Air Mata Sang Kiai dan Kisah Kematian Burung Beo

Air Mata Sang Kiai dan Kisah Kematian Burung Beo

Ilustrasi.

Batam - Ketika semasa hidup, banyak orang Islam yang terus berzikir, mengingat Allah, Tuhannya. Begitu pula ketika menjelang ajang, setiap Muslim yang ingin pergi secara husnul khatimah.

Namun kekinian, pemikiran seperti itu tampak luput atau disepelekan oleh banyak muslim. Untuk itulah, Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama KH Munawar Kholil, menuturkan kisah alegori yang mengena, agar setiap Muslim terus berzikir sepanjang hidup.

Kisah tersebut, dituturkan Kiai Munawar Kholil dalam acara Safari Ramadhan Pemerintah Daerah Kabupaten Pringsewu, Lampung, Kamis (9/5/2019). Kisah itu lantas dimuat dalam laman daring Nahdlatul Ulama, Jumat (10/5/2019) hari ini.

Berikut kisahnya:

Seorang kiai memiliki seekor burung Beo yang sangat cerdas. Burung itu mampu menirukan berbagai macam suara termasuk mampu berkata-kata layaknya manusia.

Sang kiai pun melatih burung kesayangannya untuk mengucapkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah.

Dalam waktu singkat burung kesayangannya ini mampu mengucapkan kalimat tauhid dengan fasih dan lancar.

Setiap hari pun sang burung terus mengucapkan kalimat tauhid dan menghiasi hari-hari kediaman sang kiai. Suasana semakin sejuk dan semakin menjadikan sang kiai tambah cinta kepada sang burung.

Namun, tiba-tiba suatu hari terdengar suara "keak… keak… keak!!" yang terdengar oleh sang kiai. Bergegas ia menuju sumber suara yang terdengar dari tempat biasa ia menempatkan burung Beo-nya setiap hari.

Alangkah kagetnya sang kiai, seekor kucing telah menerkam dan memakan burung kesayangannya sampai terdengar suara parau terakhir dari sang burung.

Sejak kematian burung Beo-nya, sang kiai menjadi sering terlihat murung. Ia juga sering mengunci dirinya dalam kamar pribadi dan jarang mengajak para santrinya berbicara. Kondisi ini membuat para santri heran dan bersedih.

Akhirnya, para santri bersepakat untuk mencari ganti burung Beo kesayangan kiai dengan burung lain yang lebih bagus.

Mereka bersepakat untuk mengumpulkan uang dan membelikannya di pasar burung agar sang kiai tidak bersedih dan bermuram durja.

"Pak kiai...," ucap salah satu santri tertua mengawali niatnya menyampaikan hasil kesepakatan bersama para santri lainnya.

"Kami sangat bersedih dengan kematian burung Beo pak kiai... izinkanlah kami membeli burung Beo yang baru agar pak kiai tidak terus menerus bersedih hati!” ungkap sang santri sambil menundukkan kepala karena merasa takut apabila sang kiai tidak berkenan.

Sang kiai menghela nafas, seolah ingin melepaskan beban yang ia rasakan selama ini. Kemudian ia memberikan penjelasan kenapa ia murung dan mengunci diri dalam kamar setelah kematian burung Beo nya.

"Wahai para santriku... bukannya aku sedih dengan matinya burung beo kesayanganku. Bukannya aku tidak ingin mencari ganti burung beo yang lebih baik dan lebih pintar. Terus terang aku tidak sesedih itu dengan matinya burung Beo itu," kata sang kiai yang membuat semakin heran para santrinya.

Setelah terdiam beberapa lama, sang kiai melanjutkan ungkapan hatinya kepada para santri yang memenuhi aula tempat mereka biasanya mengaji.

"Yang aku sedihkan adalah isyarat yang diberikan Allah SWT lewat kematian burung Beo itu. Coba kalian renungkan, burung Beo itu telah fasih mengatakan Laa Ilaha Illallah. Tetapi saat diterkam kucing dan mati, yang terakhir keluar dari mulutnya adalah bunyi keak.. keak.. keak!" ungkapnya.

"Aku takut jika nasibku nanti ketika dipanggil Allah kembali kepada-Nya akan seperti burung Beo itu. Semasa hidup biasa menzikirkan kalimat tayyibah itu, tetapi ketika meninggal dunia mulut ini tidak mengucapkan kalimat itu. Malah mengucapkan yang lainnya,” sambungnya.

Para santri tertunduk semua sembari merenungi perkataan sang kiai. Tak terasa air mata para santri keluar sambil lirih terdengar suara istghfar di ruang tersebut.

Semoga kita diberikan rahmat Allah SWT dan kembali kepada-Nya dalam keadaan Husnul Khatimah. Amin.

(*)
 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews