Dua Masalah HAM di Batam yang Tak Pernah Tuntas, Apa Saja?

Dua Masalah HAM di Batam yang Tak Pernah Tuntas, Apa Saja?

Batam - Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional diperingati setiap tahunnya di tanggal 10 Desember di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Peringatan ini digelar mengenang lahirnya Deklarasi HAM di Paris, Perancis pada 10 Desember 1948.

HAM merupakan hak yang melekat pada semua manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, bahasa, agama, atau status lainnya.

Hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup dan kebebasan, kebebasan dari perbudakan dan penyiksaan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk bekerja dan pendidikan, dan banyak lagi.

Namun dalam praktiknya, permasalahan dan pelanggaran HAM masih banyak terjadi di seluruh dunia, tak terkecuali di Batam.

Sebagai kota industri yang berada di perbatasan, Batam memiliki daya tarik tersendiri bagi setiap orang, meski kejayaannya perlahan mulai memudar.

Alhasil, banyak kaum urban berdatangan di Batam dan hal ini memunculkan problematika tersendiri. Setidaknya, ada dua persoalan dalam perspektif HAM yang tak pernah tuntas di Batam.

Permasalahan tersebut yakni tindak pidana perdagangan orang (trafficking) dan hak atas permukiman bagi setiap warga. Dua kasus ini seperti bongkahan gunung es, dan menjadi momok tak berujung.

Rohaniawan Chrisanctus Paschalis Saturnus berpendapat trafficking merupakan bentuk pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Indonesia, termasuk Batam.

"Trafficking ini kejahatan berantai terorganisir. Di dalamnya ada dua aspek, sehingga kejahatan ini bisa terjadi. Yakni ada penjual dan pembeli yang membutuhkan," kata pria yang sering disapa Romo Paschal di Kantor Redaksi Batamnews, Selasa (11/12/2018).

Paschal yang juga koordinator Komisi Perdamaian Pastoral Migran Perantau ini menegaskan trafficking merupakan mata rantai baja karena di dalamnya ada pemodal kuat yang mendanai bisnis perbudakan modern ini.

Namun demikian, mata rantai itu bukan tak bisa diputus. Perlu kerja sama, komitmen dan kampanye berkelanjutan untuk membasmi praktik trafficking ini.

“Saya optimis ini bisa, asalkan ada kerjasama dan pemahaman untuk menjadi isu bersama,” ucap Paschal.

Perlu Political Will Hentikan Praktik Trafficking

Berulangnya kasus-kasus trafficking di Batam, tak lepas dari lemahnya pengawasan dan ketidakseriusan pemerintah. Geliat penanganan baru muncul ketika ada kasus yang mencuat tapi minim antisipasi.

Paschal mengatakan politik saat ini kurang berpihak terhadap kasus perdagangan orang. Ibarat manusia, hanya memberikan baju saja tanpa peduli apa kebutuhan dasar.

“Pemerintah hanya menyediakan perda tapi tak menyentuh akar kasus ini,” kata Paschal.

Menurut dia semua pihak harus berbareng bergerak menghentikan praktik ini. Sejauh ini, lembaga yang dipimpinnya terus bergerak meski tantangan dan ancaman selalu muncul.

Tak semua kasus trafficking ini bisa diselesaikan dengan mudah. Paschal menyebut, dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada dua kasus trafficking yang ditanganinya, paling menguras energi dan pikiran.

"Seperti kasus yang menimpa Ms, perempuan di bawah umur, yang sedang berproses hukum di pengadilan. Ini tak mudah, karena kami harus berhadapan dengan terdakwa yang memiliki kekuatan modal dan pengaruh di Batam," kata Paschal.

Kemudian, penyelamatan terhadap 8 orang yang dieksploitasi secara seksual dan tidak menerima upah selama 3 tahun. Pengungkapan kasus ini memang tak mudah karena jaringan trafficking ini sudah terbangun dengan rapi dan terorganisir.

Paschal mengatakan selain kasus dari laporan masyarakat kepada lembaganya, masih banyak kasus lain dari perdagangan orang yang tak tersentuh. 

“Banyak kasus lainnya, tapi kami tidak bisa main terjun, karena melanggar hukum,” kata Paschal. 

Untuk pencegahan terjadinya kejahatan ini, Paschal mengimbau sosialisasi masalah ini terus digaungkan. “Ada korban, tidak ada korban harus beri penyadaran,” imbuh dia.

Hak Permukiman Bagi Kaum Marjinal

Selain kasus trafficking, kasus kedua terbesar di Indonesia adalah kasus permukiman atau hak bermukim. Masalah ini menjadi masalah sosial tak terhenti di Kota Metropolitan. 

Jika membahas hak bermukim tentu membahas kaum marjinal dengan ekonomi rendah. Rumah-rumah liar, penggusuran, hingga masalah sosial menjadi persoalan kompleks di area marjinal ini. 

Ketua LSM Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak) Batam, Agung Wijaya mengatakan, akar semua kesalahan dari pelanggaran hak bermukim terutama di Batam, terjadi dididistribusi lahan tidak seharusnya sesuai dan adil.

“Lahan di Batam banyak dikuasai konglomerat yang itu-itu saja,” kata Agung.

Agung beranggapan sebagai kota industri yang menyerap banyak tenaga kerja, seharusnya pemerintah sudah memperhitungkan tentang tempat tinggal layak untuk mereka.

Diakuinya, di Batam saat ini banyak berdiri rumah susun. Namun hal itu dinilai belum mampu mencukupi jumlah masyarakat di Kota Batam.

Tak heran, jika kemudian tumbuh subur permukiman liar yang dibangun masyarakat. Di sisi lain, hal itu juga diakibatkan oleh ketidaktegasan pemerintah, khususnya pemilik hak atas lahan, dalam pengelolaannya.

"Banyak lahan yang sudah dialokasikan oleh BP Batam ke investor tapi tak kunjung digarap. Hal ini juga memicu persoalan," kata dia.

Menurut dia, pemangku kebijakan sebaiknya turun ke bawah. Berdialog sambil menyerap aspirasi publik, khususnya kaum miskin kota.

"Sayangnya hal ini nyaris tak pernah dilakukan," kata dia.

Padahal, secara hukum universal, warga yang berdiam di permukiman liar juga memiliki hak yang sama dengan warga lainnya.

"Ingat UUD 1945 mengisyaratkan persamaan hak bagi setiap warga negara. Tugas pemerintah adalah menggusur kemiskinan, bukan menggusur orang miskin," tukasnya.

(das)
 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews