiliki kemampuan mitigasi bencana (Pusdiklat Kebencanaan), Mahkamah Konstiusi yang memiliki kemampuan pemahaman konstitusi (Pusdiklat konstitusi) negara, Kementerian Pertahanan yang diberi kewenangan negara menjalankan pendidikan Pertahanan Semesta sesuai UU RI no 34 Tahun 2004, TNI dan Polri solid, dan seluruh Instrumen negara telah teruji dalam peristiwa ini .

(perhatikan pola kerja jaringan muda Nadhatul Ulama ( NU) dalam menhadapi serangan proxy war kaum radikal, yaitu dengan memperbanyak konten positif /dakwah para kyai NU melaui media digital).

Catatan 1: Dalam setiap bencana yang terpenting adalah “Mitigasi Bencana” hingga ditemukan pola pencegahan dan pola kewaspadaan dini/ rumus sesuai kondisi guna meminimalisir korban dalam bentuk fisik.

Catatan 2:  Bentuk kepanikan publik atau panic buying berbeda di setiap tempat
Panic buying di Natuna misalnya:  Publik dibuat tak sadar diri (lepas kendali diri) dengan situasi hingga menganggap solusi termudah dari Ketakutannya adalah mengusir WNI dari Wuhan yang dievakuasi ke Natuna.

Untuk tingkat nasional kepanikan publik secara tak sadar menganggap solusi ketakutannya adalah 'masker hijau' sekali pakai.  Sehingga panic buying menyebabkan kelangkaan dan harga melambung.

Untuk Jakarta kepanikan publik atau panic buying menganggap bahwa solusi ketakutannya adalah sembako, Sehingga masyarakat berbondong-bondong membeli sembako.,

Tindakan-tindakan panic buying publik ini bisa berbeda-beda disetiap wilayah. Maka solusinya adalah "informasi pencerahan yang humanis"

Seperti yang dicontohkan Kepala BNPB Letjen Doni Monardo berikut ini :

Pemakaian masker hijau sekali pakai bukan solusi satu satunya dalam mengahadapi corona, sapu tangan ternyata juga sangat ampuh dan malah bayak keuntungannya untuk dijadikan masker. Selain harganya relatif murah, sapu-tangan bisa di tetesi aroma therapy yang menyehatkan sehingga penggunanya aman dan nyaman.

Sebuah solusi cerdas!

 

Opini oleh: A.E. Hermawan.


Penulis merupakan aktivis dan jurnalis Provinsi Kepri berdomisili di Kabupaten Natuna.
Direktur Kajian Publik, Lembaga Kajian Strategis 'Natuna Institute'.

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews