Pilot Helikopter Bubarkan Demo Mahasiswa Diperiksa Propam

Pilot Helikopter Bubarkan Demo Mahasiswa Diperiksa Propam

Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggunakan helikopter untuk membubarkan ratusan pendemo yang memperingati satu tahun meninggalnya mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi. Aksi demonstrasi oleh ratusan mahasiswa itu terjadi di perempatan Markas Polda, Sabtu (26/9/2020). (Foto: Zonasultra.com)

Kendari - Tim Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) memeriksa pilot dan kru helikopter yang terbang rendah untuk membubarkan demonstrasi mahasiswa. Polda juga menyatakan Kapolda Sultra Irjen Yan Sultra Indrajaya tidak pernah memerintahkan pilot untuk terbang rendah membubarkan massa.

"Tidak ada perintah dari Kapolda, saat ini yang bersangkutan (Pilot) sedang diklarifikasi oleh Propam," kata Kabid Humas Polda Sultra AKBP Ferry Walintukan melalui pesan singkat, Senin (28/9/2020).

Helikopter milik polisi terbang rendah saat sejumlah mahasiswa menggelar aksi mengenang setahun tewasnya immawan Randi (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19), Sabtu (26/9).

Angin kencang dari baling-baling helikopter seketika membubarkan massa. Ban bekas yang dibakar turut padam. Massa aksi, sejumlah jurnalis dan aparat yang berada di lokasi langsung berhamburan menghindari debu dan angin dari Helikopter.

Kepala Bidang Propam Polda Sultra Komisaris Besar Polisi Bambang Satriawan mengatakan saat ini pilot dan kru masih menjalani pemeriksaan.

"Masih dilakukan klarifikasi, pilot dan kru. Anggota masih melakukan pemeriksaan nanti hasilnya kita sampaikan melalui humas," kata Bambang kepada CNNIndonesia.com.

Penggunaan helikopter untuk membubarkan massa menuai kritikan. Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tenggara (Sultra) menilai upaya Polda Sultra membubarkan unjuk rasa menggunakan helikopter melanggar Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara.

 

Kepala Perwakilan Ombudsman Sultra Mastri Susilo, mengatakan Ombudsman berencana meminta klarifikasi kepada Kapolda Sultra Irjen Pol Yan Sultra Indrayanto.

 "Termasuk penanggung jawab lapangan saat pengendalian masa unjuk rasa 26 September 2020," katanya.
 
Perkap No. 2 Tahun 2019 itu memuat sejumlah prosedur penanganan aksi massa. Misalnya, saat situasi kuning atau merah, satuan Dalmas dan Brimob PHH akan dikerahkan.
 
Cara bertindak, di antaranya, dilakukan dengan pendorongan massa, penyemprotan air dengan menggunakan water canon, penembakan gas air mata, pemadaman api bila terjadi pembakaran, penangkapan provokator, pemasangan kawat barier.
 
Sementara itu, Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Sultra Hidayatullah berpendapat penggunaan helikopter untuk membubarkan massa merupakan bentuk tindakan represif aparat terhadap demonstran.
 
Hidayatullah menyebut, berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006, tentang pedoman pengendalian massa, setiap anggota harus mematuhi aturan tersebut saat mengendalikan massa dalam demonstrasi.

"Dalam kondisi apapun, protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa," katanya.

 

Protap, kata dia, juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.

"Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan kemanusiaan, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang apalagi memukul dan menyeret bagaikan hewan," kata Hidayatullah.

Banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan aparat terhadap pengunjuk rasa, kata Hidayatullah, mendorong perlunya reformasi menyeluruh di tubuh institusi Polri.

"Cara aparat over action dan represif itu sepertinya kondisi Polri saat ini masih belum siap untuk bertransformasi menjadi polisi sipil. Selain itu, jika berbuat kesalahan terkadang polisi juga tidak mau disalahkan. Bahkan pola-pola otoriter masih terbawa di mental Polri kita," jelasnya.

Menurut dia, polisi sipil harus siap melayani masyarakat dan melepaskan atribut militer mereka. Dalam demonstrasi kasus tewasnya Randi dan Yusuf, polisi harus melihat substansi keadilan tuntutan publik.

"Semakin aparat bertindak represif, militansi para mahasiswa pasti semakin kuat. Karena itu, harus mengubah prosedurnya ketika menghadapi pendemo ataupun mahasiswa pada aksi itu," tuturnya.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews