Selandia Baru Tarik 50.000 Lebih Senjata dari Warga Pasca-Insiden Penembakan Masjid

Selandia Baru Tarik 50.000 Lebih Senjata dari Warga Pasca-Insiden Penembakan Masjid

Senjata api yang berhasil ditarik dengan skema pembelian kembali oleh pemerintah Selandia Baru. (Foto: New Zealand Police/Getty Images via Aljazeera)

Selandia Baru - Setelah insiden penembakan teroris di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pemerintah mengeluarkan kebijakan menarik atau membeli kembali senjata milik warga. Sampai hari ini, jumlah senjata yang berhasil ditarik sebanyak 56.350 unit.

Serangan penembakan yang terjadi pada 15 Maret lalu dimana 51 jemaah masjid tewas segera mendorong pelarangan kepemilikan senjata termasuk senjata semi otomatis militer yang digunakan oleh teroris dalam penyerangan tersebut.

Pemerintah kemudian menetapkan skema pembelian kembali disertai dengan amnesti, memberi pemilik senjata sejumlah bayaran dan jaminan tak boleh ada pertanyaan ketika mereka menyerahkan senjata yang dianggap ilegal berdasarkan undang-undang baru.

Polisi mengatakan pada hari Jumat sebanyak 56.350 senjata api dan 188.000 bagian telah diserahkan dan penyerahan senjata dibatasi sampai pukul 20.00 hari ini.

"Tidak akan ada perpanjangan - siapa pun dapat kehilangan izin senjata api mereka dan dapat menghadapi hukuman hingga lima tahun penjara," kata polisi, dilansir dari Aljazeera, Jumat (20/12).

Pendukung pengendalian senjata mengatakan skema tersebut berhasil meskipun ditentang sejumlah pemilik senjata api.

Dewan Kepemilikan Senjata Api Berlisensi (COLFO) memperkirakan ada 170.000 senjata api yang dilarang di Selandia Baru, kurang dari sepertiga dari senjata ilegal berhasil ditarik.

"Skema ini nampak seperti kegagalan karena terburu-buru dalam menerapkan solusi politik dan ideologis, bukannya mengembangkan pemerintahan yang lebih adil dan masuk akal," kata juru bicara COLFO, Nicole McKee.

Tetapi polisi tidak menyampaikan berapa perkiraan resmi jumlah senjata api ilegal. Profesor hukum Universitas Waikato, Andrew Gillespie mengatakan tidak ada cara untuk mengukurnya secara akurat.

"Saya tidak tahu bagaimana mereka (COLFO) mencapai angka ini, mengingat tidak ada pusat senjata api yang terdaftar sejak 1982," katanya.

Terlepas dari jumlahnya, peneliti kebijakan senjata Universitas Sydney, Philip Alpers mengatakan pembelian kembali senjata akan berdampak pada kehidupan masyarakat yang lebih aman.

Pembelian kembali ini bukan akhir dari reformasi senjata di Selandia Baru dan pemerintah telah mengajukan langkah-langkah tahap dua ke parlemen. Dalam rancangan aturan tersebut, pemerintah akan membuat daftar senjata api untuk melacak keberadaan setiap senjata di negara itu dan memastikan hanya "orang yang tepat dan pantas" yang dapat memegang lisensi senjata api.

Langkah itu akan memberi polisi kekuatan untuk mencegah para ekstremis, pelaku kejahatan, penderita kesehatan mental, termasuk yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, untuk memiliki senjata.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews