Indonesia Masuk Kategori Negara Maju Versi AS, Untung atau Rugi?

Indonesia Masuk Kategori Negara Maju Versi AS, Untung atau Rugi?

Kemisikinan di Indonesia. (Foto: ilustrasi)

Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengeluarkan China, India, Brasil, Afrika Selatan dan Indonesia dari daftar negara berkembang. Indonesia dianggap telah maju dalam perdagangan internasional. Namun, apakah gelar ini menjadi kabar baik dan patut dibanggakan?

Direktur sekaligus Ekonom Center of Reforms on Economic (CORE), Piter Abdullah menyatakan, status negara maju atau tidak sebenarnya tidak penting. Yang pasti, ada beberapa hal yang akan membuat Indonesia lebih sulit bersaing di pasar AS karena pencabutan ini.

"Sebutan itu tidak penting. AS juga tidak bermaksud menyanjung (memberi gelar negara maju), tapi lebih ke pencabutan General System of Preference (GSP) yang sebenarnya masih kita butuhkan," ujarnya, Senin (24/2/2020).

GSP adalah kebijakan pemberian potongan bea masuk impor. Ketika belum dicabut dari daftar negara berkembang, produk ekspor Indonesia masih dikenakan GSP sehingga saat barang masuk ke AS, harganya lebih kompetitif dan bisa bersaing.

Jika GSP dicabut, Indonesia akan dikenakan bea masuk impor dan pasti perjuangan bersaing di pasar AS akan semakin sulit, ditambah dengan kondisi ekspor Indonesia yang juga belum begitu kokoh. Malah bisa-bisa, ekspor Indonesia tertekan akan hal ini.

"Padahal, Amerika termasuk salah satu mitra dagang Indonesia sejak lama. Artinya (jika GSP dicabut), kondisi ekspor nasional yang selama ini sulit membaik akan semakin sulit," ujar Ekonom Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita kepada Liputan6.com.

 

Pendapatan per Kapita

Namun, dia menyatakan Indonesia sebenarnya bisa dikategorikan negara maju kalau dilihat dari pendapatan per kapita.

"Kalau patokannya income per kapita data terakhir, kita sudah bisa dianggap bukan negara berkembang lagi. Tapi angkanya juga sangat mendekati garis batas bawah, kira-kira USD 4 ribu per tahun kalau tidak salah," jelas Ronny.

Lanjut Ronny, pemerintah AS dinilai melakukan hal tersebut murni karena ingin meningkatkan pendapatan negara dari bea masuk barang impor.


Defisit Makin Melebar

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan, dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang akan berkaitan dengan fasilitasi perdagangan.

"Jadi, ketika begitu kita keluar dari negara berkembang ada konsekuensinya dari masalah fasilitasi perdagangan. Kejadian ini kita akan berisiko defisit," terangnya pada acara IDX Channel Economic Forum, Senin (24/2/2020).

Dia menjelaskan, pencabutan status Indonesia sebagai negara berkembang akan berakibat pada semakin melebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.

Sebab, saat status negara berkembang dicabut, Indonesia akan kehilangan fasilitas khusus yang diberikan oleh Amerika Serikat. Salah satunya adalah fasilitas bea masuk impor atau skema generalized system of preferences (GSP) yang ditetapkan AS.

Setelah GSP tidak berlaku lagi, Indonesia diharuskan untuk membayar bea masuk dengan tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN). Itu lah yang nantinya dapat membuat Indonesia kehilangan daya saingnya di pasar AS.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews