Kala Macron Mencoba Meredam Ketegangan dengan Islam

Kala Macron Mencoba Meredam Ketegangan dengan Islam

Ilustrasi. Di tengah ketegangan yang semakin meningkat, Presiden Prancis Emmanuel Macron mencoba meredam situasi dengan pernyataan bernada lembut. (AP/Sebastian Scheiner)

Paris - Nama Presiden Prancis Emmanuel Macron tengah menjadi sorotan. Sejumlah pernyataannya yang dinilai menghina Islam menuai kecaman dari berbagai penjuru dunia. Namun, dalam kesempatan terbaru, Macron mencoba untuk meredam ketegangannya dengan umat Muslim.

Tak seperti sebelumnya, di mana berbagai pernyataannya selalu terkesan ofensif, kali ini Macron mengeluarkan pernyataan normatif, berupaya menjelaskan maksud dari ucapan-ucapan sebelumnya.

"Saya bisa mengerti bahwa orang bisa dikejutkan oleh karikatur itu, tetapi saya tidak akan pernah menerima bahwa kekerasan bisa dibenarkan. Saya memahami perasaan yang muncul, saya menghormati mereka," kata Macron, dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, mengutip AFP.

Namun, Macron mengklaim, apa yang dilakukannya saat ini hanya-lah dalam rangka menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin. "Peran saya adalah menenangkan segalanya. Tapi, di saat yang sama, saya juga melindungi hak-hak orang lain."

Macron juga mengatakan akan selalu mendukung kebebasan untuk berbicara, menulis, dan berpikir di negaranya.

Sebelumnya, sejumlah kelompok dan negara-negara Islam di dunia bersitegang dengan Macron akibat pernyataan ofensifnya. Pernyataan itu dimulai dari pengumuman majalah satire Prancis, Charlie Hebdo, yang bakal menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad, untuk memperingati penyerangan terhadap kantornya pada Januari 2015.

Menanggapi hal tersebut, Macron justru mengatakan akan tetap mempertahankan kebebasan berpendapat, termasuk melalui medium karikatur. Dia mengaku tak berhak mencampuri keputusan redaksi media dalam penerbitan tersebut.

"Saya pikir, sebagai Presiden Prancis, saya tidak boleh menilai keputusan editorial, karena ada kebebasan pers yang melekat," ujar Macron pada awal September lalu.

Lebih jauh, Macron justru berbicara mengenai kebebasan berpendapat di negaranya. Dia mengaku akan melindungi segala bentuk kebebasan tersebut. "Jadi, bukan wewenang saya menilai keputusan para jurnalis itu," kata dia.

Pernyataan ofensif Macron selanjutnya muncul pada awal Oktober lalu. Dia mengklaim ada kelompok radikal Islam yang ingin menentang hukum di negaranya.

"Ada kelompok radikal Islam, sebuah organisasi yang mempunyai metode untuk menentang hukum Republik dan menciptakan masyarakat secara paralel untuk membangun nilai-nilai yang lain," ujar Macron.

Terakhir, pada Jumat (23/10) lalu, Macron mengatakan bahwa Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia, sehingga ingin menguasai masa depan mereka.

Pernyataan ini ia keluarkan pasca-insiden pemenggalan guru sejarah, Samuel Paty, oleh Abdoullakh Abouyezidovitch yang berusia 18 tahun. Insiden dipicu lantaran Paty membahas kartun Nabi Muhammad di kelas bersama murid-muridnya.

Macron menganggap Paty adalah martir yang mengusung kebebasan berpendapat dan pelaku adalah seorang radikal Muslim. Ia pun menindaklanjuti insiden ini dengan perintah pengawasan terhadap ormas Islam Prancis dan menutup sejumlah masjid yang mencurigakan.

"Sekularisme adalah pengikat persatuan Prancis. Jangan biarkan kita masuk ke dalam perangkap yang disiapkan oleh kelompok ekstremis, yang bertujuan melakukan stigmatisasi terhadap seluruh Muslim," ujar Macron.

Sebagai seorang liberal, dalam memimpin Prancis, Macron berusaha mempertahankan nilai-nilai sekuler di negaranya. Namun, di masa pemerintahannya, justru gesekan antara kelompok sekuler dan Islam semakin sering terjadi.

Pernyatan Macron berdampak panjang, salah satunya muncul ajakan memboikot produk Prancis mulai terjadi di kawasan Arab dan Timur Tengah. Kuwait menjadi salah satu negara awal yang memboikot produk Prancis.

Puluhan toko di Kuwait membuktikan pemboikotan dengan mengunggah foto di media sosial yang memperlihatkan sejumlah pekerja mengeluarkan keju olahan Prancis dari rak. Hal serupa juga terjadi pada sejumlah pasar swalayan di Doha, Qatar.

Namun, berbagai kecaman dan aksi boikot itu belum juga membuat Macron 'tiarap'. Ia malah menuduh ajakan memboikot produk Prancis didukung oleh Presiden Tuki Recep Tayyip Erdogan.

Pernyataan Macron justru membuat hubungannya dengan Muslim di seluruh dunia semakin tajam dan menyebabkan konflik di Paris. Pada Kamis (29/10), sebuah penyerangan terjadi di sekitar Gereja Notre Dame Basilica, Nice, Prancis. Ibrahim Aouissaoiui (21) melakukan penyerangan terhadap tiga warga Prancis dengan sebilah pisau.

Teranyar, seorang pendeta Ortodoks Yunani, Nikolaos Kakavelaki (52), mengalami luka-luka setelah ditembak penyerang misterius di kota Lyon, Prancis. Ia diserang saat menutup gerejanya pada Sabtu (31/10).


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews