Kakak Beradik Asal Batam Selamat dari Perang Saudara Sudan, Berbagi Kisah Mengerikan

Kakak Beradik Asal Batam Selamat dari Perang Saudara Sudan, Berbagi Kisah Mengerikan

Abdurahman dan Fikri, dua kakak beradik asal Batam yang kuliah di Sudan, selamat dalam perang saudara di sana, mereka berbagi kisah tentang kondisi di saian (ist)

Batam, Batamnews – Dua orang kakak beradik, Fikri Wahyudi Maulana (22) dan Abdurrahman Tsani (23), mahasiswa asal Kota Batam, Kepulauan Riau, akhirnya selamat tiba di Batam setelah melewati kengerian perang saudara di Sudan

Mereka berbagi kisah tentang betapa mengerikannya kondisi di Sudan, terutama karena tempat tinggal mereka yang berdekatan dengan markas pemberontak telah hancur akibat serangan mortir.

Baca juga: SFA Menepis Klaim "Tidak Akurat" Indonesia tentang Singapura Siap Impor Karkas Babi

Awalnya, Fikri dan Abdurrahman merasakan keputusasaan melihat situasi yang mencekam di Sudan. Mereka bahkan tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan dievakuasi oleh Pemerintah Indonesia. 

Fikri, yang merupakan mahasiswa di Gabra Scientific Collage, menceritakan bagaimana pada tanggal 15 April 2023, dia mendengar suara ledakan ketika ia sedang mengurus masjid di Kota Khartoum. Namun, awalnya dia menganggap itu hanya demonstrasi sipil biasa.

"Saya pikir itu hanya demonstrasi masyarakat di pusat kota. Tetapi suara ledakan dan tembakan semakin sering terdengar. Saya naik ke menara masjid untuk melihat asal suara ledakan, dan ternyata itu adalah suara saling tembak. Ketika saya memeriksa grup WhatsApp, saya baru menyadari bahwa terjadi perang saudara," ujar Fikri saat ditemui di kediamannya, Sabtu (6/5/2023).

Baca juga: Jembatan Kayu Gadang Penghubung Lubuk Alung - Sikabu Ambruk di Padang Pariaman, Bupati Suhatribur Lakukan Langkah Tindak Lanjut

Fikri mengatakan bahwa rekan-rekannya yang mengetahui konflik tersebut segera mengungsi ke tempat yang lebih aman, tetapi Fikri memilih untuk tetap tinggal di daerah Arked, Kota Khartoum, karena ia berpikir itu hanya bentrokan biasa dan akan segera berakhir. 

Masyarakat sekitar juga tetap bersikap baik terhadap mereka, sehingga mereka tidak terlalu khawatir.

Namun, setelah Idul Fitri, Fikri akhirnya memutuskan untuk mengungsi. Tempat tinggalnya yang berdekatan dengan masjid rusak akibat serangan mortir. 

"Saat itu, setelah salat Idul Fitri sekitar pukul 10 pagi, saya berencana pergi ke rumah warga sekitar untuk mengecas handphone karena sudah hampir 12 hari listrik di daerah saya mati. Saya berencana pulang jam 12 siang. Tetapi pada pukul 11.30, saya mendapatkan informasi bahwa tempat tinggal saya hancur akibat serangan mortir," cerita Fikri.

Beginilah penampakan rumah Fikri yang hancur kena rudal dalam perang saudara di Sudan (dok pribadi)

"Dengan rasa syukur, Allah masih menyayangi saya. Saya diselamatkan dari kejadian itu. Saya akhirnya memilih untuk mengungsi ke tempat warga di dekat tempat tinggal saya yang tidak terlalu jauh," tambahnya.

Fikri menceritakan betapa seringnya mereka mendengar suara ledakan selama perang saudara di Sudan. Ia bahkan pernah mengalami kejadian di mana peluru nyasar mengenai lemari pakaiannya, sehingga pintu lemari tersebut berlubang. 

Baca juga: Prakiraan Cuaca Perairan Batam: Hujan Ringan dan Angin dari Selatan - Barat Daya

Aliran listrik juga terputus akibat konflik tersebut, namun beruntung jaringan internet masih dapat digunakan, sehingga mereka bisa tetap berkomunikasi dengan keluarga dan abangnya, Abdurahman.

"Alhamdulillah, internet masih tetap aktif. Saya dapat berkomunikasi dengan lancar dengan keluarga dan abang saya yang juga berada di Sudan. Ketika orang tua mendengar bahwa tempat tinggal kami hancur, mereka sangat khawatir, tetapi pada saat yang sama bersyukur karena kami selamat," ucap Fikri.

Baca juga: Timnas U-22 Indonesia Mengalahkan Timor Leste 3-0, Fajar Fathur Rahman Bersinar Kembali sebagai Bintang

Abdurrahman, kakak Fikri, menambahkan bahwa asrama tempat tinggal mereka di daerah Maududi, Khartoum, Sudan berada dekat dengan markas pemberontak. Jarak antara asrama mereka dan markas pemberontak hanya sekitar 100-200 meter dengan dipisahkan oleh jalan raya.

"Asrama kami berdekatan dengan markas pemberontak. Kami sering mendengar suara tembakan. Di asrama, kami bersama dengan sekitar 70 mahasiswa Indonesia lainnya," ungkap mahasiswa International University of Africa (IUA) itu.

Kedekatan mereka dengan markas pemberontak membuat Abdurrahman dan rekan-rekannya menghadapi kekurangan bahan pangan dan air. Mereka harus berjuang keras untuk mendapatkan makanan.

"Kami menghadapi kesulitan dalam mencari makanan dan minuman saat waktu sahur dan berbuka. Meskipun banyak toko yang tutup, Alhamdulillah kami tidak sampai mengalami kelaparan," kata Abdurrahman seperti diceritakannya ke detik.

Baca juga: Tragedi Bus Terjun ke Sungai di Guci, Tegal: Satu Korban Meninggal, Banyak Luka Ringan

Salah satu momen yang tak dapat dilupakan adalah ketika mereka di evakuasi ke kantor Persatuan Pelajar Indonesia (PPI).

"Proses evakuasi dari asrama ke kantor PPI cukup sulit karena lokasinya berdekatan dengan markas pemberontak. Meskipun kami disediakan dua bus untuk menjemput, tetapi bus tersebut ditahan sehingga hanya satu bus yang dapat menjemput kami, dan proses evakuasi harus dilakukan dua kali bolak-balik. Ini cukup dramatis karena saat bus kembali menjemput saya dan teman-teman lainnya, kami sempat ditolak, namun akhirnya diizinkan sehingga kami berhasil di evakuasi," cerita Abdurrahman.

Abdurrahman mengaku bahwa selama pecahnya perang saudara di Sudan, dia tidak dapat mengunjungi adiknya, Fikri. Kakak beradik asal Batam ini akhirnya bisa bertemu saat mereka dievakuasi oleh pemerintah Indonesia dan tiba di Jakarta.

Baca juga: Kejaksaan Negeri Batam Dalami Dugaan Korupsi SIMRS BP Batam Tahun 2020

"Alhamdulillah, saya dan adik saya serta WNI lainnya di Sudan dapat pulang dengan selamat ke Indonesia. Saat ini, kami sedang menunggu kepastian mengenai kelanjutan pendidikan kami setelah konflik di Sudan. Kami berharap ada solusi terbaik agar kami dapat melanjutkan pendidikan," ungkap Abdurrahman.

Saat ini, Abdurrahman dan Fikri menghabiskan waktu mereka dengan membantu orang tua mereka mengajar mengaji di rumah mereka yang terletak di kelurahan Batu Merah, Batu Ampar. Mereka berharap agar perang di Sudan segera berakhir dan situasi di sana stabil kembali.

Kedua kakak beradik ini berharap agar keadaan di Sudan dapat membaik dan perdamaian dapat terwujud sehingga mereka bisa melanjutkan pendidikan dan masa depan mereka dengan tenang. Mereka juga berterima kasih kepada pemerintah Indonesia atas upaya evakuasi dan bantuan yang telah diberikan kepada mereka dan WNI lainnya di Sudan.

Kisah dua kakak beradik asal Batam ini memberikan gambaran tentang keberanian, keteguhan, dan harapan di tengah situasi konflik yang sulit. Mereka merupakan contoh inspiratif bagi banyak orang yang mengalami kesulitan dan bencana, bahwa dengan tekad dan keyakinan, kita dapat melalui masa-masa sulit dan menjaga semangat untuk meraih masa depan yang lebih baik.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews