Menanti Asa Negara Ketiga

Menanti Asa Negara Ketiga

Aksi damai para pengungsi Afghanistan di Batam. Hal ini sudah menjadi pemandangan lumrah di Kota Batam. (Foto. Batamnews)

ORASI-ORASI sejumlah orang berompi biru itu kerap mencuri perhatian warga Kota Batam. Hanya saja, pemandangan itu lama-kelamaan lumrah. Tak ada yang aneh, mereka seakan sudah terbiasa menyaksikan aksi berjalan kaki dan unjuk rasa para pengungsi Afghanistan tersebut.

Kadang warga juga kasihan melihat nasib para pengungsi yang terkatung-katung. Mereka hanya menanti dalam ketidakpastian.

"Sudah biasa (lihat demo pengungsi). Kita nggak tahu juga sampai kapan mereka di sini. Nggak mungkin para pengungsi ini diusir. Paling pemerintah hanya membantu makan dan sebagainya," ucap Yeni, seorang warga Batam.

Resettlement, hanya itu tujuan mereka. Yup, tak ada lagi tujuannya selain ditempatkan ke negara ke tiga dari pengungsiannya. Kondisi politik dan keamanan di negara mereka yang tak stabil membuat mereka hengkang dan mencari kehidupan di bagian bumi lain.

Indonesia adalah negara transit bagi mereka. Tak mudah juga bagi mereka untuk mendapat kewarganegaraan Republik Indonesia. Di sini cerita suram itu belangsung. Hengkang dari negara mereka merupakan awal kisah. Namun cerita itu belum berujung dalam penantian panjang di negara transit. Batam menjadi salah satu kota di mana para pengungsi ini ditampung.

Unjuk rasa pengungsi Afghanistan di Kota Batam. (dok. Batamnews)

Batamnews sempat berbincang dengan perwakilan International of Migration (IOM) Indonesia Josephine Imelda dari Unit Media dan Komunikasi pada Juni 2022 lalu. 

IOM sendiri diketahui sebagai Badan PBB untuk Migrasi, bekerja sama bersama Pemerintah Indonesia. IOM berperan dan berkontribusi untuk perlindungan para migran. 

"IOM menerapkan pendekatan berbasis hak, yang menekankan pada peningkatan martabat pengungsi dan pencari suaka, kesejahteraan, dan menghormati hak-hak mereka," ucapnya.

Bahkan sejumlah anak-anak pengungsi dengan beberapa syarat dan rekomendasi juga diberikan bantuan bisa bersekolah di Batam. Hal ini dengan berkoordinasi dengan pemerintah dan Dinas Pendidikan di Batam. "Tergantung anak pengungsinya. Kadang ada yang mau (sekolah) ada yang enggak," ucapnya.

Hanya saja kendalanya, mereka tidak akan bisa mendapatkan ijazah, melainkan hanya mendapatkan sertifikat berupa keterangan pernah menjalani pendidikan. Hal ini kadang yang membuat mereka enggan menyekolahkan anak-anaknya.

"Kita tak tahu kapan restlement itu dilakukan. Tergantung negara tujuan mereka. Namun kami dari IOM mencoba untuk membantu pemenuhan hak-hak mereka," ucapnya

Depresi

Para pengungsi Afghanistan di Batam dalam sebuah aksi demo tampak putus asa menanti kepastian. 

Dalam sebuah aksi damai di depan Gedung DPRD Batam belum lama ini, salah seorang pengungsi, Ali Akbar (24) berharap dapat bantuan proses kepindahan mereka ke negara tujuan.

“Kami sudah pusing-pusing di sini nggak bisa makan, orang-orang bisa makan pagi, siang, malam, sedangkan kami harus makan obat penghilang pusing,” katanya.

“Masalahnya di sini kami tidak ada kerja. Jadi kami minta sama imigrasi dan UNHCR bantu kita untuk pindah dari sini,” tambahnya lagi.

Ali mengaku depresi. Nasibnya tak tentu. Keinginannya untuk ditempatkan di negara tujuan tidak jelas.

Ia dan para pengungsi Afghanistan lainnya mengaku sudah tak kuat tinggal di Kota Batam. Statusnya sebagai pengungsi membuatnya serba terjepit. Tak ada uang dan pekerjaan.

Saking tidak tahu lagi akan mengadu kemana, Kantor DPRD Batam pun menjadi sasaran. Mereka juga tahu DPRD Batam merupakan kantor perwakilan rakyat. Setidaknya upaya mereka bisa mendapat empati.

Ali mengaku, ia bereserta istri dan dua orang anaknya hanya bisa pasrah menanti nasib.

Ia hanya berteriak dengan bahasanya sambil mengangkat kedua tangannya dan setelah itu tertunduk sambil menangis. Ali mengaku sudah sangat depresi tinggal di Indonesia. Uang santunan yang diterimanya dari UNHCR tidak cukup untuk menghidupi keluarganya.

“Saya tidak makan, saya hanya minum obat. Itu membuat saya gila,” ujarnya.

Dia juga bercerita bagaimana kesehariannya bersama keluarganya. Ia mulai tertekan dan tak sadar sering memukul istri dan anaknya. Ucap pria itu dalam bahasa Inggris.

Para anggota dewan yang menemui yang menemui mereka hanya bisa menjanjikan akan menyurati UNHCR untuk dicarikan solusi. Tak banyak memang yang bisa dilakukan terkait hal ini.

 

Masalah sosial di Batam

Warga yang tergabung dalam AMPB Batam mendatangi hotel tempat pengungsian imigran Afghanistan, Rabu (2/3/2022) (Foto: Batamnews) 

Pada awal Maret 2022 lalu, sejumlah masa mendatangi tempat pengungsian para Imigran yang berada di Hotel Kolekta Batam.

Sekelompok massa tersebut merupakan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Bangsa (AMPB) Batam.

Tujuan mereka mendatangi tempat penampungan tersebut untuk menemui perwakilan dari pengungsi Afganistan tersebut.

"Kita mau menemukan perwakilan pengungsian Afganistan dan menyampaikan agar tidak melakukan demo dengan cara turun ke jalan di Kota Batam," ujar Koordinator AMPB Batam, Arba Udin, Rabu (2/3/2022).

Menurutnya, aksi yang dilakukan oleh para pengungsi imigran membuat resah masyarakat Kota Batam. Mereka rutin melakukan aksi unjuk rasa dengan cara turun ke jalan dan juga memblokade salah satu perumahan mewah di Batam.

Selain itu, pihaknya juga mengusulkan kepada pemerintah agar tempat penampungan bagi para imigran tersebut dipindahkan ke pulau yang berada di luar Kota Batam. "Kami menilai para pengungsi imigran ini sudah sangat meresahkan," bebernya.

Unjuk rasa pengungsi Afghanistan di Kantor DPRD Batam. (Dok. Batamnews)

Harapannya, pemerintah dapat merelokasi pengungsi ketempat yang semestinya yakni Community House khusus pengungsi. Pasalnya, Hotel Kolekta dan Sekupang yang saat ini mereka tempat bukan peruntukan pengungsi.

"Kami mengusulkan tempat kalau bisa seperti Camp Vietnam, disitu juga mudah untuk diawasi," imbuhnya.

Sementara itu, pada point terpenting dalam pertemuan tersebut yaitu meminta kepada UNHCR untuk segera bertindak dan jangan hanya diam dengan keadaan.

"Kesimpulannya kami meminta Pemko Batam untuk mengambil tindakan yang tegas terhadap para pengungsi, jika permohonan ini tak diindahkan maka kami berjanji akan melakukan hal seperti ini lagi dengan massa yang lebih banyak dari ini," tegasnya.

Dalam pertemuan tersebut, para pengungsi juga memberikan tanggapan bahwa pihaknya tidak mau membuat rusuh. Hanya saja mereka meminta agar polisi menyampaikan kepada UNHCR agar proses Resettlement dapat cepat di proses.

Apa yang terjadi di Batam, mungkin juga sama halnya terjadi di daerah lainnya di Indonesia. Selama bertahun-tahun tinggal sementara di Indonesia, tentunya tak jarang para pengungsi merasa stres. Bahkan, beberapa di antaranya memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

 

Kepala Badan Kesbangpol Kota Batam, Riama Manurung mengatakan Per November 2021, jumlah pengungsi (refugees) di Kota Batam mencapai 484 orang, dimana 345 orang diantaranya merupakan pengungsi asal Afghanistan.

"Sebagai refugees yang mayoritas, refugees Afghanistan cenderung berani untuk mengganggu Kamtibmas di Kota Batam dengan dalih menuntut percepatan resettlement," ucapnya.

Dijelaskannya, berdasarkan Perpres 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, Pemerintah Kota Batam berperan dalam penempatan pengungsi yakni menentukan tempat penampungan bagi pengungsi (pasal 26 ayat 1) dengan kriteria diantaranya dekat dengan fasilitas kesehatan dan ibadah, berada pada satu wilayah kab/kota dengan rudenim, serta kondisi keamanan yang mendukung.

Dalam perpres tersebut juga diatur kewajiban para refugees seperti mematuhi tata tertib di tempat penampungan, mematuhi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat setempat, dan ketentuan lainnya. 

 

Sumber: Bakesbangpol Kota Batam

Namun pada realitanya, pengungsi asal Afghanistan menurutnya kerap tidak mematuhi berbagai aturan tersebut meski sudah dilakukan berbagai tindakan preventif dan represif terhadap mereka.

Riama menambahkan bawasannya Pemerintah Kota Batam telah membentuk Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri atas dasar SK Walikota Batam No. KPTS.258/HK/II/2021.

"Tugas diantaranya melakukan pengawasan keimigrasian terhadap pengungsi, melakukan tindakan pengamanan bagi pengungsi yang melanggar tata tertib dan peraturan yang berlaku, menindaklanjuti laporan masyarakat, melaksanakan sosialisasi, dan mengevaluasi pemenuhan kebutuhan pengungsi," paparnya.

Pengungsi ketergantungan dengan lembaga bantuan

Perwakilan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Melisa Sidabutar mengatakan, sesuai dengan SOP dari UNHCR Pusat, bahwa UNHCR yang berada di setiap cabang/kewilayahan Kota tidak diijinkan untuk menemui Pengungsi di lokasi Demo, namun kami dapat melakukan Pertemuan dengan beberapa perwakilan pengungsi terkait dengan tuntutan resettlement.

Sementara itu, pihak IOM Tanjung Pinang, Anastasia Wijayanti menjelaskan Kondisi pengungsi di Indonesia saat ini ialah menunggu dan menjalani proses verifikasi untuk resettlement

Aksi unjuk rasa pengungsi Afghanistan di depan gedung Pemko Batam. (@batamnewsonline)

Namun sebagian besar mereka telah menunggu bertahun-tahun dengan situasi ketidakpastian yang sangat panjang, dimana sekitar 42 % pengungsi telah berada di Indonesia selama 7-8 tahun sehingga menimbulkan frustasi dan stress.

Menurutnya pengungsi juga tidak bisa mengakses hak-hak dasarnya seperti bekerja, menerima pendidikan secara penuh ataupun berkarya. Kondisi tersebut menyebabkan para pengungsi ketergantungan dengan lembaga yang bisa memberikan bantuan.

Terlebih lagi, pengungsi memiliki tantangan dikarenakan tidak ada status hukum sehingga kesulitan mengakses kebutuhan akan perlindungan. "Pandemi Covid-19 semakin menambah kerentanan pengungsi yakni sulitnya mengakses fasilitas kesehatan," terang Melisa.

"Hal ini disebabkan keterbatasan bahasa, deprioritas dalam pelayanan kesehatan, terbatasnya akses kesehatan untuk kondisi medis yang kronis dan mengalami gangguan jiwa, dan keengganan untuk mencari layanan kesehatan dikarenakan takut akan stigma dari masyarakat," tambahnya.

17 pengungsi dirujuk karena percobaan bunuh diri

Sejak Januari 2020 hingga Oktober 2022, total ada 414 pengungsi di Batam yang mendapat perawatan psikiatri. Terdapat peningkatan sebesar 27 % jumlah pengungsi yang dirujuk untuk perawatan psikiatri pada tahun 2021, dibandingkan dengan rujukan ke psikiater pada 2020. Di tahun 2021, terdapat 17 pengungsi yang dirujuk dikarenakan percobaan bunuh diri.

Situasi Kamtibmas terganggu

Briptu Octo Imaddudin (Anggota Subnit POA Satintelkam Polresta Barelang) menambahkan Situasi Kamtibmas Kota Batam cukup terganggu dengan adanya unjuk rasa yang kerap dilakukan pengungsi dari Afghanistan setiap minggunya.

Hal tersebut mendapatkan kecaman dan penolakan keras dari Aliansi Masyarakat Peduli Batam (AMPB) yang dikoordinatori oleh Arba Udin dengan melaksanakan Aksi tandingan di depan Kantor Walikota & Kantor DPRD, dengan tuntutan meminta Pemkot Batam dalam hal ini Kesbangpol Batam untuk merelokasi tempat pengungsian dipindahkan ke sebuah pulau.

Pihak kepolisian menindak tegas para Pengungsi yang melakukan perbuatan tindak pidana sesuai dengan Hukum yang berlaku di Indonesia, dan sejauh ini pihaknya telah melakukan penindakan kepada pengungsi yang melakukan pelanggaran seperti membawa sepeda motor yang melanggar Aturan UU. No. 29  Tahun 2009 tentang Lalu Lintas  dan Angkutan Jalan (Tidak memiliki Drive License / SIM) dan melanggar Tata Tertib Rudenim.

Selain itu dikatakan Octo, pihak Kepolisian juga tidak pernah memberikan izin terkait pelaksanaan unjuk rasa yang dilakukan oleh Pengungsi Afghanistan.

Oleh sebab itu, pihaknya meminta Satgas PPLN dengan leading sector Kesbangpol Kota Batam untuk dapat mengambil langkah tegas dan terukur apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan para pengungsi seperti unjuk rasa yang dilakukan setiap minggu.

Ia juga menambahkan, terdapat aduan masyarakat bahwa telah ditemukan salah satu Pengungsi Afghanistan yang berasal dari Rudenim AND Sekupang, bernama Ahmad Afzali yang melakukan pelanggaran berupa berjualan di sebuah warung di Pantai Tanjung Pinggir Sekupang, Kota Batam.

"Saat itu kami meminta personel Rudenim Sekupang untuk melakukan pengawasan lebih ketat dan memberlakukan sanksi terhadap yang bersangkutan sesuai tata tertib rudenim," ucapnya.

Menata Kembali Hidup dan Berkumpul dengan Keluarga

Salah satu pengungsi diwawancari Batamnews beberapa waktu lalu Ali Syafii (24), menyampaikan harapan. 

Mereka hanya ingin segera bisa dipindahkan ke negara ketiga, agar dapat menata kembali kehidupan mereka yang sempat hilang karena hidup dalam ketidakpastian. “Mungkin kelihatannya kami baik-baik saja, tapi sebenarnya otak kami sakit,” ucapnya.

Baginya, yang paling penting bisa dipindahkan ke negara ketiga. Apalagi sudah 8 tahun lebih waktu yang dihabiskannya hanya untuk makan dan tidur. “Saya juga ingin bekerja, tapi untuk bekerja harus punya dokumen,” kata Fareso pengungsi lainnya.

Saat ini untuk bertahan hidup, para pengungsi hanya mengandalkan uang saku dari International Organization for Migration (IOM) sebesar Rp 1.250.000 per bulan. “Kami tidak boleh bekerja, jadi hanya bisa pakai uang dari IOM,” ujar Fareso.

Dengan uang tersebut, ia harus cukup berhemat. Kebutuhan makan dilakukannya dengan memasak sendiri dan membeli bahan bakunya di pasar.

Pencari suaka lainnya, Jhon yang sempat melakukan aksi di Badhra Resort Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri mengaku rindu dengan anak dan istrinya di Afghanistan. "Anak saya masih kecil, cantik. Saya ingin berkumpul dengan keluarga saya," ucapnya.

Negara ketiga

Dalam penantian tak berujung, mereka terus menanti asa untuk hidup layak di negara ketiga. Negara ketiga yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan New Zealand.

Namun bertahun-tahun menanti,tak semua negara yang mau mengadopsi imigran. Banyak yang harus mengubur cita-cita dalam-dalam.

Indonesia bukan lah negara tujuan para pengungsi untuk hidup menetap dan bekerja. Para pengungsi tidak boleh bekerja di Indonesia. Apalagi Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi 31 Januari 1967.

Mereka umumnya ingin pergi ke negara yang secara sah menerima mereka, yakni negara-negara yang meratifikasi Konvensi dan Protokol mengenai pengungsi tersebut.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews