Duopoli, Alasan Pemerintah Intervensi Harga Tiket Pesawat

Duopoli, Alasan Pemerintah Intervensi Harga Tiket Pesawat

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso.

Jakarta - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan kondisi duopoli pada pasar sektor penerbangan menjadi salah satu alasan pemerintah untuk megintervensi harga tiket pesawat yang cukup mahal dalam beberapa waktu terakhir. 

Duopoli merupakan kondisi di mana pasar suatu sektor industri hanya dikuasai oleh dua pemain. Saat ini, sektor penerbangan di Indonesia memang didominasi oleh dua grup besar, yaitu Grup Garuda Indonesia dan Grup Lion Air. Sebelumnya, ada Grup Sriwijaya, namun belakangan maskapai swasta itu merapat ke Garuda Indonesia. 

"Sebenarnya semuanya kami serahkan ke market, cuma tidak bisa full karena ini duopoli, perlu ada intervensi. Kecuali market itu persaingannya sempurna," ujar Susi, Jumat (10/5/2019). 

Menurut Susi, kondisi pasar duopoli memunculkan kerentanan persaingan harga yang tidak sehat dalam suatu industri. Sebab, ketika pemain A melakukan kenaikan harga, maka pemain B tidak serta merta akan mempertahankan harga. 

Baca: Turunkan Tarif Atas Tiket Pesawat, Kemenhub: Lagi Dievaluasi 15%

Justru, pemain B bisa saja melakukan kenaikan harga juga, meski tidak setinggi pemain A. Hal ini lantaran pemain B melihat ada peluang untuk tetap mendapat keuntungan dalam persaingan yang pasarnya dikuasai oleh dua pemain saja.

"Misal, kalau Garuda bikin price tinggi, kompetitornya cuma satu, maka akan ikut (kompetitornya), masyarakat tidak ada pilihan," terangnya. 

Untuk itu, Susi kembali menekankan bahwa langkah intervensi dari pemerintah perlu. Apalagi, langkah ini sejatinya tidak melanggar aturan. Hal ini lantaran pemerintah melalui Kementerian Perhubungan memang memiliki wewenang kontrol terhadap tarif batas atas dan tarif batas bawah yang selanjutnya mempengaruhi tarif tiket pesawat yang dijual maskapai. 

Selain itu, menurutnya, penurunan tarif tiket pesawat diperlukan karena kenaikannya disebabkan oleh persaingan yang tidak sehat di industri penerbangan. Hal ini tercermin dengan perang tarif yang dilakukan masing-masing maskapai. 

"Mereka (maskapai) bilang karena persaingan yang dulu membuat harga tidak wajar. Sekarang, begitu normal, harga tiba-tiba tinggi, masyarakat yang belum siap menyesuaikan itu. Jadi dulu ada perang harga, sehingga harga tidak realistis," terangnya. 

Di sisi lain, tingginya harga tiket pesawat menjadi perhatian kementeriannya akhir-akhir ini karena memberi dampak pada indikator makro. Kenaikan harga tiket pesawat membuat inflasi membengkak dalam beberapa bulan terakhir. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga tiket pesawat kerap berkontribusi pada inflasi. Pada Januari 2019, inflasi menyentuh angka 0,39 persen. Meski pada Februari turun menjadi deflasi 0,08 persen. Namun, inflasi kembali terjadi pada Maret sebesar 0,11 persen dan April 0,44 persen. 

Tak hanya mempengaruhi inflasi, Susi menduga kenaikan tarif tiket pesawat sedikti banyak juga mempengaruhi defisit neraca jasa pada kuartal I 2019. Defisit neraca jasa terjadi karena jasa transportasi penumpang menurun, yaitu dari US$500 juta pada kuartal IV 2018 menjadi US$300 juta pada kuartal I 2019. 

"Pasti (terpengaruh), meski ini baru kuartal I, makanya ini harus segera turun (tarif tiket pesawat)," ucapnya. 

(*)
 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews