Jepang Dirikan Kompleks Penghormatan Suku Ainu

Jepang Dirikan Kompleks Penghormatan Suku Ainu

Ilustrasi

Sapporo - Pemerintah Jepang mendirikan kompleks kuil modern untuk menghormati kebudayaan Suku Ainu. Rencananya, monumen ini akan dibuka saat Olimpiade Tokyo 2020.

Dilansir dari detikcom yang dikutip dari berbagai sumber, Kamis (7/11/2019), tempat itu dinamai 'Ruang Simbolis untuk Harmoni Etnik'.

Perdana Menteri Shinzo Abe sebagaimana dikutip dari Reuters mengatakan, tempat ini akan menjadi daya tarik wisatawan asing ke Jepang dan kota di Sapporo Utara, tempat Olimpiade Tokyo 2020. Pembangunannya menelan anggaran sebesar US$ 220 juta atau sekitar Rp 3 miliar.

Dalam kompleks ini nantinya akan ada museum dan replika pemukiman Ainu. Saat ini para kurator juga sedang mempersiapkan pameran barang-barang Ainu seperti mantel, pisau, tongkat upacara, kalung manik-manik, boneka beruang, dan kerajinan tangan Ainu. Selain itu, terlihat pula para penari yang sedang berlatih.

Namun, beberapa orang Ainu justru memandang proyek ini semakin menegaskan bahwa pemerintah Jepang gagal memahami sejarahnya. Selama ini hubungan antara pemerintah Jepang dan Ainu mengalami berbagai gejolak sejak komunitas ini dipaksa melakukan asimilasi dengan Jepang.

Dikutip dari situs Ainu Museum, orang Ainu mulanya mendiami pulau Hokkaido, Kurilir, dan Sakhalin. Mereka hidup dengan menangkap ikan, berburu dan berkebun. Mereka juga memiliki bahasa sendiri dan menjalankan kepercayaan pada banyak dewa seperti dewa alam, dewa binatang, dewa tumbuhan, dewa benda dan dewa pelindung rumah, gunung, dan danau.

Hanya pada tahun 1400-an, Jepang memperlebar daerah kekuasaannya sampai ke Hokkaido dan memaksa Ainu untuk bergabung bersama mereka. Saat era Meiji, kebijakan asimilasi diberlakukan di mana orang Ainu dilarang melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan.

Mereka juga dicap sebagai former aborigines atau mantan penduduk asli. Diskriminasi terhadap Ainu masih terasa hingga kini meskipun pemerintah telah mengakui Ainu sebagai masyarakat adat secara resmi pada 2008.

Survei pada 2017 memperlihatkan ada sekitar 13 ribu orang Ainu di Hokkaido. Jumlah sebenarnya diestimasikan lebih tinggi karena banyak orang Ainu yang menutupi identitasnya. Mereka takut didiskriminasi dan banyak yang telah pindah dari Hokkaido.

"Masyarakat masih belum bisa menerima Ainu," kata antropolog dari Universitas Hokkaido, Mai Ishihara. "Masih banyak orang Ainu yang merahasiakan identitasnya dari anak-anak mereka," katanya.

Karena diskriminasi tersebut, orang Ainu juga terhambat dalam mendapatkan akses pendidikan. Menurut survei Ainu Association of Hokkaido, pada 2013 hanya 25,3 persen orang Ainu yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Pada 2009 setelah muncul Deklarasi Hak Masyarakat Adat oleh PBB, pemerintah Jepang mulai membuat kebijakan untuk Ainu. Kebijakan itu berfokus pada pembangunan ruang simbolik yang didanai pemerintah. Proyek ini dimulai di sekitar Danau Poroto, dekat Kota Shiraoi, Hokkaido.

Salah satu keturunan Ainu, Atsushi Monbertsu sebagaimana dikutip dari Reuters melihat keputusan Jepang untuk membangun ruang simbolik itu sebagai hal yang sia-sia.

"Akan lebih baik jika pemerintah memberi kami tempat di mana kami bisa melaksanakan ritual tradisional kami," katanya.

Selama lebih dari satu dekade, diskusi antara orang Ainu dan Pemerintah Jepang belum menemukan titik terang. Perwakilan Ainu meminta hak kepemilikan tanah, anggaran untuk mengajar kebudayaan dan bahasa Ainu, serta permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Namun, tak satu pun permohonan itu yang ditanggapi.

Kendati sejumlah orang Ainu tidak menyambut baik dibangunnya kompleks Harmoni Etnik, perwakilan kelompok Ainu yang beranggotakan 2000 orang mendukung proyek Abe itu karena dianggap akan memberikan keuntungan ekonomi dari wisata. Selain itu, tempat ini juga bisa dijadikan forum kebudayaan dan kesenian Ainu.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews