Dilarang Xi Jinping, Trader Kripto Malah Makin Menjamur di China

Dilarang Xi Jinping, Trader Kripto Malah Makin Menjamur di China

Ilustrasi.

Beijing, Batamnews - Investor Bitcoin dan kripto lainnya masih terus berkembang di China meski dalam 4 tahun terakhir terus ditekan pemerintahan Xi Jinping.

Mengutip laporan CNBC International, menurut Matthew Graham, CEO Sino Global Capital, sebuah perusahaan modal ventura yang berbasis di Beijing yang berfokus pada teknologi blockchain, kabar ciutnya para investor Bitcoin merupakan sesuatu yang dilebih-lebihkan.

Padahal faktanya tidak gentar para 'pemain' kripto dengan larangan pemerintahan di bawah Presiden Xi Jinping.

"Pengaruh memudar dari pedagang Bitcoin China adalah cerita yang dilebih-lebihkan," kata Graham kepada CNBC.

"Faktanya adalah bahwa pedagang China masih memiliki pengaruh yang sangat besar."

Baca: Dikeroyok Biden dan Xi Jinping, Bitcoin Dkk Sepekan Tumbang!

Sentimen China dalam Bitcoin kembali menjadi sorotan pada pekan lalu setelah pihak berwenang menegaskan kembali bahwa lembaga keuangan tidak boleh terlibat dalam bisnis cryptocurrency seperti perdagangan atau membantu menukar fiat (mata uang kertas) menjadi koin digital.

Namun ini bukanlah hal baru. Pada 2017, China juga menutup pertukaran mata uang kripto lokal dan melarang apa yang disebut penawaran koin awal (ICO), cara untuk mengumpulkan uang bagi perusahaan kripto dengan menerbitkan token digital. ICO atau Initial Coin Offering (ICO) semacam IPO (initial public offering) di pasar saham.

Tetap saja larangan ini tidak menyurutkan antusiasme warga China dalam membeli mata uang kripto ini. Cara mereka untuk keluar dari larangan ini adalah dengan menggunakan platform perdagangan crypto-to-crypto seperti membeli Bitcoin dengan stablecoin yang terhubung dengan dolar AS yang disebut tether (USDT).

Beberapa platform menawarkan layanan konversi renminbi (yuan) ke USDT yang memungkinkan pengguna China mendapatkan kripto yang diperlukan untuk membeli Bitcoin.

"Setelah seseorang membeli Bitcoin, mereka kemudian dapat menyimpannya di bursa luar negeri yang memungkinkan perdagangan crypto ke crypto," kata Constantine Tsavliris, kepala penelitian di CryptoCompare.

Pada awal September 2009, ketika China memerintahkan pertukaran mata uang kripto lokal untuk ditutup, Bitcoin diperdagangkan dengan harga lebih dari US$ 4.000 (Rp 57 juta). Pada hari Selasa lalu (25/5/2021), harganya lebih dari US$ 38.000 (Rp 544 juta, kurs Rp 14.300/US$), menurut data CoinDesk.

Dengan adanya platform seperti ini, beberapa analis menilai bahwa hari ini ada lebih banyak trader dan investor kripto.

"Saya pikir ada lebih banyak pedagang (sekarang). Bitcoin telah mendapatkan urutan besarnya harga," kata Bobby Lee, mantan CEO salah satu bursa cryptocurrency paling awal di China, BTCC, mengatakan kepada CNBC.

"Saat ini, semakin banyak orang menggunakan mata uang stabil seperti USDT," kata Lee, yang juga merupakan pendiri dompet cryptocurrency Ballet.

"Artinya mereka tidak lagi harus berurusan dengan transfer Renminbi (mata uang China), itu pindah ke masyarakat melalui pembayaran USDT untuk masuk dan keluar dari Bitcoin. Ini menjadi mata uang bawah tanah."


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews