Jika Munas Dipaksakan Aklamasi, Golkar Dinilai Rentan Pecah

Jika Munas Dipaksakan Aklamasi, Golkar Dinilai Rentan Pecah

Bamsoet dan Airlangga di acara Caleg Golkar.

Jakarta - Pihak Airlangga Hartarto sedang mengupayakan musyawarah mufakat di Munas Golkar pada awal Desember mendatang. Namun hal itu dinilai malah akan membuat partai berlambang pohon beringin tersebut pecah.

Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia Sulthan Muhammad Yus mengatakan Partai Golkar dikenal selalu dinamis dalam setiap penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) sebagai forum tertinggi partai dan pemilihan ketua umum. Persaingan sengit antarcalon ketua umum merupakan ciri khas Golkar dalam setiap Munas.

"Oleh karenanya, jika dalam Munas Golkar pada Desember mendatang ada pihak-pihak yang ingin meredam persaingan tersebut dengan memaksakan aklamasi, hal tersebut berbahaya bagi eksistensi Partai Golkar. Ancamannya adalah Golkar berpotensi terjerumus dalam lubang yang sama," katanya di Jakarta, Kamis (14/11/2019).

Ia mengatakan sejarah mencatat, pemilihan Ketum Partai Golkar lewat aklamasi selalu membawa permasalahan di kemudian hari. Misalnya saja, terpilihnya Aburizal Bakrie secara aklamasi di Munas Bali 2014, yang kemudian memicu Munas tandingan di Ancol yang juga memilih Agung Laksono secara aklamasi, dan akhirnya Golkar terbelah.

"Kemudian Munaslub Partai Golkar 2016 yang memilih Setya Novanto secara aklamasi. Suara-suara kader yang kritis melihat Setnov sebagai 'sosok bermasalah' menjadi terpinggirkan, sampai KPK sendiri yang mengungkapkannya," tuturnya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, katanya, bagaimana dengan terpilihnya Airlangga secara aklamasi dalam Munas tahun 2017. Ia menyebut peristiwa itu bisa jadi pengecualian.

"Mengingat kondisi Golkar masa itu dalam keadaan darurat pasca terungkapnya kasus Setya Novanto, sehingga seluruh kader bersepakat meredam persaingan dan gejolak demi menyelamatkan partai guna menghadapi kontestasi Pemilu 2019."

Sedangkan saat ini Golkar dalam keadaan normal. Sehingga jika Munas Golkar hendak dipaksakan berlangsung secara aklamasi, sementara di sisi lain ada kandidat ketua umum lebih dari dua orang, maka tinggal menunggu waktu saja masalah-masalah yang sebelumnya pernah menimpa partai Golkar dapat terulang kembali.

"Perpecahan partai di 2014 dan kasus yang menimpa Setya Novanto harusnya menjadi pengingat bagi seluruh kader yang tetap menghendaki eksistensi Partai Golkar terjaga dengan baik," tuturnya.

Meski demikian, ia masih menilai aklamasi jelas tidaklah salah. Justru itu menjadi ciri khas bangsa kita yang mengedepankan musyawarah mufakat.

"Tapi ketika aklamasi dipaksakan untuk membungkam suara-suara yang berbeda, di situlah sikap antidemokrasi pihak yang memaksakan tersebut justru sangat terlihat," paparnya.

(*)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews