Ya Allah, Aku Sempat Ingin Meninggalkan Anak-anakku...

Ya Allah, Aku Sempat Ingin Meninggalkan Anak-anakku...

Ade Kusmiati di rumahnya, ruli Baloi Kolam. (foto: ret/batamnews)


BATAMNEWS.CO.ID, Batam - Ade Kusmiati (41), ibunda Silviana, siswi SMK Multistudi High School Batam, sehari-harinya adalah buruh cuci. Ia sehari-hari mencuci pakaian dari rumah ke rumah.

Sementara suaminya, Suparman adalah penjual cimol (makanan anak-anak) keliling sekolah-sekolah. Ia dan suaminya tinggal di rumah liar Baloi Kolam, Penuin, Lubuk Baja, bersama dengan lima anaknya.

Kesulitan hidup membuatnya nyaris putus asa. Uang sekolah anak tertuanya, Silviana sudah tertunggak hingga hampir Rp 5 juta. Silviana sudah malu datang ke sekolah, sebelum ada dermawan yang membantu mereka.

Inilah curahan hati Ade Kusmiati, wanita asal Desa Cibaduyut, Jawa Barat ini kepada Batamnews.co.id.


"Setiap malam aku selalu memandangi wajah-wajah mereka yang polos, wajah yang tidak tahu akan terjadinya hari esok. Wajah yang sesekali menyunggingkan senyuman di bibir mereka. Mungkin saja ada hal yang indah yang masuk dalam mimpinya.

Ya Allah, setiap hari aku berdoa, selalu dengan doa yang sama meminta kepada-Mu. Rahmat dan rezeki buat kami sekeluarga, tidak harus hidup mewah. Hanya berkecukupan sajalah tidak lebih.

Mungkin Tuhan, belum memberikan saya kesempatan, mungkin masih ini yang bisa Tuhan berikan bagi kami menikmati kehidupan dari hasil jualan cimol.

Kupandangi wajah suamiku. Sudah 15 tahun kami hidup berumah tangga. Kami beda usia 10 tahun. Ia lelaki yang baik, pekerja keras dan berjuang untuk mecari nafkah untuk keluarganya.

Kutatap dinding rumahku, banyak sekali lubang, rumah yang kami bangun setelah kami tidak sanggup lagi membayar uang kos. Rumah ini baru tiga bulan kami tempati.

Untuk menutupi lubang-lubang di dinding, aku mengumpulkan seng-seng bekas pemberian tetangga. Dari itulah bagian belakang rumah ditutupi.

Sementara bagian lantai rumah, suami menutupnya dengan menggunakan spanduk-spanduk bekas yang dikumpulkan. Spanduk bekas tersebut sangat membantu, karena untuk menutupi tanah agar anak-anak terhindar dari sakit.

Ruang tengah rumah dipenuhi dengan kasur-kasur yang sudah bau apek. Baju-baju kotor pun bertumpuk karena tidak ada uang untuk membeli air.

Di atas televisi yang sudah usang kulihat ada selebaran kertas. Ternyata surat peringatan dari sekolah anakku, Silviana. Di sana tertulis tagihan uang uang sekolah hampir Rp 5 juta.

Malam itu aku terus berpikir, apa yang harus kulakukan? Aku tak sanggup, aku ingin pergi, pergi kemana sehingga tidak ada satupun orang yang mengenalku. Pergi sejauh mungkin...

Saat pikiran untuk pergi itu melintas, terbayang masa kecilku.

Aku dan kakakku ditinggalkan oleh kedua orangtuaku, kami hanya diasuh oleh sanak saudara. Kami tidak dipandang dan tidak dianggap apa-apa. Sakit rasanya.

Malam itu benar-benar membuatku putus asa, apa yang harus kulakukan ya Tuhan? Aku mau lari saja, kulipati kain-kainku. Aku masuk ke kamar Silvia, kupandangi wajah manis anak gadisku ini.

Sambil memandangi Silviana, aku diberikan sekilas ingatan, ketika itu kami berdua sedang mencuci pakaian.

"Ma...yang sabar ya, nanti kalau Silviana sudah lulus pasti Silviana akan bantu, silvia akan jadi orang sukses, Silviana janji."

Bagai mendapat sengatan listrik, seketika itu aku langsung sadar.

Ya Allah, ibu macam apa aku ini, teganya aku ingin meninggalkan anak-anakku. Aku menangis sejadi-jadinya, Silviana terbangun.

"Udah ma, gak papa... nanti ada jalan keluar kok, udah gak usah nangis."

Kupeluk dia erat-erat, untung saja aku diingatkan kenangan manis itu. Hampir saja aku meninggalkan anak-anakku. Hampir saja mereka mengalami nasib yang sama, menerima perlakuan yang tidak enak ketika tidak mempunyai orangtua lagi.

Kutenangkan dia, kusuruh dia untuk tidur kembali.

Kulihat lagi anak-anakku, mereka masih kecil. Masih membutuhkan aku, kubulatkam tekadku aku harus kuat hingga anak-anakku dapat lulus.

Kulanjutkan tidur agar besoknya aku berjualan kembali, mengais rezeki walaupun itu sedikit tapi aku harus bersyukur karena mempunyai malaikat-malaikat kecil yang jadi penyemangatku.

Beberapa hari kemudian, Silviana bercerita ada orang yang datang ke rumah untuk survei keadaan kami. "Oh mungkin cuman orang iseng nak," ujarku.

Maklum, aku tidak langsung percaya. Setelah hari itu, dua hari kemudiannya aku dengar kabar uang sekolah anakku sudah lunas. Bukan hanya itu, uang sekolah di tahun kedua juga sudah dibayarkan.

Alhamdulillah ya Allah. Terimakasih ya Allah. Mungkin ini jawaban doaku selama ini. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa, aku hanya bisa mengucap syukur atas rezeki ini.

Aku disadarkan, bahwa Aku masih diperhatikan oleh Yang Maha Kuasa."

(margareth)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews