BIN: Puncak Penyebaran Corona Diperkirakan di Bulan Puasa

BIN: Puncak Penyebaran Corona Diperkirakan di Bulan Puasa

Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)

Jakarta - Badan Intelijen Negara (BIN) memperkirakan puncak penyebaran Corona atau Covid-19 di Indonesia akan terjadi sekitar 60-80 hari sejak pengumuman kasus positif (2/3/2020) lalu.

Deputi Bidang Intelijen Teknologi BIN Mayjen TNI Afini Boer mengatakan perkiraan itu berdasarkan simulasi data yang dilakukan pihaknya.

"Dengan rumus matematika kita memperkirakan dengan variabel suspected infected dan recovery, model menunjukkan akan masuk masa puncak di 60 sampai 80 hari," kata dia, dalam diskusi yang diselenggarakan Partai Golkar bertema "Bersatu Melawan Corona", Jakarta, Jumat (13/3/2020).

Tentu diharapkan, prediksi tersebut dapat membantu pemerintah untuk membuat langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi penyebaran Covid-19. Juga upaya penanganan yang bakal diambil. 

"Tapi kalau langkah-langkah maksimal bisa tidak mencapai itu dan grafiknya tidak terlalu tinggi. Tentu kami berharap dengan model ini bisa membuat langkah-langkah antisipatif," jelas dia. 

Berdasarkan perhitungan tersebut, lanjut dia, puncak penyebaran Corona Covid-19 diperkirakan terjadi pada masa bulan Puasa. "Jadi kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan puasa, bulan puasa," ungkapnya.

Dia mengatakan, tantangan yang harus diperhatikan dalam penanganan Covid-19, yakni terkait adanya gejala asimtomatik. Asimtomatik berarti seseorang sebenarnya sudah terinfeksi hanya tidak menunjukkan gejala klinis. Dia bisa menyebarkan kepada orang lain.

"Kemudian ada suatu gejala lagi kita lihat super spreader. Jadi satu orang itu bisa menularkan pada banyak orang. Ini terjadi di Korea Selatan, di satu Gereja seorang wanita menyebarkan kepada banyak sekali orang. Kalau tadi penyebaran itu hanya bersifat klaster-klaster kecil, satu menginfeksi ribuan orang lainnya, ini ternyata bisa super spreader," papar Afini. 

Dia menambahkan, upaya penanganan pun sudah disiapkan. Ada dua upaya penanganan yang akan dilakukan. "Pertama, containment. Kita membatasi suatu wilayah. Dilakukan isolasi atau bisa bersifat self isolation (isolasi mandiri). Lalu ada contact tracing. Kemudian restriksi perjalanan," jelas dia.

"Kalau seandainya infeksi sudah menurun baru kita lakukan mitigasi. Mitigasi sehingga terjadi penurunan. Kombinasi pendekatan yang harus kita lakukan antara containment dan mitigasi. Containment dilakukan ketika yang terinfeksi masih sedikit. Kalau sudah diatasi baru kita lakukan mitigasi," imbuhnya.

Langkah-langkah tersebut sudah mulai dijalankan. Seperti deteksi di pintu-pintu masuk dan upaya deteksi suspect baru. "Meningkatkan layanan kesehatan, meningkatkan kapasitas laboratorium. Lalu masalah komunikasi. Upaya yang dilakukan pemerintah sudah cukup baik. Bahkan beberapa hari ini dilakukan upaya berlapis," terangnya. 

"Selanjutnya dari pihak kami sebagai bagian dari pemerintah sudah sosialisasi, edukasi, dan dekontaminasi dengan disinfeksi," lanjut Afini. 

Menanggapi prediksi tersebut, Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid menegaskan, Pemerintah harus sudah menyiapkan protokol tertentu. Mengingat tingginya intensitas kegiatan yang melibatkan massa pada bulan puasa.

"Dari BIN bahwa puncaknya kemungkinan akan terjadi di bulan puasa, kita tahu banyak sekali bahkan tiap hari salat tarawih akan dilakukan, apakah akan restriksi di masjid-masjid karena memang pertemuan di atas 100 dibatasi di beberapa negara. Protokol kita seperti apa. Harus sudah disiapkan dari sekarang," ungkapnya.

Sementara Direktur Eksekutif CSIS Philips J. Vermonte meminta pemerintah untuk menguatkan investasi di bidang riset. Dengan demikian, perhitungan dan hasil yang diperoleh bisa lebih baik.

"Tes yang dilakukan kalau nggak salah baru 800 sampel. Terlalu sedikit. Jangan-jangan kalau sampelnya sedikit, case-nya sedikit model statistik yang dibuat tadi 60-80 (hari) bisa meleset. Alhamdulillah kalau lebih pendek, kurang dari 60 hari. Jangan-jangan, karena sampel kita sedikit, kesimpulan kita jadi waktunya lebih pendek," ungkapnya.

Riset yang baik, kata dia, bisa menjadi salah satu alat yang dapat dipakai pemerintah untuk mengetahui situasi sebenarnya yang terjadi di di tengah masyarakat. 

"Biaya melakukan itu kalau tidak salah Rp 700.000. Jadi pemerintah kan bayar. Jadi pemerintah harus invest untuk bisa lakukan lebih banyak test sehingga kita lebih tahu kondisi sebenarnya di lapangan," tandasnya.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews