INDEF: Bebas Cukai Selama Ini Tidak Berdampak Ekonomi di Wilayah FTZ

INDEF: Bebas Cukai Selama Ini Tidak Berdampak Ekonomi di Wilayah FTZ

Direktur INDEF, Eny Sri Hartati. (Foto: Batamnews)

Jakarta - Lembaga Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mendukung langkah pemerintah mencabut keistimewaan kawasan Free Trade Zone (FTZ) untuk rokok dan mikol (minuman berakohol). Pasalnya barang tanpa cukai (BTC) itu selama ini banyak diselundupkan dan tidak banyak berdampak positif terhadap ekonomi.

Direktur INDEF, Eny Sri Hartati mengatakan, jika KPK melihat kondisi itu dari kerugian negara, tetapi lembaganya melihat tidak terkendalinya peredaraan barang tersebut. "Makanya mengenakan cukai salah satu cara pengendalian," kata Eny kepada Batamnews.co.id beberapa waktu lalu.

Eny mengatakan, pengendalian barang tersebut tidak ada hubungan dengan FTZ. "Meskipun bebas cukai rokok dan mikol itu, tidak ada hubungan investasi, sedangkan FTZ hadir untuk investasi," katanya.

Hasil penelitian INDEF, beberapa waktu lalu menyimpulkan, bebas cukai rokok dan mikol tidak berdampak kepada ekonomi daerah Kepri baik dalam investasi ataupun pariwisata. Pembebasan cukai untuk rokok dan mikol tidak juga menurunkan biaya hidup pekerja di Batam secara signifikan.

Salah satunya ia contohkan, peredaran mikol tanpa cukai di Bintan. Secara logika turis di Bintan menginap mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah. Tidak mungkin dengan pengeluarkan seperti itu mereka ke Bintan hanya mencari mikol tanpa cukai atau mikol murah.  "Mereka tidak mungkin ke Bintan hanya sekedar beli mikol tanpa ada tujuan lain," kata dia.

Begitu juga soal rokok, penelusuran INDEF beberapa waktu lalu kebanyakan toko rokok di Batam lebih banyak menjual rokok biasa bukan yang bebas cukai itu. Sedangkan kuota rokok bebas cukai di Batam sampai 1,1 miliar batang. "Lalu kemana perginya rokok tanpa cukai itu, apakah dikirim keluar Batam?" ujar Eny.

Selain itu, salah satu penelitian mereka dilihat dari konsumen rokok non cukai itu tidak tampak di Kota Batam, kebanyakan pekerja industri di Batam malahan mengunakan rokok yang kena cukai seharga Rp12 ribu. Sedangkan rokok non cukai harganya Rp 6 ribu perbungkus itu hanya dikonsumsi sedikit orang.

"Kalau kami lihat yang pakai itu (rokok non cukai)  adalah sebagian kecil dari nelayan," kata dia.

Sementara, kuota untuk rokok bebas cukai itu sangat banyak di setiap daerah. Dalam hal itu berpotensi untuk disalahgunakan. "Artinya formulasi yang diberikan, kuota setiap daerah terkait rokok bebas cukai sangat bias, dan tidak mempunyai kepastian, lebih berpotensi terjadi penyeludupan," katanya.

Seperti kawasan FTZ di Tanjungpinang, lanjut Eny, tidak ada perubahan signifikan ketika intensif non cukai rokok dan mikol ada disana. "Lalu jumlah kuota yang juga sampai angka 1 miliar batang rokok non cukai disana (Tanjungpinang) untuk siapa," kata Eny.

Selain banyaknya barang non cukai itu disalahgunakan formulasi atau aturan yang ada di kawasan FTZ itu juga rancu. Baik dari kuota ataupun dalam teknisnya. "Masak satu daratan antara Bintan dan Tanjungpinang kuotanya dihitung dua kali," kata Eny.

Jadi lanjut Eny, intinya penerapan cukai diberikan untuk pengendalian konsumsi barang tanpa cukai tersebut sangat bagus. Eny menegaskan, intensif fiskal ataupun keistimewaan FTZ adalah untuk mendorong investasi terutama ekspor, bukan untuk barang kena cukai (BKC) rokok dan mikol.

Eny juga menyampaikan, kondisi mengenakan cukai kepada rokok dan mikol tidak akan berdampak kepada pabrik rokok yang ada di kawasan FTZ. Karena cukai yang dikenakan adalah untuk konsumen. "Yang bayar cukai kan konsumen, bukan perusahaan, jadi nggak usah khawatir," kata dia.

Kedepan bisa dipastikan tidak ada lagi dikawasan FTZ seperti Batam, Bintan, Tanjungpinang muapun Karimun tidak ada lagi rokok seharga Rp 6000. "Rokok paling murah sekitar Rp 12 ribu," kata dia.

Tidak hanya menghabiskan praktik penyalahgunaan atau penyeludupan rokok dan mikol. Pengenaan cukai kepada barang tersebut juga akan meningkatkan pendapatan daerah. Selain itu dilapangan Bea Cukai bisa bekerja dengan tupoksinya. "Bea Cukai tidak lagi direpotkan dengan penyeludupan rokok ilegal, yang menjadi polemik," kata dia.

Eny menyarankan pemerintah mensosilasasikan keputusan ini dengan tepat. Bisa saja sosialisasi yang tidak tepat berdampak kepada pertumbuhan fiskal. "Rencana dalam waktu dekat kami juga membuat diskusi terkait isu ini," kata dia.

Pemerintah pusat sudah memutuskan untuk mengenakan lagi cukai di Free Trade Zone atau Zona Perdagangan Bebas. Keputusan itu diterapkan sejak Jumat (17/6/2019).

(tan)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews